Gang Binawarga adalah sebuah tempat di Jakarta, tepatnya di Kelurahan Rawajati. “Ini sebelum jadi perumahan gini, dulunya kebun salak loh, Dim,” kata ibu saya.
Kami bukanlah penduduk asli daerah itu. Orang tua saya pindah dari Padang ke Jakarta dan membeli rumah di Gang Binawarga. “Dulu rumah ini Papa beli dari saudagar salak yang lagi BU (butuh uang). Sebelumnya Papa dan Mama ngekos di Seberang,” cerita bapak saya.
Sekilas gang ini terdengar biasa, namun ada beberapa kisah yang cukup kelam terjadi di situ.
Kita mulai dari soal struktur tanah di Gang Binawarga. Pada saat masuk ke dalam gang, kita akan menjumpai jalan yang menurun tajam dan di bawahnya ada perumahan juga. Perbedaan struktur tanah ini tidak hanya berefek pada tata letak rumah, namun juga strata sosial yang berbeda dikarenakan daerah bawah itu selalu terkena banjir kapan pun Bogor mengirimkan aliran air kebanggaannya. Jika terus masuk ke dalam di daerah bawah, akan ada Kali Ciliwung yang tetap saja ada perumahannya.
Pada tahun 2007, terjadi banjir yang cukup parah dan masuk ke dalam catatan banjir terparah di Gang Binawarga. Banjir itu melahap perumahan warga hingga rumah yang berlantai dua yang hanya tersisa atapnya saja. Hal itu cukup menggemparkan berita hingga presiden pada saat itu yaitu Jokowi datang ke daerah itu untuk investigasi langsung.
Hal tersebut berpengaruh terhadap pergaulan juga. Di daerah bawah, pergaulannya cukup bebas, dan yang berada di dekat Kali Ciliwung, ada perumahan yang disebut “Kamdong” atau kepanjangannya “Kampung Dongo”. Tidak begitu jelas alasan penamaan ini berasal.
Ada beberapa kejadian yang cukup memorial untuk kami yang tinggal di sana, antara lain tenggelamnya anak dari Kamdong. Awalnya ada beberapa anak yang sedang berenang di Kali Ciliwung dengan maksud bermain-main. Namun, ada satu orang anak bernama Agung yang hanyut. Konon katanya “ditarik” oleh sesuatu. Teman Agung, yaitu Hibal, menyadarinya dan langsung terjun untuk menyelamatkannya. Agung berhasil diselamatkan namun nahas yang menyelamatkan tidak selamat.
“Iya Dek, waktu itu padahal si Agung udah selamat tapi tiba-tiba kata temen kakak yang lain, mereka lihat kayaknya si Hibal ini ditarik juga dari dalem kali terus langsung hanyut,” jelas abang saya.
Hal seperti ini tidak terjadi sekali saja. Suatu hari pada tahun 2020 terjadi tawuran antarpelajar, namun ketahuan dan dikejar oleh polisi. Lima pelajar lari ke dalam Gang Binawarga dan terjun ke Kali Ciliwung, lalu semuanya hanyut.
Sebenarnya cukup banyak cerita tentang kejadian di Ciliwung ini bahkan dirumorkan bahwa setiap tahunnya akan ada orang yang ditumbalkan kepada kali tersebut. Namun itu hanyalah rumor. Tidak hanya di Kali Ciliwung kisah ini didasarkan, ada kisah dari seorang anak yang sedari kecil sudah salah dalam pergaulan.
”Dulu tuh Dek, ada anak namanya Gempar. Dia emang suka mainnya sama orang gede. Dia pernah ikut tawuran dari kelas 6 SD, tapi mungkin dia terlalu euforia, jadinya dia malah ngebunuh lawannya yang kelas 1 SMP,” cerita abang saya.
“Hah, serius?” tanya saya.
“Iya, makanya dia dipenjara waktu itu.”
Hal seperti itu sepertinya sudah dianggap wajar oleh penduduk daerah saya dikarenakan daerah bawah memang distigma sebagai tempat para berandal.
Sampai hari ini, Gang Binawarga tetap berdiri seperti biasa, ramai, padat, dan terlihat biasa saja di permukaan. Tapi bagi kami yang tumbuh di sana, gang itu menyimpan lebih dari sekadar rumah-rumah dan jalanan sempit. Ada luka yang ditelan arus. ada suara-suara yang hanya bisa didengar oleh mereka yang pernah kehilangan.
Orang-orang baru mungkin hanya melihat gang kecil di Jakarta Selatan, tapi bagi kami, setiap sudutnya punya cerita yang tak semua berani diingat, apalagi diceritakan. Dan setiap kali air dari Bogor datang membawa derasnya, kami hanya bisa bertanya dalam diam: siapa yang akan dipanggil kali ini?(*)
Oleh Dimas Aditya