Kejahatan siber Tak Main-Main

Kejahatan siber (cybercrime) terus meningkat secara global. Menurut Cybersecurity Ventures, kerugian akibat kejahatan siber secara global diperkirakan akan mencapai $10,5 triliun per tahun pada 2025, naik dari $3 triliun pada tahun 2015. Di Indonesia, laporan BSSN menyebutkan bahwa serangan phishing dan malware adalah jenis ancaman terbesar yang dihadapi masyarakat, dengan frekuensi serangan meningkat lebih dari 40% setiap tahun. Dengan dampak yang begitu besar, kejahatan siber tidak hanya menjadi masalah teknologi tetapi juga masalah sosial, hukum, dan keamanan yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak.

Kejahatan siber, dalam berbagai bentuknya, adalah tindakan yang secara mendasar bertentangan dengan prinsip keadilan, hak asasi manusia, dan tanggung jawab sosial.  Kejahatan siber merusak kepercayaan publik terhadap teknologi yang seharusnya menjadi alat untuk kemajuan. Ketika pengguna merasa bahwa data mereka tidak aman atau dapat disalahgunakan, mereka cenderung ragu untuk menggunakan layanan digital, bahkan untuk kebutuhan penting seperti perbankan online atau transaksi e-commerce. Penurunan kepercayaan ini dapat memperlambat perkembangan ekonomi digital dan inovasi teknologi, yang sebenarnya dirancang untuk mempermudah hidup manusia.

Kejahatan siber yang melibatkan pencurian atau penyebaran data pribadi melanggar hak privasi yang diakui secara internasional. Hak ini dijamin dalam berbagai konvensi dan undang-undang internasional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi ManusiadanPeraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) di Uni Eropa. Ketika data pribadi seseorang dicuri atau disalahgunakan, korban kehilangan kendali atas informasi mereka sendiri, yang dapat menyebabkan dampak negatif seperti pencemaran nama baik, penipuan, atau ancaman fisik.

Dalam skala yang lebih besar, kejahatan siber dapat digunakan sebagai senjata oleh individu atau kelompok untuk mengganggu stabilitas negara. Serangan siber terhadap infrastruktur kritis, seperti jaringan listrik, sistem perbankan, atau layanan transportasi, dapat melumpuhkan aktivitas ekonomi dan sosial suatu negara. Hal ini menciptakan ketidakstabilan yang tidak hanya merugikan negara target tetapi juga seluruh komunitas internasional, terutama jika serangan tersebut memicu konflik geopolitik.

Jelaslah bahwa kejahatan siber adalah fenomena global yang semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Kejahatan ini tidak hanya menimbulkan kerugian materiil tetapi juga berdampak pada aspek sosial, moral, dan keamanan nasional. Kejahatan siber melanggar prinsip-prinsip keadilan, hak asasi manusia, dan tanggung jawab sosial, sekaligus merusak kepercayaan terhadap ekosistem digital yang menjadi pilar utama dalam era transformasi digital.

Indonesia, sebagai salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar, menghadapi tantangan besar dalam mengatasi ancaman ini. Serangan siber yang terus meningkat, baik dalam skala nasional maupun internasional, menunjukkan kelemahan dalam infrastruktur keamanan siber, rendahnya literasi digital masyarakat, serta kurangnya koordinasi dan kerja sama global dalam menangani kasus lintas negara. Dampak dari kejahatan siber tidak hanya dirasakan oleh korban langsung tetapi juga menciptakan efek fatal yang memengaruhi stabilitas ekonomi, sosial, dan keamanan. Kesalahan fundamental dari kejahatan siber terletak pada sifatnya yang eksploitatif, destruktif, dan tidak memberikan ruang bagi keadilan atau perlindungan hak. Dalam konteks ini, kejahatan siber bukan sekadar pelanggaran hukum tetapi juga ancaman serius terhadap nilai-nilai dasar masyarakat modern yang berlandaskan kepercayaan dan kolaborasi.

            Untuk menghadapi ancaman kejahatan siber, diperlukan beberapa cara yang modern juga dalam penangananya, bukan hanya memerlukan teknologi mutakhir saja untuk menangkalnya tapi diperlukan juga pemahaman yang kuat terhadap ancaman tersebut.

Berikut ini langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengurangi dan mengatasi ancaman ini. Pertama, peningkatan literasi digital. Masyarakat perlu dibekali dengan pemahaman yang lebih baik tentang ancaman siber dan cara melindungi diri. Program edukasi literasi digital harus diperluas, baik melalui jalur formal seperti kurikulum sekolah maupun jalur informal seperti pelatihan dan kampanye publik. Contohnya adalah memberikan edukasi tentang cara mengenali email phishing, pentingnya menggunakan kata sandi yang kuat, serta manfaat dari pembaruan perangkat lunak secara rutin.

Kedua, penguatan infrastruktur keamanan siber. Pemerintah dan sektor swasta harus berinvestasi dalam teknologi keamanan siber untuk melindungi data dan sistem penting. Penggunaan teknologi seperti firewall canggih, deteksi ancaman berbasis AI, dan enkripsi data harus menjadi standar di seluruh organisasi, terutama yang menangani data sensitif. Selain itu, audit keamanan siber secara berkala harus dilakukan untuk mengidentifikasi dan menutup celah keamanan sebelum dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.

Ketiga, penegakan hukum yang tegas. Undang-undang tentang kejahatan siber, seperti UU ITE di Indonesia, perlu diperkuat dan diimplementasikan secara efektif. Aparat penegak hukum juga harus dilatih untuk menangani kasus kejahatan siber, termasuk kemampuan melacak pelaku yang menggunakan teknologi canggih seperti VPN atau Dark Web. Selain itu, pengadilan harus memberikan hukuman yang setimpal untuk memberikan efek jera kepada pelaku. (*)

Oleh Muhammad Fathurrahman (Ilmu Hukum UNNES)