Keringanan Hukuman untuk Terdakwa Berperilaku Baik

Dalam sistem peradilan pidana, proses pengadilan adalah tempat di mana menentukan penjatuhan hukuman seseorang bersalah atau tidak dalam konteks keadilan dan perlindungan HAM dan juga merupakan kesempatan untuk menilai hal-hal yang dapat memengaruhi keputusan hakim, salah satunya yaitu pemberian keringanan hukuman kepada terdakwa yang menunjukkan perilaku baik selama di persidangan. Keringanan ini tidak hanya bentuk penghargaan (reward) atas perilaku baik tersebut, tetapi juga sebagai motivasi bagi terdakwa untuk menunjukkan perilaku baik dan kooperatif atau menunjukkan perubahan positif selama proses persidangan.

              Fenomena ini menjadi perhatian karena prinsip hukum pidana seharusnya menitikberatkan keadilan dan kepastian hukum. Namun, di sisi lain sistem peradilan mengenal juga adanya kesempatan kedua untuk memberi ruang bagi terdakwa untuk memperbaiki diri. Keringanan hukuman menjadi bentuk apresiasi kepada usaha yang dilakukan terdakwa dalam menunjukkan perilaku baik selama proses persidangan yang akhirnya menjadi pertimbangan hakim untuk menjatuhi hukuman yang lebih ringan seperti yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuatan hukum.

              Keringanan hukuman dalam hukum pidana adalah pengurangan atau pemotongan hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan berdasarkan pertimbangan tertentu. Keringanan ini dapat diberikan dengan mempertibangkan beberapa hal antara lain pengakuan kesalahan terdakwa, penyesalan yang mendalam, kerjasama selama proses hukum, atau perilaku baik dan sopan terdakwa selama persidangan. Dalam konteks hukum Indonesia, keringanan hukuman dapat diberikan melalui remisi atau diskresi. Remisi adalah pengurangan masa hukuman yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat-syarat tertentu, sedangkan diskresi hakim adalah kebijaksanaan hakim dalam menentukan putusan berdasarkan fakta-fakta yang ada di persidangan.

              Dasar hukum untuk pemberian keringanan hukuman di Indonesia diatur dalam beberapa undang-undang, termasuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam UU Pemasyarakatan, remisi diatur sebagai salah satu instrumen untuk mendorong narapidana agar berperilaku baik selama menjalani hukuman. Sementara itu, KUHP memberikan ruang bagi hakim untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang meringankan dalam penjatuhan hukuman.

              Kasus keringanan hukuman berdasarkan perilaku baik telah terjadi di pengadilan Indonesia. Sebagai contoh, dalam sebuah kasus tindak pidana narkotika, terdakwa berhasil mendapat keringanan hukuman dari 10 tahun menjadi 6 tahun setelah menunjukkan sikap kooperatif selama proses persidangan dan mengikuti program rehabilitasi narkotika. Hakim mempertimbangkan bahwa terdakwa telah menunjukkan penyesalan dan berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi.

              Contoh kasus lainnya adalah kasus Pencurian. Seorang pelaku pencurian yang ditangkap karena mencuri barang kecil berhasil mendapat keringanan dari 5 tahun menjadi 3 tahun setelah menunjukkan perilaku baik di pengadilan dan aktif dalam program pembinaan di lembaga pemasyarakatan. Hakim menilai bahwa pelaku tidak memiliki riwayat kriminal sebelumnya dan berpotensi untuk berubah menjadi lebih baik.

Pemberian keringanan hukuman berdasarkan perilaku baik terdakwa memiliki implikasi penting bagi sistem peradilan pidana, yaitu reformasi kebijakan hukum, edukasi bagi penegak hukum,dan lainnya.

Pemberian keringanan hukuman sebagai reward atas perilaku baik terdakwa di persidangan merupakan salah satu faktor penting dalam sistem peradilan Indonesia yang mengedepankan pendekatan humanis. Keringanan hukuman memberikan kesempatan bagi terdakwa untuk menunjukkan perubahan positif dan memperbaiki diri yang dapat berkontribusi pada tujuan rehabilitasi.

Meskipun terdapat dampak positif dan negatif dari hal ini, penting bagi sistem peradilan untuk terus mengevaluasi dan memperbaiki mekanisme pemberian keringanan agar tetap adil dan sesuai dengan prinsi-prinsip keadilan sosial. Hakim perlu memastikan bahwa keringanan yang diberikan tidak mengabaikan keadilan bagi korban dan masyarakat dan perubahan perilaku terdakwa adalah suatu hal yang nyata dan bukan bentuk kebohongan di persidangan. Melalui pendekatan yang lebih manusiawi dalam penegakan hukum diharapkan pelaksanaan sistem peradilan pidana dapat menghasilkan individu yang lebih baik dan berkontribusi positif kepada masyarakat nantinya. (*)

Oleh Passha Puspita Sari Azahra  (Ilmu Hukum UNNES)