Sedekah Laut di Desa Bendar

Angin malam berembus pelan melalui jendela kamar, membawa aroma laut yang khas ke dalam rumah di pinggir sungai Desa Bendar. Di atas ranjang empuk, seorang anak kecil bernama Sagara meringkuk dalam pelukan ibunya. Di malam yang dingin itu, sebelum tidur, Sagara meminta ibunya menceritakan kisah tentang sedekah laut, sebuah tradisi yang setiap tahun ramai dirayakan di desanya. Sang ibu tersenyum hangat, lalu mulai berkisah dengan suara lembut dan penuh kasih, seolah sedang membuka pintu ke masa lalu.

“Kita mulai dari mana ya?” kata ibu sambil mengusap rambut Sagara, “Tradisi sedekah laut ini dimulai sebagai wujud syukur para nelayan atas rezeki yang mereka terima dari laut.” Ibu menjelaskan bahwa sejak lama, masyarakat Desa Bendar percaya bahwa laut bukan sekadar tempat mencari ikan, tetapi juga rumah bagi makhluk gaib yang harus dihormati. Karena itu, setiap tahun mereka mengadakan upacara sedekah laut untuk menunjukkan rasa terima kasih dan meminta keselamatan.

Sagara memandang ibunya dengan mata berbinar. “Apa yang mereka lakukan saat sedekah laut, Bu?” tanyanya penasaran. Sang ibu tersenyum manis, lalu melanjutkan ceritanya. “Mereka akan membuat sesaji lengkap nak, yang disebut buceng. Buceng itu terbuat dari nasi, ayam ingkung, buah-buahan, kue tradisional, dan bunga-bunga yang harum. Semuanya disusun rapi di atas tampah, lalu dibawa ke pantai untuk dilarung bersama harapan dan doa.”

Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh para nelayan, tetapi melibatkan seluruh warga desa. Dari anak-anak hingga orang tua, semua bersiap sejak pagi hari. Para perempuan memasak dan menyiapkan sesaji, sementara laki-laki menyiapkan perahu dan panggung hiburan. “Pesta rakyat ini seperti lebaran kedua bagi kami, bahkan lebaran di desa inipun kalah ramai dengan acara ini” lanjut sang ibu. “Karena selain upacara adat, ada juga hiburan rakyat, bazar makanan, dan pentas seni.”

Sagara membayangkan suasana ramai di desa, dengan tenda-tenda warna-warni dan suara gamelan yang mengalun dari kejauhan. Ibunya pun mengangguk pelan. “Benar, Nak. Musik tradisional, barongan, bahkan kadang ada pertunjukan wayang kulit. Semua ini bukan sekadar hiburan, tapi cara kita merawat budaya.” Ia menambahkan bahwa anak-anak juga ikut meramaikan suasana, mengenakan pakaian adat atau menjadi bagian dari arak-arakan.

Upacara sedekah laut dimulai dengan kirab budaya yang membawa buceng menuju laut. Warga berjalan beriringan, dipimpin oleh sesepuh desa dan para nelayan yang memikul sesaji. Di sepanjang jalan, mereka menyanyikan tembang Jawa dan melantunkan doa. Sesampainya di tepi sungai, perahu-perahu telah dihias dengan janur kuning dan bunga. Buceng kemudian dinaikkan ke perahu utama untuk dilarung ke tengah laut.

“Ketika buceng dilarung, semua orang akan diam sejenak, menundukkan kepala,” lanjut sang ibu dengan suara lirih. “Mereka memanjatkan doa dalam hati: semoga hasil laut melimpah, cuaca bersahabat, dan keluarga tetap sehat.” Saat buceng hanyut di ombak, beberapa orang terlihat menitikkan air mata. Ada rasa haru, bangga, dan juga rindu akan leluhur yang dulu mewariskan tradisi ini.

Sagara memeluk tangan ibunya erat. “Ibu pernah ikut melarung buceng?” tanyanya pelan. Sang ibu mengangguk. “Dulu Ibu ikut membantu nenekmu membuat sesaji. Kami bangga bisa menjaga tradisi ini.” Ia menambahkan bahwa sedekah laut bukan hanya soal spiritualitas, tapi juga mempererat tali silaturahmi antarwarga. Semua gotong royong, saling membantu tanpa pamrih.

Namun, sang ibu juga bercerita bahwa ada masa di mana tradisi ini hampir hilang. “Dulu pernah ada tahun-tahun di mana orang mulai melupakannya karena sibuk atau tidak peduli.” Tapi berkat perjuangan para tokoh adat dan dukungan pemerintah desa, tradisi itu hidup kembali. Bahkan kini semakin meriah karena diliput media dan menarik wisatawan. Pemerintah daerah mendukung penuh tradisi ini sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan. Bahkan Dinas Pariwisata sering kali terlibat dalam penyelenggaraan acara, mengundang media dan komunitas seni untuk ikut serta. “Tapi, Nak, yang paling penting adalah kita tetap menjaga makna di baliknya, bukan sekadar ikut-ikutan,” ujar sang ibu bijak. Ia lalu bercerita tentang nilai-nilai yang diajarkan oleh tradisi sedekah laut: menghormati alam, bersyukur atas rezeki, dan hidup rukun dengan sesama. “Laut bukan milik kita semata. Ia juga butuh dijaga, dihormati, dan disyukuri.” Pesan itu terus ditanamkan kepada generasi muda, termasuk melalui pelajaran di sekolah dan kegiatan karang taruna.

Sagara mulai mengantuk, tapi matanya tetap terbuka sedikit, mendengarkan cerita dengan penuh perhatian. Ibunya lalu mengisahkan bahwa selain melarung buceng, ada juga doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama. “Doa itu mencakup permohonan perlindungan dari bencana laut, seperti badai dan gelombang tinggi, serta keselamatan bagi para nelayan yang melaut.” Dalam beberapa tahun terakhir, kata ibunya, tradisi ini juga menjadi sarana edukasi lingkungan. Anak-anak diajak membersihkan pantai, menanam mangrove, dan belajar tentang sampah laut. “Supaya laut kita tetap bersih, dan ikan-ikan tidak punah,” ucap ibu sambil menatap langit-langit kamar, seolah membayangkan masa depan yang lebih baik.

Sagara akhirnya mulai terlelap, tapi ibunya masih terus berbicara pelan, lebih seperti bisikan. Ia bercerita bahwa setiap kali sedekah laut berlangsung, ia merasa dekat dengan leluhurnya. “Seolah mereka hadir di antara kami, tersenyum melihat anak-cucunya masih memegang tradisi.” Ia ingin Sagara kelak juga meneruskan kebiasaan ini, menjaga apa yang telah diwariskan. Sebelum benar-benar tidur, Sagara berbisik, “Kalau sudah besar, aku mau bantu Ibu buat buceng.” Sang ibu tertawa pelan, lalu menciumnya di kening. “Ibu tunggu, Nak. Dan ingatlah, sedekah laut bukan hanya tentang sesaji, tapi juga tentang cinta pada kampung halaman dan lautan.” Angin malam kembali bertiup pelan, membawa ketenangan ke dalam kamar yang kini sunyi.

Keesokan harinya, setelah matahari terbit, ibu dan Sagara berjalan-jalan di sekitar pelataran rumah yang menghadap ke sungait. “Ibu, apakah laut bisa marah kalau kita lupa bersedekah?” tanya Sagara penasaran. Ibunya tersenyum dan menjawab pelan, “Laut tidak benar-benar marah, Nak. Tapi jika kita tidak menjaga alam dan lupa bersyukur, bencana bisa datang sebagai peringatan.” Ia menjelaskan bahwa sedekah laut adalah simbol hubungan antara manusia dan alam yang saling bergantung. Jika manusia serakah dan tidak menghargai laut, maka laut pun bisa menjadi sumber malapetaka. Oleh karena itu, upacara ini menjadi pengingat agar manusia hidup selaras dengan alam. Ibu Sagara menekankan bahwa sedekah laut juga mengajarkan kesadaran ekologis yang tinggi, meskipun dikemas dalam bentuk adat.

Tradisi sedekah laut di Desa Bendar tidak hanya diwariskan dalam bentuk kegiatan seremonial, tetapi juga melalui cerita rakyat yang terus dituturkan dari generasi ke generasi. Di antara cerita yang terkenal adalah kisah tentang tokoh spiritual desa yang pernah bermimpi bertemu dengan penunggu laut, yang kemudian memberinya petunjuk tentang tata cara melarung sesaji. Cerita-cerita seperti ini menanamkan rasa hormat dan spiritualitas sejak dini kepada anak-anak desa. “Ibu dulu sering mendengar cerita itu dari kakekmu,” kata sang ibu sambil tersenyum mengenang. Meski zaman terus berubah, cerita-cerita semacam ini tetap hidup, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Itulah mengapa, kata ibunya, tradisi ini tidak hanya untuk dilestarikan secara fisik, tetapi juga melalui lisan dan hati. Anak-anak seperti Sagara adalah harapan agar cerita-cerita itu tetap abadi di benak generasi mendatang.

Salah satu hal yang membanggakan dari sedekah laut di Desa Bendar adalah keterlibatan pemuda desa yang semakin aktif. “Sekarang, Nak, banyak anak muda yang ikut merancang acara, membuat desain spanduk, bahkan mengelola media sosial untuk mempromosikannya,” jelas sang ibu. Mereka belajar bekerja sama, merencanakan logistik, dan berdialog dengan tokoh adat maupun pemerintah desa. Hal ini menjadikan tradisi bukan hanya milik orang tua, tapi juga ruang belajar anak muda. Dengan begitu, sedekah laut menjadi wadah kolaborasi lintas generasi. “Itulah yang membuat tradisi ini tetap hidup dan terus berkembang,” lanjut ibu. Ia yakin, selama ada semangat kebersamaan, sedekah laut akan tetap menjadi denyut budaya Desa Bendar.

Di tahun-tahun terakhir, sedekah laut juga menjadi daya tarik wisata budaya yang menarik perhatian luar. Banyak pengunjung datang dari kota untuk menyaksikan upacara ini dan belajar tentang tradisi maritim Jawa. Pemerintah daerah pun mulai memperhatikan infrastruktur desa agar bisa menunjang wisata budaya tersebut. Tapi di tengah euforia itu, ibu Sagara selalu mengingatkan bahwa yang terpenting bukan kemeriahannya, melainkan makna di balik setiap doa, tarian, dan sesaji. “Kita boleh membuka diri pada dunia luar,” katanya, “tapi jangan sampai kehilangan jati diri.” Ia ingin Sagara dan teman-temannya tumbuh sebagai generasi yang mencintai budaya bukan karena tren, tapi karena rasa hormat dan tanggung jawab.

Malam itu, ketika cerita telah usai dan angin laut kembali berhembus pelan, ibu menatap langit yang bertabur bintang. Dalam hati, ia bersyukur karena masih bisa menuturkan kisah-kisah yang dulu ia dengar sejak kecil. Ia tahu, dunia akan terus berubah, tapi tradisi akan tetap hidup jika ada yang mau merawatnya. Ia memandang Sagara yang telah terlelap, lalu membisikkan doa dalam hati: semoga anak ini kelak tumbuh menjadi penjaga laut dan warisan leluhur. Sebab laut bukan sekadar sumber ikan, tapi juga sumber nilai, budaya, dan kehidupan. Di desa kecil ujung kota bernama Bendar ini, laut telah mengajarkan banyak hal tanpa berkata-kata. Dan lewat kisah sederhana sebelum tidur, ibu percaya bahwa benih cinta budaya telah tertanam di hati putranya.(*)

Oleh Anggun Tantya Cahyani