Saya lahir di Dusun Wonosalam, Kelurahan Sukoharjo, kecamatan Ngaglik, kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jujur, desa saya tidak memiliki suatu ikonik tersendiri, tidak ada spesial-spesialnya. Hanya satu desa di antara ribuan desa konvensional pada umumnya. Maka, untuk mengisi dan menambah sedikitnya cerita yang disampaikan, saya juga akan menceritakan apa saja seputar desa ini, entah dari pengalaman saya sendiri, ataupun cerita cerita dari orang orang lain, karena memang sedikitnya sumber yang bisa saya dapat dan sedikitnya referensi yang bisa saya baca.
Menurut keterangan ibu saya sendiri yang merupakan warga asli Wonosalam, terkait dengan nama Wonosalam, bahwa kata itu diambil karena dulu pada masa itu area dusun Wonosalam masih berupa hutan yang sering kali dalam bahasa Jawa dinamakan dengan alas. Nah di Alas ini terdapat sebuah pohon yang sangat besar sekali, pohon tersebut adalah pohon salam. Lantas kemudian desa saya dinamakan dengan Wonosalam. Wono artinya hutan atau alas, dan salam adalah kata yang merujuk pada pohon salam.
Ibu saya juga bercerita bahwa dahulu kala, ada seorang musafir yang sedang mengembara dan kebetulan melihat palang Desa Wonosalam, di tengah perjalanannya. Ternyata kendi minum sang musafir itu sudah habis, maka dengan niat meminta sekendi air untuk perjalanan, dia memasuki Desa Wonosalam.
Bukannya memberi air, penghuni rumah tersebut malah mengusir musafir tersebut. Sang Musafir tidak menyerah, dia terus mendatangi rumah, satu persatu, untuk meminta air. Namun jawabannya yang dilontarkan tetap sama, seakan tidak ada yang peduli dengan nasibnya. Merasa sudah tidak ada jawaban, dia meninggalkan kampung tersebut, kampung Wonosalam.
Singkat cerita dia berhasil sampai di kampung yang letaknya tidak jauh dari kampung Wonosalam. Ia masuk ke dalam kampung tersebut dan mengulangi hal yang sama, meminta belas kasihan agar masyarakat dapat memberinya sekendi air untuk dia minum.
Terkejut, musafir tadi terharu, ternyata tanpa babibu, bapak itu, orang yang ada di hadapannya langsung memberikan minum kepada sang musafir. Bukan hanya bapak itu, orang orang yang berada di kampung tersebut juga banyak yang menawarkan rumah mereka sebagai tempat peristirahatan sementara bagi musafir.
Melihat betapa tulus dan baik hatinya orang orang itu, musafir itu menangis. Bukan hanya karena terharu dengan kebaikan mereka, tetapi terharu karena pada akhirnya dia menemukan tempat yang tepat, tempat yang pantas, dan tempat pilihan, dia berhasil menemukan sebuah jawaban.
Musafir tadi menadahkan tangannya ke langit, dia berdoa hingga mulai mengeluarkan air mata, berkumpul di kelopak mata, membentuk sebuah tetesan, mengalir melewati lesung pipi hingga membasahi janggutnya. Dari pucuk pucuk janggutnya air mulai berkumpul, dan mulai menetes ke arah bumi, kledokan. Ya, kampung itu bernama Kledokan. Sesaat setelah itu tiba tiba air di bumi Kledokan seakan tidak pernah habis, selalu menyembur mengeluarkan mata air yang sangat jernih nan segar hingga saat ini.
Itu adalah kisah dari Ibu saya, yang turun-menurun dituturkan dari generasi ke generasi. Jika Kampung Kledokan memiliki akses air yang sangat banyak, maka berbanding terbalik dengan kampung saya, Wonosalam, karena di sini sulit sekali mencari air. Jika harus menggali sumur pun juga harus dalam, tidak seperti Kampung Kledokan yang mudah sekali mendapatkan air.(*)
Oleh Husain Akmal Faiz