Tentang Desa Subah

Di sebuah desa yang terletak di Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, terdapat sebuah cerita rakyat yang menceritakan asal mula Desa Subah. Konon, desa ini dibentuk pada tahun 1989 dari penggabungan sebelas kampung yang dipimpin oleh kepala kampung masing-masing. Nama “Subah” sendiri berasal dari dua suku kata: “su” (berasal dari bahasa Tionghoa yang berarti “kayu”) dan “ubah” (diambil dari bahasa Dayak Tobag yang merujuk pada pohon ubah, jenis pohon yang banyak tumbuh di daerah tersebut dan sering digunakan penduduk untuk kayu bakar.)

Kedua suku kata ini menjadi sangat familier bagi masyarakat setempat, karena mereka sering mengambil kayu ubah untuk kebutuhan sehari-hari.

Sebelum menjadi desa, kawasan ini dikenal dengan nama Cempedek, dinamai berdasarkan sungai yang dilalui oleh transportasi motor kelotok. Pada masa itu, Desa Subah dipimpin oleh Bapak Kasianus Kintoi sebagai penjabat kepala desa pertama setelah penggabungan kampung.

Desa ini juga memiliki hubungan erat dengan dua suku yang mendiaminya, yaitu suku Tionghoa dan suku Dayak Tobag. Seiring waktu, Desa Subah berkembang menjadi pusat kehidupan masyarakat dengan berbagai tradisi dan budaya yang kaya.

Cerita rakyat yang terkait dengan sejarah Desa Subah mencakup beberapa legenda dan mitos yang menggambarkan asal-usul dan perkembangan desa tersebut. Berikut adalah beberapa cerita yang menarik:

Legenda Bhahurekso: Pada zaman dahulu, Desa Subah berada di bawah ancaman raja siluman bernama Kolo Drubikso. Raja ini mengganggu pembangunan bendungan di sungai yang sekarang dikenal sebagai Sungai Kramat. Bhahurekso, seorang pahlawan, berjuang melawan raja siluman ini dengan bantuan pasukan dari Mataram dan desa-desa sekitar seperti Subah dan Gringsing. Setelah banyak pertempuran, Bhahurekso berhasil mengalahkan Kolo Drubikso dan mengakhiri gangguan tersebut, yang kemudian menjadi bagian penting dari sejarah desa.

Asal Mula Nama Klidang: Dalam upaya menebang hutan untuk dijadikan pemukiman, Raden Bhahu (Bhahurekso) tertidur di tepi sungai. Saat terbangun, ia kehilangan pedangnya dan mencari di sekitar sungai. Meskipun pencariannya tidak membuahkan hasil, ia memberi nama daerah itu “Klidang,” yang berasal dari kata “Kali” (sungai) dan “Pedang.” Nama ini mencerminkan hubungan antara alam dan kehidupan masyarakat setempat.

Eyang Surgi dan Dukuh Rowosuko: Eyang Surgi, seorang kyai yang berkelana, menemukan kawasan Dukuh Rowosuko yang belum dihuni. Ia membersihkan lahan tersebut untuk dijadikan tempat tinggal dan bercocok tanam. Seiring waktu, banyak orang datang untuk belajar darinya, menjadikan Eyang Surgi sebagai pemuka masyarakat. Nama Rowosuko diambil dari pohon besar bernama Soko yang tumbang di sawah miliknya.

Cerita-cerita ini tidak hanya menunjukkan asal mula Desa Subah tetapi juga menggambarkan nilai-nilai keberanian, kerja keras, dan kebersamaan masyarakat dalam menghadapi tantangan sepanjang sejarah mereka

Selain itu juga di desa subah banyak memiliki cerita unik maupun tradisi tradisi yang sering atau wajib di lakukan setiap tahunya. banyak juga acara” atau perlombaan olahraga yang di selenggarakan di desa dengan rutin sehingga dapat memper erat persatuan warga warga di desa subah.

Di desa subah ini memiliki banyak tradisi atau kegiatam wajib setiap tahunya untuk meramaikan desa seperti yang rutin di adakan seperti acara dug deran, dug deran merupakam acara tradisi di Desa Subah untuk menyambut bulan suci ramadham biasanya di lakukan di satu hari sebelum bulan Ramadan dengan mengadakan pesta ataupun arak arakan yang di lombakan seperti brum band festival band dan acara” yang dapat menjadikan ramai desa subah.

Pada Ramadan tidak hanya itu saja acara atau kegiatan wajib di Desa Subah. Ada pula lomba tong tong prek untuk membangunkan orang sahur. Acara ini menuntut peserta membuat atau berkreasi musik seunik dan sebagus mungkin untuk diperlombakan. Ada pula tradisi syiar takbir keliling pada malam Lebaran.(*)

Oleh Aqila Tio Ananta