Legenda Batu Bulat Curug Mujan di Desa Bulaksari Kabupaten Cilacap

Curug Mujan merupakan salah satu tempat wisata yang terletak di Dusun Sidasari, Desa Bulaksari, Kecamatan Bantarsari, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.  Terkenal dengan keindahan air terjunnya yang memiliki potensi sebagai daya tarik wisata.  Keasrian alam dan udaranya menambah nilai plus objek wisata tersebut. Curug Mujan bisanya dimaanfaatkan oleh warga sekitar sebagai tempat pemancingan atau sebagai sumber pengairan. 

Bukan hanya sebagai tempat wisata, Curug Mujan memiliki sebuah situs misterius yang bernama Batu Kundar. Dinamai Batu Kundar karena bentuknya yang menyerupai meja bundar atau bulat. Menurut warga sekitar, batu ini sering dikunjungi oleh orang-orang dari luar desa dengan berbagai tujuan, termasuk untuk melakukan perenungan atau meditasi. Beberapa orang percaya bahwa tempat ini memiliki kekuatan spiritual karena dianggap sebagai sarana yang menghubungkan ke alam gaib. Sebagian pengunjung datang ke sana untuk memohon berkat atau mencari solusi atas masalah yang mereka sedang hadapi. Seolah-olah menganggap batu ini sebagai perantara.

Kepercayaan akan kekuatan spiritual pada Batu Kundar telah menarik banyak pengunjung dengan niat yang beragam. Mereka yang datang tidak hanya untuk sekadar melihat bentuknya yang unik, tetapi juga dengan niat yang lebih dalam, seperti mencari ketenangan batin atau bahkan mengharapkan adanya campur tangan kekuatan gaib dalam mengatasi persoalan hidup. Mereka meyakini bahwa ketulusan hati dan keyakinan yang kuat adalah kunci utama dalam mencapai tujuan, sementara batu tersebut menjadi simbol atau perantara dari harapan dan doa-doa yang dipanjatkan.

Menurut para ahli spiritual, Batu Kundar bukan sekadar bongkahan batu biasa, melainkan dipercaya sebagai sebuah gerbang yang menghubungkan antara dunia manusia dengan dunia gaib. Letaknya yang jauh dari permukiman membuat suasana di sekitar batu ini terasa sunyi dan penuh aura misterius. Setiap tahunnya, pengunjung datang dari luar daerah dengan niat tertentu. Terkadang pada masa-masa menjelang pencalonan dalam pemilihan umum untuk memohon restu. Ada pula yang mencari petunjuk, pertolongan, atau sekadar pencerahan atas masalah hidup yang mereka hadapi. Mereka melakukan semacam ritual atau meditasi di sekitar batu dan percaya bahwa energi dari tempat ini mampu membuka jalan, bahkan membuka “mata batin” untuk melihat hal-hal yang tidak kasatmata.

Tidak sedikit orang yang mengalami kejadian diluar nalar disekitar kawasan tersebut.  Beberapa orang dengan kekuatan spiritual yang tinggi mengaku pernah bertemu dengan makhluk-makhluk dari dunia lain, seperti anak-anak dengan wajah mengerikan, bayangan tanpa tubuh, atau suara-suara yang datang entah dari mana asalnya. Mereka yang mengerti akan dunia tersebut menyebutnya sebagai penunggu atau penjaga. Pernyataan semacam ini semakin menguatkan keyakinan bahwa Batu Kundar merupakan titik pertemuan dua alam berbeda yang berjalan berdampingan, namun hanya beberapa orang tertentu saja yang bisa melihatnya.

Selain dikenal sebagai tempat mistis, terdapat sebuah legenda yang dipercayai oleh masyarakat di sekitar, yaitu tentang seekor ular raksasa yang diyakini bukan makhluk biasa, melainkan perwujudan dari roh penjaga alam. Ular ini dikatakan memiliki sisik yang berkilau seperti logam, matanya memancarkan cahaya kehijauan, dan tubuhnya sebesar batang pohon raksasa. Tidak banyak orang yang dapat melihat makhluk ini secara nyata. Dia menampakkan diri pada saat-saat tertentu saja yang dianggap sakral, seperti pada malam bulan purnama. Ular ini konon tidak boleh diganggu, karena dapat membawa malapetaka. Kisah ini memperkaya cerita mitos dan legenda yang berkembang di sekitar Curug Mujan.

Kisah ular raksasa ini hanyalah satu dari sekian banyak mitos yang menambah cerita legenda di kawasan Curug Mujan. Selain Batu Kundar yang dianggap sebagai gerbang pertemuan para makhluk gaib dan manusia, terdapat pula kepercayaan tentang kerajaan-kerajaan yang tidak kasat mata. Beberapa warga mengaku pernah melihat istana megah berkilau yang muncul sekejap di tengah kawasan tersebut, atau mendengar suara-suara gamelan dan nyanyian saat menjelang malam. Para tetua desa menyakini bahwa itu adalah tanda bahwa para penghuni alam gaib sedang mengadakan pertemuan besar.

Bagi masyarakat lokal, Curug Mujan adalah wilayah sakral yang harus dihormati. Dalam peribahasa “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung tinggi,” mengandung makna bahwa seseorang sudah sepatutnya mengikuti atau menghormati adat istiadat yang berlaku di tempat ia hidup atau tinggal. Hal itu pun berlaku pada tempat ini, apabila ada orang yang melanggar aturan, seperti berkata atau bertindak tidak sopan, akan menimbulkan konsekuensi seperti mengalami kesurupan. Oleh karena itu, para pengunjung diimbau untuk selalu menjaga sopan santun dan menghormati tempat tersebut. Alam pun memiliki penjaganya, dan ketidaksopanan dapat mengundang murka. 

Dengan segala cerita, mitos, dan kepercayaan yang menyelimutinya, Curug Mujan telah menjelma menjadi lebih dari sekadar tempat wisata. Ia adalah tempat dimana realitas dan mitologi berjalan beriringan, saling melengkapi dan membentuk warisan spiritual yang terus hidup hingga kini. Bagi sebagian orang, Batu Kundar adalah tempat suci yang menyimpan banyak rahasia. Ia bukan hanya simbol spiritual, tetapi juga warisan budaya yang menyatukan kepercayaan dengan realitas.

Batu Kundar juga menjadi penyeimbang dan pengingat bahwa sebelum berubahnya zaman menjadi modern, manusia sudah hidup berdampingan dengan alam dan roh. Misteri yang menyelimutinya membuat Batu Kundar tetap hidup dalam cerita-cerita rakyat, menjadikannya bagian dari identitas spiritual masyarakat setempat yang terus diwariskan dari mulut ke mulut. Disinilah letak kepercayaan kolektif yang menjadikannya sakral. Curug Mujan dan Batu Kundar tidak hanya mencerminkan keindahan alam, tapi juga menjadi cermin antara budaya dan spiritualitas yang telah terjalin selama berabad-abad. Mereka adalah pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri, dunia, dan hubungan manusia dengan alam semesta.(*)

Oleh Malehkasari Mulyaningsih