Bercanda merupakan hal biasa di kalangan anak muda, berbagai macam candaan dibagikan untuk menghibur para remaja. Ada yang membagikanya secara langsung, maupun secara daring melalui media sosial. Namun, seiring berjalanya waktu, candaan yang dilontarkan sering kali melewati batas. Belakangan ini, penggunaan kata ‘autis’ seringkali digunakan untuk bercandaan atau bahan ejekan di kalangan anak muda. Istilah ini sering digunakan untuk mengejek temannya yang bertingkah tidak sesuai atau tidak tahu malu. Orang yang dianggap tidak bisa mengikuti percakapan atau orang yang lambat dalam memahami sesuatu terkadang juga diejek dengan kata ‘autis’, padahal mereka tidak mempunyai kondisi tersebut. Penggunaan kata ‘autis’ dalam konteks negatif ini semakin marak digunakan di kalangan anak muda, yang mungkin tidak menyadari dampak psikologis yang dapat ditimbulkan dari kata-kata mereka. Mirisnya, kata ‘autis’ seharusnya merujuk pada suatu kondisi medis yang serius dan kompleks, sehingga tidak tepat jika kata ‘autis’ masih terus digunakan untuk candaan maupun ejekan.
Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan neurologis yang memengaruhi cara seseorang berinteraksi, berkomunikasi, dan memproses informasi. Penderita autisme sering kali menunjukkan pola perilaku yang terbatas dan berulang, serta memiliki cara berpikir dan merespons dunia yang berbeda. Penting untuk dicatat bahwa autisme bukanlah sesuatu yang bisa dipandang enteng. Setiap orang dengan autisme memiliki tantangan dan keunikan yang berbeda, dan banyak dari mereka membutuhkan dukungan dan pemahaman khusus untuk berkembang.
Penggunaan kata ‘autis’ sebagai ejekan atau olok-olokan sangat menyakitkan, terutama bagi keluarga dan orang yang hidup dengan autism . Autisme sering kali disalahartikan sebagai perilaku yang aneh atau sulit dikendalikan. Ketika kata ‘autis’ digunakan sebagai ejekan, hal ini memperkuat stigma bahwa autisme identik dengan kecacatan sosial atau intelektual yang seharusnya dipermalukan. Padahal, autisme adalah kondisi medis yang memerlukan pemahaman dan penanganan yang tepat. Menyebut seseorang sebagai ‘autis’ hanya karena mereka bertindak sedikit berbeda adalah penyederhanaan yang berbahaya. Padahal autisme tidak sesederhana itu dan setiap orang yang mengalaminya memiliki pengalaman dan tantangan yang berbeda.
Selain itu menggunakan kata tersebut sebagai ejekan mengabaikan kenyataan bahwa orang dengan autisme memiliki potensi dan kebutuhan yang berbeda-beda. Bagi orang tua dan keluarga yang mempunyai anak dengan autisme, mendengar kata ‘autis’ digunakan sebagai ejekan adalah sesuatu yang sangat menyakiti hati mereka. Mereka sering kali berjuang keras untuk memberikan dukungan terbaik bagi anak mereka. Namun, ketika autisme digunakan untuk mengejek seseorang, itu seolah merendahkan upaya dan perjuangan mereka dalam menerima dan mendukung anak-anak mereka yang memiliki kondisi tersebut.
Dampak Negatif
Penggunaan kata ‘autis’ sebagai ejekan membawa dampak negatif tidak hanya bagi individu yang dicemooh, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Ketika kata ‘autis’ digunakan untuk mengejek seseorang, ini menunjukkan bahwa perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang aneh atau patut dipermalukan. Padahal, setiap orang berhak dihormati tanpa memandang perbedaan. Selain itu bagi anak-anak atau remaja dengan autisme, sering kali menerima ejekan atau cemoohan bisa merusak rasa percaya diri mereka. Mereka dapat mulai merasa malu atau tidak diterima, yang dapat memperburuk tantangan sosial yang sudah mereka hadapi. Sebagai akibatnya, mereka mungkin semakin mengisolasi diri, yang memperburuk kondisi mereka. Ejekan yang menggunakan kata ‘autis’ juga membentuk persepsi yang salah terhadap autisme di masyarakat. Banyak orang yang mungkin tidak tahu tentang kondisi ini akan semakin tidak memahami autisme dengan baik. Akibatnya, orang dengan autisme bisa semakin terisolasi dan tidak mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.
Untuk mengurangi maraknya penggunaan kata ‘autis’ sebagai ejekan, diperlukan kesadaran dan empati dari seluruh lapisan masyarakat. Beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk mulai merubah sikap ini antara lain edukasi tentang autism, menghargai perbedaan, dan berhenti menggunakan kata ‘autis’ aebagai ejekan.
Ya, maraknya penggunaan kata ‘autis’ sebagai ejekan atau bahan candaan di kalangan anak muda merupakan fenomena yang perlu dihentikan. Untuk itu, edukasi yang lebih luas tentang autisme dan upaya untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung menjadi langkah yang sangat penting. Dengan menghargai perbedaan dan menggunakan kata-kata yang lebih positif, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih memahami dan mendukung individu dengan autisme, serta menghilangkan stigma yang tidak berdasar. Mari kita berhenti menggunakan kata ‘autis’ secara sembarangan, dan berusaha untuk lebih bijak dan penuh pengertian dalam berkomunikasi. (*)
Oleh Riska Adhi Widiyanti (Ilmu Hukum UNNES)