Rumah dengan Penunggu Tak Kasatmata

Sudah tersebar rumor semenjak dahulu kala jika terdapat sebuah rumah yang memiliki penunggu tak kasat mata di dalamnya. Rumah tersebut mempunyai desain yang kuno, desain rumah khas jawa yang sudah lama, karena memang rumah tersebut sudah berdiri lama. Rumah dengan penunggu itu terletak di Desa Maron, Kabupaten Purworejo. Rumah dengan penunggu tersebut bukan tanpa alasan atau sang penunggu datang tanpa diundang, tetapi rumah tersebut memang sengaja ditanam makhluk tak kasat mata saat pembangunan. Sang pemilik rumah menanam makhluk tak kasat mata tersebut dengan kepercayaan bahwa sang penunggu dapat melindungi rumah dan anggota keluarga yang tinggal dalam rumah tersebut. Rumah tersebut sudah berpindah kepemilikan 4 generasi lalu akhirnya dijual.

Selama rumah itu berdiri, orang yang berada di sekitar rumah itu merasakan hal tidak yang nyaman dan gangguan. Hal itu dialami oleh seorang perempuan bernama Mita, Ia seringkali melewati rumah itu saat petang dan malam hari. Saat itu Mita berjalan melewati jalanan desa yang mulai diselimuti senja. Cahaya matahari yang mulai redup membentuk bayangan panjang di sepanjang jalan. Rumah yang dirumorkan memiliki penunggu berdiri tak jauh dari tempat ia melangkah. Udara terasa lebih dingin, dan suasana seketika menjadi tidak nyaman. Saat ia melangkah lebih jauh, tiba-tiba ia merasakan sesuatu menghantam punggungnya. Seketika, ia berhenti dan melihat ke bawah—tanah berserakan di sekitarnya, seolah ada seseorang yang melemparkannya dari belakang. Namun, saat ia berbalik, jalanan kosong. Tidak ada siapa pun. Mita merasakan bulu kuduknya berdiri. Angin berhembus pelan, tetapi suara gemerisik dari arah rumah itu membuatnya ingin segera pergi dari tempat itu. Tak hanya sekali, setiap kali ia lewat rumah itu, perasaan aneh selalu menyelimuti dirinya. Namun, satu hal yang paling mengganggu adalah bau menyengat yang tiba-tiba muncul—bau seperti kandang kambing yang penuh dengan aroma tajam. Hal anehnya, tidak ada satu pun rumah di sekitar yang memiliki kandang kambing. Bau itu muncul begitu saja dan lenyap seolah ditelan angin.

Rumah itu kini berpindah kepemilikan karena dijual. Untuk pertama kalinya, pemilik barunya bukan bagian dari keluarga yang dulu memilikinya. Pembelinya adalah seorang pria bernama Andi, yang telah lama ingin memiliki rumah sendiri. Bertahun-tahun hidup berpindah-pindah kontrakan membuatnya lelah. Ia ingin tempat yang benar-benar miliknya—tempat untuk pulang tanpa harus khawatir tentang kontrak yang habis atau biaya sewa yang terus naik. Rumah itu berada di lingkungan yang cukup tenang atau sepi. Tetangga memang ada, tetapi letaknya berjauhan, memberikan ruang dan ketenangan yang selama ini ia cari. Tidak ada rasa takut menyelimutinya, meski ia mendengar rumor tentang rumah itu. Baginya, jauh lebih menyeramkan jika terus-terusan harus tinggal di rumah yang bukan miliknya sendiri, selalu merasa sementara. Kini, rumah ini adalah miliknya, dan itulah yang paling penting. Sang pemilik terdahulu menjual rumah beserta perabotannya sebelum akhirnya pindah keluar kota. Andi, yang terbiasa sibuk dengan pekerjaan, tidak terlalu memikirkan apa yang ditinggalkan—baginya, yang utama adalah akhirnya memiliki tempat yang benar-benar miliknya sendiri.

***

Setelah rumah itu menjadi kepemilikan Andi, ia berencana untuk menyicil barang-barangnya saat libur bekerja. Suatu hari saat Andi pulang bekerja lebih awal ia bersemangat untuk mengunjungi rumah yang baru dibelinya. Di perjalanan menuju rumah itu ia sangat bersemangat membayangkan bisa beristirahat dengan nyaman setelah bekerja. Saat tiba di depan rumah tua itu, Andi menghela napas pelan. Bangunan ini tampak tak terawat, catnya memudar, jendela-jendela besar seperti mata kosong yang mengintip ke dunia luar. Ia memang sudah tahu keadaanya memang begitu sebelum membeli rumah tetapi entah mengapa ada perasaan yang mengganjal. Namun, ia menolak untuk terbawa suasana. “Hanya rumah biasa,” pikirnya. “Tidak ada yang aneh.” Ia melangkah ke beranda, merasakan lantai kayu yang sedikit lapuk berderak di bawah kakinya. Sebelum masuk, ia menoleh ke kiri dan ke kanan, mengamati sekeliling. Sepi. Hanya derik serangga dan angin yang membawa bau kayu tua. Andi memegang gagang pintu, ia berhenti sejenak. Di kepalanya, ia mencoba merasionalisasi semuanya—ini hanya rumah kosong, bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Dengan sedikit lebih percaya diri, ia mendorong pintu perlahan. Ruangan di dalamnya terlihat gelap, tetapi saat ia melangkah masuk, mata mulai terbiasa dengan cahaya redup. Tidak ada apa-apa—hanya perabot tua dan debu yang mengendap di udara. Ia menggeleng kecil, menertawakan dirinya sendiri. “Lihat? Tidak ada apa-apa. Semua cuma perasaan.” Namun, saat ia melangkah lebih dalam, tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Tanpa sadar, ia menoleh ke belakang, memastikan dirinya benar-benar sendirian. Tidak ada siapa-siapa. Hanya pintu yang masih terbuka, membiarkan sedikit cahaya masuk. Andi mengembuskan napas, berusaha keras mengabaikan rasa tidak nyaman yang mulai muncul. “Mungkin aku terlalu banyak baca cerita seram,” pikirnya, mencoba tersenyum sendiri. Lalu, tanpa peringatan—pintu di belakangnya perlahan tertutup dengan sendirinya. Suara kayunya yang berderit terdengar begitu jelas dalam keheningan. Dan di saat yang sama, Andi merasa ada sesuatu di dalam ruangan bersamanya. Ia merasakan detak jantungnya sedikit lebih cepat, tetapi ia menolak membiarkan pikirannya terbawa hal yang tidak perlu. Mungkin angin, mungkin lantai yang miring—apapun alasannya, ia yakin tidak ada yang aneh. Dengan tenang, ia meraih gagang pintu dan menariknya perlahan. Pintu terbuka tanpa hambatan. Andi tersenyum kecil, meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja. Rumah ini hanyalah rumah tua biasa. Ia menoleh sekali lagi ke dalam sebelum melangkah keluar. Kontrak tempat tinggalnya masih berjalan, jadi ia memutuskan untuk mulai menyicil barang-barangnya sedikit demi sedikit sebelum akhirnya benar-benar pindah. Dengan langkah mantap, ia menutup pintu, menguncinya, lalu berjalan pulang, membawa keyakinan bahwa tempat itu sebentar lagi akan benar-benar menjadi miliknya.

Hari Minggu tiba, hari di mana Andi akhirnya punya waktu luang setelah seminggu penuh disibukkan oleh pekerjaannya. Ia berniat menghabiskan hari itu di rumah barunya, sekaligus mulai menyicil barang-barangnya agar saat benar-benar pindah nanti, semuanya sudah tertata rapi. Namun, ada sedikit keraguan yang mengusik pikirannya. Ia teringat kejadian sebelumnya—pintu yang tertutup dengan sendirinya saat ia berada di dalam. Selama ini, ia tidak pernah percaya pada hal-hal mistis, meski banyak cerita horror beredar tentang rumah itu. Baginya, rumor tetaplah rumor. Tidak ada bukti bahwa rumah itu memang menyimpan sesuatu yang tidak terlihat. Andi menghela napas panjang, berusaha meyakinkan dirinya bahwa semuanya hanya kebetulan. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang perlu dicemaskan. Ini hanyalah sebuah rumah lama yang mungkin memiliki pintu tua dengan engsel yang longgar. Dengan pikiran yang lebih tenang, ia memutuskan untuk tetap pergi ke rumah barunya dan mulai membawa barang sedikit demi sedikit.

Andi pergi ke rumah barunya dengan berjalan kaki, ia tiba di rumah barunya saat matahari mulai condong ke barat. Ia membawa tas kecil berisi beberapa pakaian, serta beberapa barang kecil yang ingin ia mulai tata sedikit demi sedikit. Hari ini, ia memutuskan untuk bermalam di sana—sebagai langkah awal untuk benar-benar pindah. Saat ia melangkah masuk, udara di dalam masih sama seperti sebelumnya. Dingin. Tidak seperti sejuknya sore di luar, tapi lebih seperti dingin yang menggantung di udara tanpa alasan yang jelas. Andi mengusap lengannya, berusaha mengabaikan perasaan itu. Ia meletakkan tasnya di lantai dekat sofa lama yang ditinggalkan pemilik sebelumnya. Rumah itu sunyi, hanya sesekali terdengar suara angin dari luar yang menyelinap masuk lewat celah jendela. “Sama saja seperti sebelumnya,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan diri bahwa tidak ada yang berubah. Ia berjalan menuju dapur, membuka satu-satunya lemari yang ada di dapur dan mulai memeriksa apa saja yang bisa ia gunakan. Tangannya menyentuh gagang lemari kayu yang terasa sedikit lebih dingin dari seharusnya. Lagi-lagi, ia mengabaikannya. Ini hanya rumah tua, dan udara desa memang bisa lebih dingin saat sore menjelang malam. Setelah beberapa saat, ia kembali ke ruang utama, menatap tasnya yang masih tertutup. Malam ini akan menjadi malam pertamanya tinggal di sini. Andi menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Apapun perasaan aneh yang ia rasakan, ia memutuskan untuk tetap tinggal dan tidak membiarkan pikirannya dikuasai oleh ketakutan yang tidak berdasar. Ia berjalan menuju pintu depan, sekadar memastikan apakah masih mudah dibuka seperti sebelumnya. Dengan satu tarikan ringan, pintu bergerak tanpa hambatan. Ia mengangguk pelan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Andi kembali ke dalam, merapikan barang-barangnya, lalu duduk di sofa sambil menatap langit-langit rumah. Malam ini, ia akan mencoba membiasakan diri.

Setelah sibuk memindahkan beberapa barang dan membersihkan debu-debu di ruang tamu, Andi memutuskan untuk mandi agar tubuhnya terasa segar. Andi membuka pintu kamar mandi dan menyalakan lampu. Cahaya redup menyinari ruangan kecil yang terasa lembap dan dingin. Dindingnya terbuat dari semen kasar tanpa keramik, lantai masih menggunakan ubin lama yang mulai kusam. Tidak ada wastafel, hanya sebuah bak mandi besar dengan gayung kayu di sisinya. Ia melangkah masuk, merasakan hawa dingin yang masih sama seperti sebelumnya. Aroma khas rumah tua memenuhi ruangan. Ia menatap air di dalam bak, memastikan semuanya bersih sebelum mulai mandi. Saat ia mulai menuangkan air dengan gayung, suara lirih terdengar samar—seperti hembusan napas dari sudut ruangan. Andi menghentikan gerakannya sejenak, menoleh, tapi tidak menemukan apapun. Ia menarik napas panjang, menepis ketidaknyamanan yang muncul. “Hanya perasaan saja,” pikirnya. Tanpa banyak berpikir, ia kembali menyiram tubuhnya dengan air dingin, membiarkan kesegarannya mengusir rasa lelah sekaligus pikiran-pikiran yang tidak perlu.

Andi keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Saat melihat ke luar jendela, ia menyadari bahwa hari sudah mulai gelap—waktu Magrib hampir tiba. Tanpa membuang waktu, ia bergegas mengambil wudhu di kamar mandi. Saat air menyentuh kulitnya, ia merasakan sensasi aneh lagi. Dingin yang terasa bukan hanya dari air, tetapi juga dari udara di sekitarnya. Seolah ada sesuatu yang mengamatinya, tapi Andi menepis pikiran itu. Ia tetap fokus menyelesaikan wudhunya. Begitu selesai, ia berdiri dan tiba-tiba terdengar suara adzan Magrib dari kejauhan. Suaranya menggema dengan lembut, mengisi kesunyian rumah yang sejak tadi terasa berat. Namun, yang membuatnya terkejut bukan adzannya—melainkan perubahan suasana yang terjadi bersamaan. Hawa yang sejak tadi terasa dingin dan sedikit menekan kini berubah. Udara terasa lebih hangat, lebih nyaman. Seolah ada sesuatu yang tadinya mengintai kini menghilang, memberi ruang bagi ketenangan yang baru datang. Andi menarik napas dalam, merasakan kelegaan yang belum ia rasakan sejak masuk ke rumah itu. Dengan hati yang lebih tenang, ia mengambil sajadah, bersiap untuk menunaikan sholat Magrib dengan perasaan yang jauh lebih damai.

Suara azan Magrib yang tadi memenuhi udara kini telah selesai. Keheningan kembali menyelimuti rumah. Andi mengambil sajadah dan menuju ruang tamu, tempat yang menurutnya cukup nyaman untuk menunaikan sholat. Namun, saat ia bersiap, hawa yang tadi terasa hangat tiba-tiba berubah. Rasa nyaman yang sempat hadir saat adzan berkumandang kini perlahan menghilang, berganti dengan udara dingin yang kembali menyelimutinya. Seolah ada sesuatu yang kembali muncul setelah adzan berakhir. Andi merasakan bulu kuduknya berdiri, tetapi ia menolak membiarkan dirinya takut. Ia menarik napas pelan, menutup mata sejenak, lalu mulai membaca niat. Apapun yang ia rasakan, ia meyakinkan diri bahwa ini hanyalah perasaan dan pikiran yang tidak perlu. Saat ia mulai menunaikan sholat, udara terasa sedikit lebih berat, namun ia tetap fokus. Ayat demi ayat ia lantunkan dengan khusyuk, berusaha menenangkan hatinya. Sesekali, ia merasakan seolah ada sesuatu yang mengamatinya dari sudut ruangan, tapi ia tidak ingin terganggu. Ia tetap melanjutkan ibadahnya dengan penuh keyakinan. Hingga salam terakhir ia ucapkan, hawa dingin masih terasa, tetapi tidak lagi sekuat sebelumnya. Andi mengusap wajahnya, menarik napas panjang, lalu mengembuskan pelan. Bagaimanapun, ini adalah rumahnya sekarang. Dan ia tidak akan membiarkan rasa takut mengambil alih.

Selesai salat, Andi duduk diam di ruang tamu, menatap sudut-sudut rumah yang masih terasa asing baginya. Awalnya, ia berencana untuk membersihkan seluruh ruangan agar lebih nyaman, tetapi pengalaman beberapa jam terakhir sudah cukup menggoyahkan pikirannya. Keraguan mulai muncul. Udara masih terasa dingin, tidak berubah seperti sebelumnya. Setiap sudut ruangan seakan menyimpan sesuatu yang tak terlihat. Andi mencoba menepis perasaan itu, tetapi semakin ia memikirkannya, semakin ia ragu apakah ia benar-benar bisa bertahan malam ini. Ia menggeser pandangannya ke arah pintu keluar, merenung dalam diam. Terlintas dalam benaknya untuk pulang saja. Namun, saat melihat jam, ia menyadari bahwa ini sudah terlalu larut. Meninggalkan rumah di jam seperti ini tidak lebih baik. Jalanan desa tempat ia tinggal memiliki pohon-pohon besar yang membentuk bayangan gelap di malam hari. Lampu jalan hanya ada di beberapa titik, dan suasana desa yang sunyi saat malam semakin menambah kecemasan. Penduduk desa jarang keluar di jam seperti ini, membuat jalanan terasa semakin sepi dan mencekam. Andi menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya. Pulang bukan pilihan yang lebih aman. Ia harus tetap tinggal, setidaknya untuk malam ini. Dengan pelan, ia bersandar ke dinding dekat pintu, mencoba mencari ketenangan meski hawa tidak enak masih menyelimutinya.

Malam terasa lebih panjang dari biasanya. Andi berbaring di sofa ruang tamu, mencoba memejamkan mata, tetapi waktu seakan berjalan lebih lambat. Setiap menit yang berlalu terasa seperti satu jam penuh, dan rumah ini semakin sunyi. Tiba-tiba, terdengar suara air mengalir dari kamar mandi. Hatinya berdebar. Ia tahu pasti bahwa tidak ada alasan air itu bisa mengalir sendiri. Bak mandi sudah ia bersihkan sebelumnya, tidak ada keran yang terbuka—atau setidaknya, begitulah yang ia pastikan sebelum keluar dari kamar mandi tadi. Pikiran positifnya mulai goyah, tetapi ia menolak membiarkan ketakutan mengambil alih sepenuhnya. Dengan keberanian yang masih tersisa, ia bangkit dan berjalan perlahan menuju kamar mandi. Setiap langkah terasa berat, seakan ada sesuatu yang mengawasinya dari balik kegelapan. Saat ia sampai di ambang pintu, suara air masih terdengar. Ia menarik napas dalam, lalu dengan satu gerakan, ia mendorong pintu dan masuk. Matanya langsung tertuju pada bak mandi. Ia membeku. Air di dalamnya, yang sebelumnya bersih setelah ia bersihkan sore tadi—kini berubah keruh, seakan belum tersentuh selama bertahun-tahun. Butiran kotoran melayang di permukaannya, dan bayangan yang tak jelas berpendar di dalam air. Andi mundur selangkah, tangannya sedikit gemetar. Ia mencoba menelan ludah, tetapi rasanya tenggorokannya mengering. Namun, ia menolak untuk langsung lari. Ia harus tetap berpikir rasional. Dengan tangan yang masih sedikit ragu, ia mendekat dan memutar keran. Aliran air berhenti. Hening. Tapi hawa aneh yang sejak tadi menyelimuti rumah ini tetap terasa… dan entah mengapa, semakin kuat.

Malam semakin larut, dan Andi mulai merasa tidak nyaman. Ia duduk gelisah di ruang tamu, memikirkan apa sebenarnya yang ia alami sejak tadi. Semua kejadian ini terasa aneh, semakin sulit diterima sebagai kebetulan. Ia berpikir, mungkin sebaiknya ia mencari orang di luar untuk meminta bantuan. Jika ada warga desa yang masih berkeliaran, mungkin ia bisa meminta mereka mengantarnya pulang dengan imbalan uang. Namun, desa ini sunyi saat malam, dan ia tidak yakin akan menemukan seseorang begitu saja. Saat menoleh ke arah jendela, matanya menangkap sosok berdiri di luar. Seorang pria, atau setidaknya itulah yang terlihat dari postur tubuhnya. Namun, wajahnya tidak tampak jelas—hanya bayangan yang tegak di kejauhan. Andi ragu. Apakah ia harus bertanya sesuatu kepada sosok itu? Haruskah ia meminta bantuan? Akhirnya, dengan sedikit keberanian, ia memutuskan untuk keluar rumah dan menghampirinya. Begitu keluar, udara malam terasa lebih dingin dari sebelumnya. Angin berhembus pelan, membawa aroma asing—bau kandang kambing. Andi mengerutkan kening. Tidak ada kandang kambing di sekitar sini, tapi bau itu begitu jelas. Ia mencoba mengabaikannya dan berjalan perlahan menuju sosok di kejauhan. Namun, semakin ia melangkah, bau itu semakin pekat, menusuk hidungnya. Ada sesuatu yang tidak beres. Namun, saat ia baru beberapa langkah dari rumah, tiba-tiba terdengar suara adzan Isya berkumandang dari kejauhan. Suaranya menggema di antara pohon-pohon, memenuhi kesunyian malam yang terasa mencekam. Refleks, Andi menoleh ke arah sumber suara adzan. Dan saat kembali menoleh ke arah sosok itu—sosok tersebut sudah tidak ada. Bersamaan dengan itu, bau kandang kambing yang tadi begitu menyengat juga ikut lenyap tanpa jejak. Andi berdiri diam, jantungnya berdegup lebih cepat. Apa yang sebenarnya ia lihat tadi? Apakah memang ada seseorang, atau ini hanya bagian lain dari keanehan rumah ini? Ia menelan ludah, lalu dengan cepat kembali masuk ke rumah, menutup pintu dengan erat. Namun, tidak ingin terlalu lama terjebak dalam perasaan tak menentu, ia segera kembali ke dalam rumah dan menuju kamar mandi untuk berwudhu. Air dingin menyentuh kulitnya, membawa ketenangan yang ia butuhkan setelah pengalaman yang begitu mengganggu. Setelah selesai, ia menggelar sajadah di ruang tamu dan menunaikan sholat Isya dengan penuh harapan bahwa ibadah ini akan membawa ketenangan dan perlindungan.

Malam itu terasa begitu panjang bagi Andi. Duduk di ruang tamu, ia semakin gelisah, merasa benar-benar sendirian. Tidak ada kerabat di desa ini, tidak ada teman yang bisa ia hubungi. Hanya dirinya dan rumah yang terasa semakin tidak bersahabat. Ia mencoba menenangkan diri dengan berdoa, berharap pagi segera datang. Baginya, rumah ini seharusnya menjadi tempat perlindungan, namun yang ia rasakan justru sebaliknya. Tiba-tiba, terdengar langkah kaki mendekati rumah. Suara itu semakin jelas, membuat Andi merapatkan tubuhnya ke dinding. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, dan ketakutan mulai mengambil alih. Bulu kuduknya berdiri ketika suara ketukan terdengar di pintu. “Assalamualaikum,” suara itu terdengar dari luar. Andi membeku. Ia menatap pintu dengan napas tertahan. Apakah itu orang asli, atau sesuatu yang lain? Lalu suara itu kembali terdengar, lebih jelas kali ini. “Saya RT di sini.” Degup jantung Andi melambat sedikit. Ia menghela napas lega, tanpa ragu langsung membuka pintu. Benar saja, di hadapannya berdiri seorang pria, warga desa setempat yang ternyata ketua RT. Wajahnya terlihat ramah, seakan memahami situasi Andi tanpa perlu banyak bertanya. Dengan suara yang hampir bergetar, Andi berbicara setengah menangis. Ia menjelaskan bahwa dirinya adalah pemilik baru rumah ini dan ia merasa begitu ketakutan. Ia memohon untuk bisa menginap di rumah Pak RT malam ini. Tanpa banyak pertanyaan, Pak RT langsung menyetujui. Ia mengajak Andi ke rumahnya, memberikan tempat yang lebih nyaman untuk bermalam. Saat berjalan keluar dari rumah itu, Andi merasa lega—tetapi rasa takut masih menggantung dalam dirinya. Malam ini, ia selamat. Tapi rumah itu… masih menyimpan misteri yang belum ia pahami.

Sesampainya di rumah Pak RT, Andi disuguhi secangkir teh hangat. Aroma teh yang menenangkan sedikit meredakan ketegangan yang sejak tadi menggantung di pikirannya. Pak RT duduk di hadapannya, menatapnya dengan penuh pengertian sebelum akhirnya berkata, “Apa pun yang kamu alami, jangan ceritakan sekarang, ya. Hari sudah malam, sebaiknya kamu tidur saja. Sekarang kamu sudah di tempat yang aman.” Andi mengangguk pelan. Ia tidak tahu apakah Pak RT memang sudah memahami sesuatu tentang rumah itu, atau hanya ingin menghindari pembicaraan yang bisa membuat malam ini semakin berat. Namun, ia menghargai perkataan itu dan memutuskan untuk mengikuti saran beliau.“Maaf, kamu harus tidur di ruang tamu karena saya tidak punya kamar lain,” lanjut Pak RT dengan nada tulus. Andi menggeleng kecil, tersenyum lelah. “Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah sangat berterima kasih.” Malam semakin larut. Andi merebahkan tubuh di sofa ruang tamu, rasa aman mulai mengisi dirinya. Untuk pertama kalinya sejak masuk ke rumah barunya, ia merasa bisa bernapas dengan tenang. Dan tak lama setelah itu, ia tertidur lelap.

Andi tertidur dengan perasaan lelah dan gelisah, namun pikirannya terus berputar dalam mimpi yang terasa nyata. Dalam mimpi itu, ia kembali datang ke rumah barunya, tetapi ada yang berbeda. Tidak ada rumah lain di sekitarnya, seakan tempat itu berdiri sendirian di tengah kehampaan. Udara terasa dingin, begitu sunyi hingga setiap langkahnya terdengar jelas. Ia berdiri di depan pintu, ragu untuk masuk. “Apa yang terjadi di sini? Kenapa semuanya terasa salah?” pikirnya. Tiba-tiba, tercium bau kandang kambing—bau yang sama seperti yang ia hirup tadi malam. Bersamaan dengan itu, suara langkah kaki terdengar mendekat dari kegelapan. Degup jantungnya semakin cepat, rasa takut mulai merayap ke pikirannya. Dengan terpaksa, ia masuk ke dalam rumah, berharap bisa bersembunyi. Tapi langkah kaki itu semakin mendekat. Seakan sosok itu akan masuk ke dalam rumah. Panik, Andi berlari ke kamar, menutup pintu dengan cepat, lalu tanpa pikir panjang masuk ke dalam lemari tua yang ada di sudut ruangan. Di dalam lemari yang sempit, napasnya terdengar putus-putus. Jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia bisa merasakannya di dada. Ia mulai melafalkan ayat suci, berdoa agar tidak ditemukan oleh sosok yang kini berada di luar kamar. Suara berisik terdengar—suara benda-benda yang diacak-acak, lemari yang didorong, meja yang bergeser. Disertai teriakan kasar: “Di mana kamu?! Di mana kamu?! Di mana pemilik saya?! Kenapa saya ditinggalkan?!” Andi menggigil, ayat suci terus ia lantunkan dalam hati. Ia menutup mata rapat-rapat, berharap suara itu segera menghilang. Perlahan, suara berisik itu mereda. Namun, sebelum ia bisa bernapas lega, terdengar suara pintu kamar terbuka perlahan. Andi merasa tubuhnya melemas, ketakutan mencapai puncaknya. Bau kandang kambing semakin menyengat, memenuhi ruangan. Ia tidak berani membuka mata, tidak berani bergerak. Semakin kuat bau itu… semakin tajam… Dan tiba-tiba—Andi terbangun. Napasnya memburu, tubuhnya basah oleh keringat. Ia melihat ke sekeliling, dan menyadari bahwa ia masih berada di rumah Pak RT. Di kejauhan, suara adzan Subuh berkumandang. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Keselamatan dan ketenangan akhirnya datang, membawanya keluar dari mimpi buruk itu. Dengan penuh rasa syukur, Andi menyeka wajahnya dan merasakan kelegaan luar biasa—ia telah terbangun.

Tanpa ragu, ia mengambil wudhu dan menunaikan sholat Subuh, berharap ketenangan bisa menyelimuti hatinya yang masih gelisah. Setelah selesai, Pak RT datang membawa secangkir teh hangat dan sepiring makanan sederhana. Andi menerima dengan penuh terima kasih, menyadari betapa bersyukurnya ia bisa berada di rumah ini—jauh dari rasa takut yang menyiksa dirinya semalaman. Saat duduk bersama, ia akhirnya berbicara, “Pak, bisakah nanti siang temani saya mengambil barang di rumah itu?” Pak RT menatapnya dengan sorot mata yang seolah menyimpan lebih banyak cerita daripada yang ingin ia ungkapkan. Dengan nada pelan, ia berkata, “Nak, sebenarnya saya sudah tahu hal ini terjadi. Awalnya, saat saya mendengar rumah itu terjual, saya bingung, bertanya-tanya, siapa yang berani membelinya?” Andi diam, mendengar dengan cermat. “Keturunan pemilik sebelumnya pun tidak nyaman tinggal di sana, itulah sebabnya mereka pindah keluar kota. Rumah itu memang memiliki penunggu, yang sengaja ditanam oleh pemilik terdahulu. Selama bertahun-tahun, penunggu itu menganggap pemilik rumah adalah bagian darinya—mereka hidup berdampingan, dari generasi ke generasi. Namun, pemilik asli sudah lama tiada, dan yang tinggal di sana hanyalah anak, cucu, hingga cicitnya. Seiring waktu, penunggu itu kehilangan sosok pemiliknya, lalu mulai mengganggu siapa pun yang ia anggap asing tinggal di sana.” Andi merasa darahnya berdesir. Ia awalnya tidak pernah mempercayai hal-hal seperti ini, tetapi setelah mengalami sendiri, rasanya mustahil untuk tetap menyangkal kenyataan yang terjadi. Ia menelan ludah dan bertanya dengan suara yang sedikit bergetar, “Pak, jadi… apa ada solusi?” Pak RT menghela napas pelan, lalu menjawab dengan tegas, “Menurut saya, penunggu itu harus dipindahkan ke suatu tempat oleh seseorang yang memang ahli dalam hal ini—orang yang memahami cara mengusirnya dengan benar. Sementara itu, rumah itu jangan dulu ditempati. Nak, kamu masih beruntung bisa selamat. Kalau tidak, penunggu itu bisa benar-benar menghabisimu karena mengira kamu adalah pencuri, bukan pemilik rumah itu.” Andi terdiam. Matanya membelalak, pikirannya kacau. Semua yang ia alami, semua yang terasa seperti mimpi buruk, ternyata benar-benar memiliki jawaban yang lebih mengerikan dari yang ia bayangkan. Ia hanya bisa duduk terpaku, tidak percaya pada semua yang telah terjadi.

Setelah mendapatkan saran dari Pak RT, Andi mengubur niatnya untuk mengambil barang-barangnya sendiri. Ia sadar bahwa rumah itu bukan tempat yang bisa ia datangi begitu saja tanpa persiapan. Tanpa menunda waktu, ia mulai mencari seseorang yang bisa memindahkan penunggu tersebut ke tempat lain. Pencariannya mempertemukannya dengan seorang ustadz di desa itu. Setelah mendengar cerita Andi, ustadz itu mengangguk pelan dan mengiyakan tawaran tersebut. “Baik, kita akan coba memindahkannya,” katanya dengan suara mantap. Ketika rombongan yang terdiri dari ustadz, Andi, Pak RT, dan beberapa warga tiba di depan rumah itu, suasana langsung berubah. Baru berada di lingkungan luarnya saja, aura dingin terasa begitu mencekam. Angin yang seharusnya berhembus lembut kini terasa berat, seakan ada sesuatu yang memperhatikan mereka dari balik bayangan rumah. Ustadz berdiri tegak, lalu mulai membacakan ayat suci dengan suara lantang. Perlahan, hawa di sekitar berubah, dan tanpa diduga, suara samar muncul—suara yang bukan berasal dari mereka. “Kenapa kau mengganggu rumah ini?” ustadz akhirnya bertanya, berinteraksi dengan sosok yang tak terlihat. Jawaban itu datang, namun bukan dengan suara manusia. Suara yang terdengar berat dan bergetar, seperti berbicara dari dalam kegelapan. “Aku menjaga rumah ini. Aku melindunginya.” Ustadz mengangguk pelan. “Tempatmu bukan di sini. Kau harus pergi.” Namun, makhluk itu tidak menerima begitu saja. Seketika, hawa bertambah dingin, lebih menusuk daripada sebelumnya. Jendela rumah bergetar, berbunyi kriet… kriet… seolah ada sesuatu yang mencoba menghalangi mereka. Ustadz kembali membaca ayat suci, kali ini dengan lebih kuat, lebih mendesak. Suaranya memenuhi udara, bergema di setiap sudut rumah. “Jika kau menolak pindah, maka kau akan dihancurkan,” ucap ustadz dengan tegas. Hening. Sejenak, tidak ada suara lain selain gemuruh angin yang semakin kuat. Namun, setelah beberapa saat, hawa dingin mulai mereda. Makhluk itu akhirnya mengalah. “Aku akan pergi.” Tanpa perlawanan lebih lanjut, sosok yang tidak terlihat itu akhirnya dipindahkan—disalurkan ke pepohonan bambu yang tidak jauh dari rumah tersebut. Saat proses pemindahan selesai, udara yang sebelumnya begitu mencekam perlahan kembali normal. Rumah itu kini terasa lebih kosong… lebih tenang. Andi menghembuskan napas yang sejak tadi tertahan. Ia tahu, rumah itu akhirnya telah terbebas dari gangguan yang selama ini menghantuinya.

Setelah keadaan dirasa cukup aman, Andi akhirnya memberanikan diri untuk masuk kembali ke rumah itu. Begitu melangkahkan kaki ke dalam, ia terkejut—ruangan di dalam benar-benar berantakan, setiap perabotan seperti telah diacak-acak tanpa kendali. Apa yang ia lihat begitu mirip dengan kejadian di mimpinya tadi malam. Kini ia tahu, semua yang terjadi bukan sekadar mimpi kosong—ia benar-benar mengalaminya dalam bentuk lain. Tanpa membuang waktu, Andi segera mengambil barang-barangnya yang tersisa. Ia tidak ingin berlama-lama di sana. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, ia keluar dari rumah itu, mengembuskan napas panjang. Keputusan telah dibuat. Andi memutuskan untuk tetap tinggal di kontrakannya dan menjual rumah ini kepada orang lain. Ia tidak bisa memaksakan dirinya untuk menetap di tempat yang sudah menguji batas keberaniannya. Ia merasa sangat berterima kasih kepada Pak RT, ustadz, dan warga yang telah membantunya menghadapi kejadian ini. Tanpa mereka, ia mungkin tidak akan pernah bisa keluar dari situasi yang menakutkan itu. Dari pengalaman ini, Andi belajar satu hal, jangan pernah meremehkan sesuatu yang tidak terlihat. Dan jangan terburu-buru dalam membeli rumah, karena rumah bukan hanya sekadar bangunan—ia juga bisa menyimpan kisah dan energi yang tidak terduga. Saat meninggalkan rumah itu untuk terakhir kalinya, ia merasa lega… tetapi juga sedikit waspada. Karena meskipun penunggu itu telah dipindahkan, siapa yang tahu apakah rumah itu benar-benar kosong?

Oleh Fathia Salim