RESENSI PUISI “YANG FANA ADALAH WAKTU”

 Identitas Puisi 

Judul Puisi : Yang Fana Adalah Waktu

Penulis : Sapardi Djoko Darmono

Jenis Puisi : Puisi Baru

Bahasa : Indonesia

Judul Buku : Antologi Sajak Hujan Bulan Juni

Tahun Penulisan : 1978

Resensi Puisi 

Yang fana adalah waktu. Kita Abadi:

Memungut detik demi detik, merangkainya

seperti bunga sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa.

“Tapi,yang fana adalah waktu, bukan?”

tanyamu. Kita abadi

Puisi berjudul “Yang Fana Adalah Waktu” ditulis oleh Sapardi Djoko Darmono, seorang penyair kelahiran Surakarta. Selain sebagai penyair, Sapardi juga dikenal sebagai dosen, pengamat sastra, kritikus sastra, dan pakar sastra. Puisi karya Sapardi Djoko Darmono cenderung imajis-intelektual. Puisi Sapardi bukan semata-mata ekspresi perasaan, tetapi juga terintegrasi dengan pemikiran dan kualitas intelektual. Beberapa karya Sapardi Djoko Darmono diantaranya: Duka-mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-Ayat Api (2000), dan Mata Jendela (2000).

Puisi “Yang Fana Adalah Waktu” menjadikan waktu sebagai tema utama. Dalam puisi ini, Sapardi membalik fakta yang ada dengan menyatakan bahwa waktu adalah suatu hal yang fana, sedangkan kita (manusia) adalah suatu hal yang abadi. Ungkapan ini dimaksudkan untuk menyindir para manusia yang terlalu sibuk mengejar urusan duniawi seolah mereka akan hidup abadi, hingga lupa bahwa sejatinya manusia bersifat fana. Namun, kalimat “Kita abadi” juga bisa menjadi pengingat bahwa bahkan setelah kematian masih ada kehidupan akhirat, di mana kita akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita selama di dunia.

Kalimat “Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa” juga merupakan pengingat sekaligus sindiran untuk manusia yang kerap melakukan hal-hal tidak bermanfaat selama di dunia. Kalimat tersebut juga menjadi sindiran pada manusia yang suka mengejar gemerlap dunia hingga lupa tujuan kehidupan yang sebenarnya yaitu untuk menjadi khalifah di bumi ini.

Melalui puisi ini, Sapardi mencoba mengingatkan betapa pentingnya waktu yang dimiliki manusia selama hidup di dunia. Setelah menjalani kehidupan di dunia, manusia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan mereka. Oleh karena itu, selagi hidup di dunia kita harus mencari bekal agar bisa selamat di akhirat nanti.

Unsur Fisik Pusis

Dalam puisi “Yang Fana Adalah Waktu” terdapat beberapa unsur fisik yang dapat dianalisis. Ada tipografi yaitu tampilan atau visual sebuah puisi, berupa puisi satu bait yang susunannya acak dan bebas. Semua bait tersusun tidak rata, ada yang menjorok dan tidak. Kemudian, diksi yang digunakan dalam puisi cukup sederhana, tidak menggunakan bahasa yang terlalu puitis, serta mudah dipahami. Imaji yang digunakan dalam puisi berupa imaji penglihatan, ditunjukkan dengan penggambaran kata “bunga”. Kata konkret yang digunakan misalnya “memungut”, yang dimaksud memungut waktu (memungut detik demi detik) disini adalah menghabiskan waktu selama di dunia. Lalu, ada kata “merangkai”, yang dimaksud merangkai waktu (merangkainya sebagai bunga) yaitu menggambarkan usaha manusia dalam melakukan banyak hal tanpa menyadari waktu yang terus berjalan. Gaya bahasa yang digunakan berupa majas simile, ditunjukkan dengan penggunaan kata “seperti” untuk membandingkan “detik” yang serupa dengan “bunga”, padahal sebenarnya tidak memiliki hubungan apapun secara harfiah.

Sudut pandang: walaupun tidak ditunjukkan dengan jelas, puisi ini menggunakan sudut pandang dari orang pertama tanpa menggunakan kata subjek “aku”. Sudut pandang ini ditunjukkan dengan cara bagaimana baris-baris di puisi itu menunjukkan jalan cerita.  Baris satu sampai empat menunjukkan bagaimana tokoh utama dari puisi ini berpikir mengenai tujuan hidup dan pandangannya mengenai waktu. Baris kelima dan keenam menunjukkan bagaimana seseorang yang dia kenal membalas keraguannya akan tujuan manusia hidup di dunia ini dan adanya kata “tanyamu” yang menunjukkan bahwa kalimat di baris kelima disebutkan oleh yang sedang diajaknya berbicara mengenai keraguannya akan tujuan hidup dan pandangannya terhadap waktu sebagai hal yang fana.

Majas Metafora: metafora yang terdapat di puisi ini ditunjukkan dengan cara membandingkan antara “waktu” dan “kita”, yang mana keduanya merupakan hal yang tidak berhubungan satu sama lain. Namun, Sapardi menyambungkan keduanya dengan menambah frasa “adalah hal yang fana” untuk kata “waktu”, lalu “adalah yang abadi” untuk kata “kita” demi menyampaikan kritiknya terhadap manusia yang lupa akan kodratnya, diibaratkan dengan frasa “kita abadi” yang berfungsi sebagai sarkasme dengan “waktu adalah hal yang fana.”

Majas Simile: simile dalam puisi ini ditunjukkan dengan penggunaan kata “seperti” untuk membandingkan “detik” yang serupa dengan “bunga” yang sebenarnya tidak memiliki hubungan apapun secara harfiah. Namun, dalam makna dari puisi ini, “detik” berfungsi sebagai kiasan dari hidup bagi seorang manusia, sedangkan “bunga” berfungsi sebagai kebahagiaan yang dikejar-kejar oleh manusia sebagai tujuan hidupnya.

Kelebihan dan Kekurangan

Kelebihan puisi “Yang Fana Adalah Waktu” meliputi tema yang mendalam, mendorong pembaca untuk merenungkan arti hidup dan waktu. Puisi ini menyampaikan pesan moral yang kuat tentang pentingnya memanfaatkan waktu dan menjalani hidup dengan tujuan yang mulia. Bahasa yang digunakan dalam puisi ini puitis dan menarik.

Namun, ada juga kekurangan yang terdapat dalam puisi karya Sapardi ini, seperti adanya beberapa kata konotatif yang bisa mempersulit pemahaman beberapa pembaca. Ketergantungan pada konteks budaya tertentu bisa menjadi penghalang, serta tema yang sering muncul dalam sastra mungkin terasa kurang baru. Selain itu, bagian-bagian yang tidak jelas dapat membingungkan pembaca, sehingga mengurangi kekuatan pesan yang ingin disampaikan.

Imam Nur Rohim, Dito Yus Dermawan, Faridatun Nadiyah, Najlaa Ekadita Tiarso, Rizka Ari Yani.