Legenda Kiai Sanggem dan Nyai Sanggem: Asal Mula Nama Bandungan

Bandungan merupakan salah satu kecamatan yang terletak di lereng Gunung Ungaran, salah satu daerah yang ada di Kabupaten Semarang. Berkat letaknya tersebut daerah ini memiliki udara yang cukup sejuk dan masih asri, serta memiliki pemandangan yang cukup indah dan asri, oleh sebab itu banyak destinasi wisata alam yang dibangun disini oleh sebab itu daerah ini dijadikan daerah pariwisata alami berkat keindahan daerahnya yang terbentuk secara alami.

Berkat hal tersebut banyak wisatawan lokal maupun asing yang sering berkunjung ke daerah tersebut untuk sekedar melihat keindahan alamnya maupun kulineran di sini. Maka  Bandungan sering ramai saat akhir pekan. Namun, di balik keindahannya ada cerita menarik tentang nama Bandungan. Nama tersebut tak terlepas dari legenda yang ada di tempat tersebut, yaitu legenda tentang “Kiai Sanggem dan Nyai Sanggem”. 

Lantas bagaimana legenda di balik penamaan Bandungan tersebut? Berikut adalah legenda di balik nama tersebut.

Di suatu desa di lereng Gunung Ungaran yang sejuk, terdapat pasangan suami-istri yang hidup dalam kebahagiaan dan keharmonisan. Pasangan tersebut Bernama Kiai Sanggem dan Nyi Sanggem, yang sudah lama menikah dan dikenal oleh warga sekitar sebagai pasangan yang harmonis.

Namun, di balik keharmonisan pasangan tersebut mereka sebenarnya sudah mendambakan kehadiran seorang anak sejak lama. Namun hal tersebut tak kunjung datang. Mereka menjalani kehidupan yang penuh doa dan harapan, namun tak kunjung dikaruniai seorang anak. Hari demi hari mereka lalui dalam keputusasaan mereka memutuskan untuk melakukan semadi, berharap mendapatkan petunjuk dari Sang Pencipta.

Bulan demi bulan mereka lalui dengan melakukan semadi di kedalaman lebatnya hutan di suatu tempat di lereng Gunung Ungaran. Hingga  padasuatu malam, dalam heningnya semadi, mereka mendapatkan suatu wahyu atau petunjuk dari Sang Mahakuasa, petunjuk tersebut berisikan suatu perintah kepada mereka untuk mencari sebuah sumur di lereng Gunung Ungaran. Sumur tersebut diyakini memiliki air yang dapat memberikan suatu keberkahan bagi siapa pun yang meminum airnya. 

Setelah menerima wahyu tersebut mereka langsung beranjak dari semadinya dan bergegas untuk mencari sumur tersebut dengan penuh keyakinan, Kiai Sanggem akhirnya menemukan sumur tersebut dan mengambil air dari sumur tersebut yang kemudian diberikan kepada istrinya untuk diminum. Beberapa bulan setelah meminum air tersebut akhirnya Kiai Sanggem dan Nyi Sanggem dikaruniai seorang anak seperti apa yang mereka dambakan selama ini.

Tahun demi tahun telah mereka lalui dengan penuh kebahagiaan, hingga pada saat anak tersebut berusia 7 tahun, Kiai Sanggem kembali mendapatkan wahyu. Wahyu tersebut berisi perintah kepada Kiai Sanggem untuk menutup sumur yang sebelumnya diambil airnya untuk diberikan kepada istrinya. Jika sumur itu tidak ia tutup maka desa yang ada di bawah sumur tersebut akan mengalami bencana besar dan akan tenggelam akibat luapan air tersebut. Dengan penuh tanggung jawab dan wujud dari rasa syukur atas apa yang sudah ia dapatkan, Kiai Sanggem pun memutuskan untuk menutup sumur tersebut.

Untuk menutup sumur tersebut Kiai Sanggem berkeliling desa untuk mencari suatu benda yang dapat ia gunakan untuk menutup sumur tersebut. Hingga pada akhirnya ia menemukan gong besar yang ia anggap dapat menutup sumur tersebut, lantas ia pun menggunakannya untuk menutup sumur. Gong tersebut dipukul dengan irama tertentu sehingga menciptakan suara yang menggema hingga ke seluruh desa. Kemudian aktivitas menutup sumur yang dilakukan oleh Kiai Sangem tersebut dinamai oleh para penduduk desa dengan istilah “membendung”.

Gong yang digunakan untuk menutup sumur tersebut kemudian dikenal dengan nama “bendungan.”  Nama ini kemudian menjadi insiprasi dari penamaan desa yang ada di daerah tersebut yang kini dikenal sebagai Bandungan. Sebagai penghormatan atas jasa mereka, saat ini makam Kiai dan Nyai Sanggem dapat ditemukan di belakang kantor kecamatan Bandungan. Mereka dikenang sebagai pasangan yang tidak hanya dikaruniai keturunan, tetapi juga sebagai pelindung desa dari bencana. Sampai saat ini masih banyak warga setempat yang berziarah ke makam mereka sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa yang telah mereka lakukan.(*)

Oleh Diva Ari Wibawa