Menurut cerita orang tua yang dituturkan dari mulut ke mulut sebelum desa ini punya nama, maka tersebutlah nama Mbah Surodilogo. Dia adalah seorang yang mempunyai kemampuan lebih bila dibandingkan dengan laki-laki lainnya pada kala itu. Karena itu Mbah Surodilogo dijadikan orang kepercayaan oleh para pejabat pemerintahan di Kadipaten Bojanegara (sekarang Bojonegoro) dan sekaligus merupakan orang kepercayaan untuk menentukan setrategi peperangan agar tercapai kemenangan.
Sebagai orang kepercayaan pembesar kadipaten, Mbah Surodilogo juga dipercaya untuk menyimpan benda-benda pusaka seperti keris, tombak, Payung Tunggulyudo dan yang paling menonjol adalah kuda kesayangan sang adipati, yaitu seekor Kuda yang bulunya berwarna hitam legam dan oleh Sang Adipati diberi nama Kuda Gagak Ireng. Kuda itu bukan sembarang kuda melainkan kuda yang punya kelebihan dibandingkan kuda-kuda kebanyakan.Kuda Gagak Ireng bisa mengerti apa yang dipikirkan oleh sang adipati.
Untuk perawatan dan keselamatan Kuda Gagak Ireng, Sang Adipati menyerahkannya kepada Mbah Surodilogo yang lalu dibawa ke kediaman lelaki tua itu di dusun kecil yang brada di tempat tersembunyi, disebut Ketangi Lor atau panggonan sisih lor.
Dukuh Ketangi Lor sulit dijangkau karena diapit oleh dua aliran sungai, yaitu Sungai Sore dan Sungai Bening. Sungai Sore pada zaman Belanda diubah namanya menjadi Sungai Solo atau penduduk sekarang menyebutnya Bengawan Solo karena diambil dari sumber mata airnya yang berasal dari Solo. Adapun Sungai Bening artinya sungai yang airnya jernih dan menjadi garis perbatasan dengan Kadipaten Tuban (Kabupaten Tuban).
Setiap pagi, siang ,dan sore penduduk yang akan mandi di Sungai Bening selalu melihat Mbah Surodilogo di dekat Gagak Ireng. Dia selalu terlihat memegangi kepalanya atau keningnya dan kelihatan ada sesuatu yang berat sedang dipikirkan. Salah seorang penduduk yang mau mandi memberanikan diri bertanya mengapa Mbah Suro selalu memegangi kepala.
Mbah Suro menjawab, “Ngger, si Mbah pening karena kasihan dengan Kuda Gagak Ireng. Pesan dari Sang Adipati, saya harus menjaga Gagak Ireng dengan segenap jiwa raga. Kuda ini harus dirawat, dimandikan, tetapi si Mbah takut kalau-kalau ada orang jahat yang meracuni sungai ini dari atas sana, sedangkan kebiasaan binatang setiap dimandikan pasti minum.”
“Oalah, Mbah pun sepuh, ampun kathah pikir. Sakniki ben pas pripun tinimbang Simbah tansah nyekeli kening, pripun yen kali niki diarani Sungai Kening ben pas karo kebiyasaanne Mbah Suro.”
“Ya apik, mula besuk yen onok rejane jaman, kali iki takarani Kali Kening.”
Hingga sekarang masyarakat Guyangan dan sekitar perbatasan dengan Kabupaten Tuban di bagian selatan dengan sebutan Sungai Kening.
Mbah Surodilogo masih tetap ragu-ragu untuk memandikan Gagak Ireng di Sungai Kening. Maka dia teringat temannya, Mbah Buyut Kenter yang bertubuh tak normal, hanya seukuran anak usia tiga atau lima tahun. Dia pergi menemuinya dan menceritakan persoalannya.
“Adikku, sbnarnya Kali Kning itu punya rahasia,” ujar Mbah Buyut Kenter, “Siapa pun, baik manusia maupun hewan, yang memiliki hati dan niat baik, lalu mandi di sungai itu, ia bakal dijauhkan dari segala marabahaya. Bahkan tubuhnya bakal jadi kuat. Adikku Surodilogo tak perlu khawatir dalam memandikan Gagak Ireng. Malah aku berharap Dukuh Ketangi Lor bakal tambah banyak penduduknya dan banyak ternaknya. Nanti ternak itu bisa dimandikan (diguyang) di Kali Kening. Karena itu, nanti kalau zaman sudah makmur, tempat itu bisa dibri nama Guyangan.”(*)
Oleh Salma Hanifa Dewi