Dari Legenda ke Kenyataan : Sejarah Awal Mula Desa Nyatnyono

Makam Waliyulah Hasan Munadi berada di lereng Gunung Ungaran tepatnya berlokasi di Dampyak, Nyatnyono, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. Untuk menuju ke lokasi ini mobil pribadi dan bus shuttle bisa langsung masuk di halaman makam, sementara untuk bus ukuran besar disediakan parkir yang lokasinya masih 500m lagi dari makam. Jadi untuk menuju makam pengunjung bisa menyewa bus shuttle dengan biaya 20.000 per orang atau jalan kaki menaiki tanjakan sejauh 500m. Makam Waliyulah Hasan Munadi ditutup dengan kain berwarna hijau tua bertuliskan arab, di sekeliling makam terdapat kitab Al-Qur’an, Yasin dan kotak amal. Selain itu terdapat pula pilar-pilar kayu jati yang menjadi penopang makam, konon kayu jati ini merupakan sisa dari pembangunan Masjid Agung Demak. Di area luar makam terdapat mushola kecil yang bisa digunakan peziarah untuk sholat.

Syekh Hasan Munadi diyakini lahir pada tahun 1460 M dengan nama lahir Raden Bambang Kertonadi yang diberikan oleh Sunan Ampel ketika beliau berkunjung ke Demak dan mendengar suara adzan yang merdu yang dikumandangankan oleh Raden Bambang Kertonadi. Nama Hasan memili arti “bagus” sedangkan Munadi berarti “orang yang mengumandangkan adzan”. Diyakini pula Waliyulah ini berdarah biru keturunan Majapahit terakhir yaitu Brawijaya V. Beliau tercatat sebagai Punggawa Kerajaan Demak dengan pangkat Tumenggung yang saat itu dipimpin oleh Raden Patah. Kyai Hasan Munadi kemudian lebih memilih mensyiarkan Islam di daerah selatan kerajaan dan meninggal pada usia 101 tahun. 

Nah, berikut ini adalah beberapa karamah beliau yang dipercaya oleh masyarakat hingga saat ini.

Asal Nama Nyatnyono

Saat Kyai Hasan Munadi berkhalwat di puncak Gunung Ungaran selama 100 hari beliau mendapat isyarat melihat sebuah masjid di salah satu dusun yang terletak di lereng Gunung Ungaran, dan begitu Kyai Hasan keluar dari tempat khalwatnya hal yang luar biasa terjadi, atas izin Allah ternyata masjid yang dimaksud benar-benar sudah berdiri tegak. Karena peristiwa yang luar biasa itu akhirnya masjid dan dusunya dinamakan “Nyatnyono” atau yang berarti “menyat-menyat wis ana” dalam Bahasa Indonesia artinya “tahu-tahu sudah ada”   

Sendang Keramat

Karamah yang kedua yaitu Sendang Kalimah Thoyyibah. Tak jauh dari makam Hasan Munadi terdapat pula pemandian atau sendang yang konon pada masa silam menjadi tempat mandi dan pengambilan air wudhu Syekh Hasan Munadi, yang dikenal dengan nama “air keramat Sendang Kalimah Thoyyibah”. Nama ini dikarenakan untuk bisa mendapatkan manfaatnya atau untuk memenuhi hajat tertentu seseorang terlebih dahulu harus membaca dua kalimat syahadat sebelum meminumnya. Air tersebut bersumber dari mata air yang dahulunya merupakan tongkat dari Syekh Hasan Munadi yang tertancap di tanah karena Desa Nyatnyono mengalami kekeringan dampak kemarau panjang, bila kita merasakannya maka air tersebut seperti air zam-zam. Konon air keramat Sendang Kalimah Thoyyibah ini menjadi wasilah penyembuhan segala penyakit. 

Berkah

Riwayat tentang karamah Waliyulah Syekh Hasan Munadi tidak hanya sebatas ketika ia masih hidup bahkan ratusan tahun setelah wafatnya, diantaranya pada waktu masjid keramat tersebut direnovasi pada tahun 1985. Sementara warga kekurangan uang, kemudian Kyai Asmu’i sowan kepada Kyai Haji Abdul Hamid Magelang yang termahsyur dengan kewaliannya guna untuk meminta pendapatnya. Yang sangat mengejutkan Kyai Hamid hanya menjawab dengan santai “sudah pulang sana mulai renovasi masjid, Waliyulloh Hasan Munadi itu kaya kuburannya itu ada gambar uang”. Sepulang dari kediaman Kyai Hamid, Kyai Asmu’I justru bingung memikirkan kata-kata Kyai Hamid. 

Dan sebuah keanehan terjadi, tanpa diduga seorang peziarah yang datang ke makam dan tengah menderita sakit kronis dalam waktu singkat ternyata sembuh dari penyakit yang dideritanya setelah mmeinum dan mengusapkan air sendang yang tidak jaub dari makam. Sejak kejadian itu peziarah semakin banyak berdatangan ke makam keramat dan mengambil air dari mata air itu dan makin aneh pula ternyata air yang semula kecil menjadi semakin besar dan semakin banyak peziarah yang berebut memanfaatkannya. Pundi-pundi amal yang berasal dari peziarah pun semakin melimpah , hasil dari kotak amal yang telah dikumpulkan akhirnya tidak hanya digunakan untuk merenovasi masjid, melainkan untuk kepentingan public lainnya, seperti perbaikan makam, madrasah serta jalan umum.

Persetruan dengan Ki Ajar Buntit 

Pada suatu hari, Waliyulah Hasan Munadi berpamitan kepada istrinya dan mertua sekaligus gurunya yaitu Sunan Bonang. Ia kemudian berjalan ke arah selatan, dalam pengembaraannya ini Kyai Hasan Munadi selalu berbuat kebaikan, murah senyum, dan bertutur kata halus, hal ini dimaksudkan agar keinginan Kyai Hasan Munadi dalam menyebarkan agama Islam mudah diterima oleh masyarakat. Beliau mengembara sampai di daerah Penawangan, di suatu wilayah Kyai Hasan Munadi bersama muridnya melihat sendang yang sedang dipakai mandi oleh beberapa wanita yang terdapat di bawah pohon besar. Kemudian oleh Kyai Hasan Munadi tempat tersebut dinamai Sendang Putri dan dusun tersebut diberi nama Dusun Sendangan.

Saat ketika Waliyulah Hasan Munadi mengadakan tabligh akbar di Dusun Siroto,  menunggulah Ki Ajar Buntit di desa tersebut untuk mengadakan perlawanan dengan cara mengadu ilmu kanuragan. Sehingga tantangan tersebut mendapatkan respon dari Waliyulloh Hasan Munadi lalu pecahlah adu ilmu kanuragan dan disaksikan oleh kedua belah pihak murid-murid dari setiap guru. Sehingga pada akhirnya Ki Ajar Buntit mengalami kekalahan untuk kesekian kalinya. Dan seperti pada awal kekalahan Ki Ajar Buntit selalu menggunakan aji andalannya yaitu “langkah seribu” atau melarikan diri bersama murid-muridnya. Dalam perjalanan melarikan diri, Ki Ajar Buntit bersama murid-muridnya tampak dari bawah oleh penglihatan Waliyulah Hasan Munadi. Mereka tampak berdampyak-dampyak atau bergerombol atau lari tunggang langgang secara bersamaan, sehingga Waliyulah Hasan Munadi memberi nama tempat yang dilalui Ki Ajar Buntit tersebut dengan sebutan Dusun Dampyak. 

Selepas melewati Dusun Dampyak Ki Ajar Buntit berusaha berlari dan melewati setiap celah-celah tebing karena terdesaknya, sehingga setiap pijakan demi pijakan setiap panjatan demi panjatan membuat kedua kaki Ki Ajar Buntit tidak kokoh atau selalu bergetar oglak-aglik karena ketakutan, sehingga tumbuhlah dan terciptalah desa yang bernama Ngaglik.

Sampai kemudian, Ki Ajar Buntit dan pengikutnya lari dan bersembunyi di sebuah batu. Oleh Kyai Hasan Munadi batu tersebut didekati dan diusap-usap sambil berdoa agar Ki Ajar Buntit dan pengikutnya tidak dapat keluar dari batu itu lagi. Kemudian, dimana batu itu terletak dinamakan Watu Kumpul  

Semakin terdesaknya Ki Ajar Buntit maka dia memutuskan untuk turun gunung dan terus berusaha dalam pelariannya. Dalam pelarian tersebut, Ki Ajar Buntit dan para muridnya terlihat sambil tertawa menutupi rasa malunya karena dilanda kekalahan. Seketika dengan kejadian itu mendadak kilat menyambar-nyambar dan setiap lidah apinya mengakibatkan kegelapan di setiap sambaran dan mengenai Ki Ajar Buntit, tetapi dia tidak mengalami cidera sedikitpun. Dari kejauhan Waliyulah Hasan Munadi melihat kejadian itu, dan terciptalah nama Dusun Gelap.

Usaha pelarian dari Ki Ajar Buntit mendapatkan upaya pengejaran dari Waliyulah Hasan Munadi, beberapa murid beliau terlalu kepayahan dalam pengejaran. Tawaran dari Waliyulah Hasan Munadi apakah pengejaran akan tetap dilanjutkan sehingga keluar dari mulut murid-muridnya bahwa pengejaran Ki Ajar Buntit harus tetap dilanjutkan atau di gondang dalam Bahasa Jawa, seketika itu Waliyulah Hasan Munadi menamai tempat peristirahatan para muridnya dengan sebutan Dusun Gondang karna tawaran dalam bentuk pengejaran yang akan dilanjutkan lagi.

Dari kisah yang tersimpan dalam sejarah Desa Nyatnyono, kita tidak hanya mengenal asal usul sebuah wilayah, tetapi juga memahami nilai-nilai budaya, kearifan lokal, dan semangat masyarakatnya dalam menjaga warisan leluhur. Desa Nyatnyono bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga saksi perjalanan waktu yang menyimpan cerita-cerita luhur dari generasi ke generasi. Harapannya, dengan mengetahui sejarah ini, kita semua bisa lebih mencintai dan menjaga identitas desa agar tetap hidup dan dikenang sepanjang masa. (*)

Oleh Rasya Aulia Winata