Pembangunan ibu kota negara (IKN) baru di Kalimantan Timur adalah langkah monumental bagi Indonesia. Relokasi ibu kota dari Jakarta, yang telah menjasi pusat pemerintah selama lebih 400 tahun, bukan hanya sebuah perpindahan geografis, tetapi juga tantangan besar yang melibatkan berbagai macam aspek seperti, aspek sosial, ekonomi, dan juga lingkungan. Disini kita akan membahas rencana relokasi yang efektif untuk memastikan transisi yang mulus.
Kota Jakarta telah lama dikenal sebagai salah satu kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia dengan lebih dari 10 juta penduduk dalam area metropolitan yang lebih luas. Kota ini sering mengalami berbagai masalah, termasuk kemacetan jalan, polusi, dan juga resiko banjir akibat banyak gedung pencakar langit yang tidak memberi ruang untuk daya tampung curah hujan. Relokasi dari Jakarta ke ibu kota negara memiliki beberapa rencananya antara lain pemetaan sumber daya alam, keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan penting, pembangunan infrastruktur, pelindungan lingkungan, dan pengembangan ekonomi lokal. Relokasi tersebut berpotensi memunculkan persoalan, misalnya kepentingan masyarakat Kalimantan Timur mungkin akan terancam dengan perubahan ini. Selain itu, biaya dan anggaran yang dibutuhkan sangat besar, kesiapan infrastruktur yang membutuhkan waktu yang lama, dan risiko lingkungan yang berpotensi merusak ekosistem yang ada.
Masalah-masalah tersebut memerlukan perhatian yang serius agar proses relokasi dan pembangunan IKN dapat berjalan dengan baik.
Kompleksitas dan tantangan yang menghadapi dalam pembangunan IKN dan pentingnya pendekatan yang inklusif serta berkelanjutan dalam proses relokasi. Berikut argumen yang memperkuat pendapat bahwa pembangunan IKN dan relokasi dari Jakarta adalah langkah keliru. Pertama, mengabaikan akar masalah yang dihadapi Jakarta. Kedua, penggunaan sumber daya yang tidak efisien, seperti biaya pembangunan IKN yang diperkiraan mencapai ratusan triliun rupiah dapat lebih baik digunakan untuk memperbaiki infrasturuktur dan laynan publik lain. Ketiga, risiko sosial dan budaya memicu ketegangan antara penduduk lokal dan penduduk pendatang baru, serta menganggu komunitas yang sudah ada. Keempat, ketertiban publik yang kurang bisa mengakibatkan keputusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Terakhir, kesenjangan regional yang makin dalam, yang bisa memperburuk kesejangan pembangunan antar daerah.
Dengan argumen di atas jelas bahwa relokasi ibu kota mungkin bukan solusi yang efektif dan berkelanjutan untuk masalah yang dihadapi indonesia. Karena itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, perbaikan infrastuktur dijakarta seperti, perluasan sistem MRT dan LRT, perbaikan jalan, dan peningkatan transportasi publik.Kedua, pengembangan daerah perdesaan dan suburban ,dengan mengembangkan daerah lain, pemerintah dapat menciptakan pusat pertumbuhan baru yang akan mendristibusi populasi dan sumber daya yang merata. Ketiga, penerapan kebijakan smart city di mana teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan efisien dalam pengelolaan lalu lintas, pengelolaan sampah, dan penyedian layanan publik sehingga mengurangi masalah perkotaan yang ada. Keempat, pendidikan dan pelatihan untuk masyarakat akan menciptakan lebih banyak peluang kerja dan mengurangi pengangguran
Dengan solusi-solusi tersebut diharapkan masalah yang dihadapi dapat diatasi secara efektif.(*)
Oleh Eky Rizka Syahrani (Ilmu Hukum UNNES)