Ketidakstabilan Emosional Mahasiswa Baru

Menjadi mahasiswa baru adalah pengalaman yang penuh warna. Perubahan dari kehidupan sekolah menuju dunia perkuliahan sering kali menjadi momen yang penuh tantangan bagi mahasiswa baru. Lingkungan yang baru, tuntutan akademik yang lebih berat, serta perubahan dalam pola kehidupan sehari-hari sering kali membawa tekanan yang tidak terduga. Hal ini berdampak pada kestabilan emosi mahasiswa baru, memunculkan rasa cemas, stres, hingga kebingungan dalam menghadapi sesuatu. Ketidakstabilan emosi ini bukanlah hal yang asing, melainkan fenomena umum yang dialami banyak mahasiswa baru. Tantangan tersebut tidak hanya mempengaruhi performa akademik, tetapi juga hubungan sosial, bahkan kesehatan mental. Oleh karena itu, penting untuk memahami apa yang menyebabkan ketidakstabilan emosi ini, bagaimana gejalanya muncul, serta strategi efektif untuk mengatasinya.

Ketidakstabilan emosi pada mahasiswa baru biasanya dimulai dari proses transisi besar yang mereka alami ketika memasuki dunia perkuliahan. Perubahan lingkungan, tanggung jawab, dan cara hidup yang berbeda dari masa sekolah menjadi pemicu utama.

Ketidakstabilan emosi, seperti stres, kecemasan atau kehilangan motivasi, dapat menganggu fokus dan konsentrasi pada mahasiswa baru dalam belajar. Mereka mungkin mengalami dengan adanya kesulitan memahami materi, mengerjakan tugas atau menghadapi ujian. Jika dibiarkan, hal ini dapat menurunkan prestasi akademik dan mempengaruhi kepercayaan diri.

Mahasiswa baru yang emosinya tidak stabil dapat memicu kesulitan saat beradaptasi dengan lingkungan sosial yang baru. Perasaan cemas atau kurang percaya diri dapat menghambat mereka untuk membangun hubungan dengan teman baru, dosen, atau komunitas di kampus. Hal ini dapat menyebabkan isolasi sosial, yang justru memperburuk ketidakstabilan emosi mereka

Banyak mahasiswa baru mulai merasa tertekan dan cemas dengan adanya harus memikirkan tujuan jangka panjang , seperti karier atau masa depan setelah lulus. Bagi mereka yang tidak yakin dengan pilihan jurusan atau minatnya, hal ini dapat menimbulkan kebingungan dan stres emosional.

Sebuah studi menunjukkan bahwa meskipun banyak mahasiswa yang berada dalam kategori dalam kategori mampu mengelola emosi dengan baik, sekitar 39% dari mereka masih berada dalam kategori tingkat pengelolaan yang sedang atau lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan , ada juga kelompok yang sulit menghadapinya, yang dapat berdampak pada performa akademik dan kesejahteraan mental mereka. Dukungan sosial, baik dari keluarga, teman, maupun kampus, memainkan peran penting untuk mahasiswa baru beradaptasi dengan perubahan tersebut. Tanpa dukungan yang memadai, mahasiswa beresiko mengalami penurunan dalam kemampuan mengelola emosi mereka, yang dapat memperburuk stres dan kecemasan yang mereka alami.

Anggapan bahwa ketidakstabilan emosi pada mahasiswa baru hanya bersifat sementara dan tidak memerlukan perhatian khusus. Hal ini karena emosi yang tidak stabil, jika tidak ditangani dengan baik dapat berdampak jangka panjang pada kesehatan mental,performa akademik, dan kemapuan beradaptasi mahasiswa dalam lingkungan baru. Kesalahan ini sering muncul dari minimnya pemahaman bahwa fase transisi ke perguruan tinggi melibatkan banyak tantangan, termasuk tuntutan akademik, sosial, dan emosional. Ketidakstabilan emosi yang tidak dikelola dapat berkembang menjadi masalah kesehatan mental serius, seperti depresi atau gangguan kecemasan. Penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang tidak mendapatkan dukungan emosional berisiko lebih tinggi mengalami gagal dalam studi.

Ketidakstabilan emosi pada mahasiswa baru memerlukkan perhatian khusus karena dampaknya yang signifikan pada berbagai aspek kehidupan mereka. Solusi utama adalah penyediaan dukungan emosional yang memadai, baik melalui konseling kampus, pelatihan pengelolaan emosi, maupun komunitas pendukung. Dukungan emosional yang diberikan secara konsisten dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mengatasi tekanan.

            Untuk mahasiswa baru jangan ragu untuk meminta bantuan ketika merasa kewalahan dengan adanya tugas. Temukan teman yang mendukung, bergabunglah dengan komunitas kampus, dan manfaatkan layanan konseling. Mengelola emosi adalah keterampilan yang bisa dilatih, dan mencari dukungan bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah menuju kekuatan mental. (*)

Oleh Amanda Mutiara Ramadhani (Ilmu Hukum UNNES)