Di ruang ujian, suasana hening. Pulpen menari di atas kertas, mengejar angka yang dianggap sebagai bukti kecerdasan. Namun di sudut ruangan, seorang dosen justru mengajukan pertanyaan sederhana: “Bagaimana kamu tahu cara itu benar?” Pertanyaan itu mengejutkan mahasiswa yang terbiasa mengejar hasil akhir. Bagi dosen tersebut, yang lebih penting bukan sekadar jawaban, melainkan proses berpikir yang melatarbelakanginya. Pertanyaan ini membuka mata: apakah matematika cukup direduksi menjadi angka, atau seharusnya menjadi ruang untuk menumbuhkan logika dan kreativitas?
Selama ini publik masih melihat matematika identik dengan jawaban benar-salah. Mahasiswa pun sering terjebak pada pandangan sempit bahwa keberhasilan hanya ditentukan oleh hasil akhir. Padahal, di dunia kerja dan kehidupan nyata, yang paling dihargai bukan sekadar hasil perhitungan, melainkan cara menalar, menjelaskan, dan beradaptasi terhadap masalah. Di sinilah pentingnya memandang matematika sebagai laboratorium berpikir—tempat mahasiswa berlatih menemukan strategi, menguji logika, dan mengasah kreativitas.
Masalah Lama: Matematika Hanya Angka
Evaluasi tradisional dalam pembelajaran matematika kerap menitikberatkan pada hasil akhir. Salah hitung sedikit saja bisa membuat nilai anjlok, meskipun logika dan langkah penyelesaian sebenarnya sudah tepat. Pola seperti ini membuat mahasiswa cemas berlebihan terhadap kesalahan, sehingga matematika dianggap menakutkan. Alih-alih mengembangkan kemampuan berpikir kritis, mereka justru belajar menghindari risiko.
Efeknya cukup serius. Mahasiswa enggan bereksperimen dengan strategi baru karena takut dianggap salah. Proses penalaran yang seharusnya kaya dengan ide kreatif justru terpangkas. Kreativitas yang bisa tumbuh dari mencoba berbagai pendekatan sering kali tak sempat muncul, sebab yang dihargai hanyalah jawaban akhir yang sesuai kunci. Akibatnya, matematika terjebak menjadi ritual mekanis, bukan arena eksplorasi.
Temuan penelitian kampus juga mengonfirmasi hal ini. Banyak soal ujian yang hanya meminta hasil akhir tanpa ruang untuk menjelaskan strategi atau argumen. Proses berpikir mahasiswa pun tidak terdokumentasi, sehingga dosen sulit menilai kedalaman pemahaman mereka. Situasi ini membuat mahasiswa kurang terbiasa menjelaskan cara berpikir, padahal kemampuan tersebut sangat dibutuhkan di dunia nyata.
Pendekatan Baru: Problem Solving & Kreativitas
Kini muncul pendekatan baru yang menekankan evaluasi autentik berbasis problem solving. Dalam pendekatan ini, mahasiswa dinilai bukan hanya dari hasil akhirnya, tetapi juga dari strategi yang digunakan, representasi yang dipilih, dan cara mereka mengomunikasikan ide. Proses refleksi juga menjadi bagian penting: bagaimana mereka menilai kembali solusi yang sudah dibuat, dan apa yang akan diperbaiki bila kesempatan kedua diberikan. Dengan cara ini, evaluasi matematika menjadi lebih manusiawi dan lebih bermakna.
Kegiatan kelas pun bisa lebih variatif. Diskusi strategi, kerja berpasangan (think–pair–share), analisis kesalahan (error analysis), hingga tugas dengan banyak solusi (multiple-solution tasks) dapat membuka ruang kreativitas. Bayangkan sebuah soal terbuka: “Rancang skema harga paket data agar adil dan menguntungkan—jelaskan model serta asumsi yang digunakan.” Jawaban tidak tunggal, dan mahasiswa diajak berpikir layaknya pemecah masalah nyata. Micro–CTA: coba ambil satu soal terbuka dan tuliskan tiga strategi berbeda, lalu bandingkan kelebihan serta kekurangannya.
Dampaknya sangat positif. Mahasiswa menjadi lebih berani mencoba, tidak lagi takut salah, karena kesalahan dipandang sebagai data belajar. Mereka belajar dari proses, bukan sekadar hasil. Matematika pun terhubung dengan kehidupan nyata—menghadapi masalah kompleks, berkolaborasi dengan rekan, dan mengomunikasikan ide. Inilah keterampilan abad 21: berpikir kritis, kreatif, mampu bekerja sama, dan pandai menyampaikan gagasan.
Dari Kelas ke Dunia Nyata
Contoh konkret bisa dilihat pada tugas terbuka lain: “Optimalkan penempatan stan bazar di aula—nyatakan variabel, batasan, dan alasan strategisnya.” Tugas ini tidak hanya meminta perhitungan, tetapi juga argumentasi. Rubrik penilaiannya mencakup lima aspek: kejelasan strategi, kebenaran logika, representasi (grafik, tabel, model), komunikasi ide, serta refleksi diri. Dengan cara ini, mahasiswa tidak hanya berlatih berhitung, tetapi juga belajar merancang, menjelaskan, dan mengevaluasi solusi.
Dari kelas, mahasiswa membawa bekal ke dunia nyata. Mereka terbiasa memecahkan masalah yang tidak selalu memiliki satu jawaban benar. Mereka belajar bahwa argumen yang kuat dan proses berpikir yang jernih jauh lebih bernilai daripada sekadar kalkulasi cepat. Matematika pun berubah wajah: bukan lagi museum rumus, melainkan gym otak yang melatih logika dan kreativitas.
Angka memang penting, tetapi tidak boleh menutup ruang berpikir. Artikel ini mengingatkan kita bahwa matematika seharusnya melatih cara berpikir, bukan sekadar hasil berpikir. Langkah pertama bisa sederhana: berikan satu tugas terbuka di setiap pertemuan, gunakan rubrik sederhana yang menilai proses sekaligus hasil, dan sisihkan lima menit untuk refleksi di akhir kelas. Dengan kebiasaan ini, mahasiswa akan tumbuh lebih percaya diri, lebih kreatif, dan lebih siap menghadapi persoalan kompleks. Angka selesai di kertas; nalar dan kreativitas akan mengantar mereka melintasi hidup.
Dr. Isnarto, M.Si.
Drs. Mashuri, M.Si.
Dr. Asep Purwo Yudi Utomo, S.Pd., M.Pd.
Emy Sohilait, S.Pd., M.Pd.