Legenda Kembang Lamating

   Di kaki Gunung Merbabu yang berkabut, terdapat sebuah desa kecil bernama Sindura yang dikelilingi oleh ladang dan hutan pinus. Desa ini hidup dalam ketenangan, jauh dari hiruk-pikuk kota, dan dihuni oleh orang-orang yang hidup berdampingan dengan alam. Di desa itu, tinggal seorang gadis muda bernama Lamating bersama ibunya. Ia tumbuh sebagai gadis yang tak hanya cantik parasnya, tetapi juga lembut perilakunya dan bijaksana pikirannya. Lamating dikenal sebagai penjaga ladang bunga peninggalan ayahnya yang telah tiada. Ladang itu bukan sembarang ladang, karena bunga-bunga yang tumbuh di sana memiliki warna dan aroma yang tak biasa—seolah-olah diberkahi oleh tangan dewa.

       Sejak kecil, Lamating memiliki kebiasaan berbicara dengan bunga-bunganya. Ia percaya bahwa setiap bunga memiliki roh dan bisa merasakan kasih sayang manusia. Ia akan menyanyikan tembang Jawa saat menyiramnya, dan mengusap daun-daunnya dengan penuh kelembutan. Anehnya, bunga-bunga itu tumbuh subur, mekar sepanjang tahun meskipun musim kemarau panjang melanda. Warna-warna mereka mencolok—ungu keperakan, merah muda pucat, kuning gading—dan aroma mereka bisa menenangkan hati yang gelisah. Orang-orang dari desa lain mulai datang untuk melihatnya, dan tak sedikit yang percaya bahwa Lamating memiliki kekuatan gaib.

       Ketenaran Lamating menyebar hingga ke desa-desa lain. Banyak pemuda datang membawa pinangan, dari petani biasa hingga anak kepala dusun. Namun, semua lamaran itu ditolaknya dengan halus. Lamating selalu mengatakan bahwa hatinya belum terpaut pada siapa pun, dan bahwa ia masih ingin fokus merawat ladang bunganya, melestarikan warisan ayahnya yang meninggal saat dirinya masih bayi. Ibunya pun tidak memaksanya menikah, karena ia tahu bahwa bunga-bunga itu adalah sumber kebahagiaan dan ketenangan putrinya.

       Suatu hari, datanglah seorang pemuda dari jauh, seorang pangeran pengembara bernama Raden Banu. Ia meninggalkan kerajaannya karena bosan dengan intrik istana dan mencari makna sejati dalam kehidupan. Ia tiba di Sindura secara tak sengaja, saat tersesat dalam perjalanan mendaki Gunung Merbabu. Ketika melihat Lamating pertama kali, Raden Banu tak hanya terpikat oleh kecantikannya, tetapi juga oleh aura damai yang terpancar dari dirinya. Namun berbeda dengan pemuda lain, ia tidak langsung menyatakan cintanya. Ia justru meminta izin tinggal di desa dan belajar menanam bunga dari Lamating, menyamar sebagai rakyat biasa.

Hari-hari mereka dilalui bersama. Di pagi hari, mereka menyiram bunga dan mencabuti gulma, lalu duduk di bawah pohon randu sambil berbincang tentang mimpi dan harapan. Lamating mulai membuka hatinya perlahan, terpesona oleh kejujuran dan kerendahan hati Raden Banu. Ia merasa nyaman berada di dekatnya, seolah telah mengenalnya seumur hidup. Raden Banu pun semakin yakin bahwa ia telah menemukan tujuan hidupnya—bukan hanya cinta, tetapi kehidupan yang sejati bersama alam.

       Namun, kebahagiaan mereka tak luput dari mata iri. Ki Jagabaya, seorang kepala desa tua yang rakus dan berpengaruh, diam-diam telah lama mengincar Lamating. Ia merasa tersaingi oleh kehadiran Raden Banu, dan iri pada perhatian yang diberikan Lamating pada pemuda asing itu. Dengan licik, ia mulai menyebar fitnah bahwa Lamating menggunakan ilmu hitam untuk membuat bunga-bunganya mekar indah dan bahwa Raden Banu adalah penyusup yang membawa pengaruh buruk dari luar desa. Ia menghasut warga, menyebar ketakutan, dan perlahan menumbuhkan keraguan terhadap Lamating.

       Fitnah yang semula dianggap angin lalu, lambat laun mulai dipercaya oleh warga. Mereka melihat keajaiban bunga Lamating sebagai sesuatu yang tidak wajar, dan mulai bertanya-tanya bagaimana mungkin ladang itu tak pernah kering atau layu. Ketika ada warga yang jatuh sakit, Ki Jagabaya menyalahkan aroma bunga Lamating sebagai penyebabnya. Desakan demi desakan membuat para tetua desa mengadakan pertemuan, dan akhirnya memutuskan untuk mengadili Lamating. Raden Banu mencoba membela kekasihnya, namun ia hanya dianggap sebagai orang asing yang tak memahami adat desa.

       Lamating digiring ke alun-alun desa dengan tangan terikat, wajahnya tetap tenang meski hatinya terluka. Warga yang dulu menyayanginya kini memandangnya dengan curiga. Malam sebelum hukuman dijatuhkan, para tetua mengizinkannya pergi ke ladangnya untuk terakhir kali. Dalam kesunyian malam dan sinar rembulan, Lamating menyusuri jalur kecil menuju ladang yang telah dirawatnya bertahun-tahun. Ia menyentuh bunga-bunganya satu per satu, mencium aroma mereka, dan akhirnya berlutut di tengah ladang sambil berdoa, “Wahai alam semesta, jika aku benar dalam niatku, biarlah bunga-bunga ini menjadi saksi bahwa cintaku bukan sihir, melainkan kasih yang tulus.”

       Saat itulah langit berubah muram. Awan hitam bergulung dari puncak Merbabu, angin kencang berhembus menggetarkan pepohonan. Petir menyambar langit, dan di tengah ladang bunga, cahaya terang muncul. Bunga-bunga Lamating bersinar dengan cahaya keemasan, memancarkan aroma yang membuat seluruh desa terdiam. Warga yang berbondong datang untuk menyaksikan keajaiban itu tidak dapat mengalihkan pandangan mereka. Mata mereka berkaca-kaca, sebagian mulai berlutut dalam penyesalan, menyadari bahwa mereka telah keliru.

       Dari cahaya itu muncullah sesosok perempuan berjubah putih, wajahnya bersinar lembut dan matanya bijak. Ia adalah Dewi Pertiwi, penjaga alam dan pelindung bumi. Suaranya menggema namun tenang saat berkata, “Lamating bukanlah penyihir, melainkan utusanku. Ia adalah anak alam yang kuberi tugas menjaga keharmonisan dunia. Tapi kalian, manusia, telah menodai ketulusan itu dengan keserakahan dan prasangka.” Warga pun bersujud, memohon ampun dan menangis karena kesalahan mereka.

        Namun penyesalan itu datang terlambat. Dewi Pertiwi menatap Lamating dengan kasih sayang dan berkata, “Anakku, deritamu telah cukup. Kini saatnya kau kembali ke alam yang damai.” Dalam sekejap, tubuh Lamating berubah menjadi kelopak bunga yang berkilauan. Kelopak-kelopak itu melayang ke langit lalu jatuh perlahan ke tanah, menyatu dengan ladangnya, menciptakan pemandangan yang tak pernah dilihat oleh manusia sebelumnya—ladang yang bercahaya, abadi, dan penuh dengan keharuman surgawi.

       Sejak saat itu, ladang Lamating tak pernah sepi. Bunga-bunganya terus bermekaran tanpa henti, warnanya tak pernah pudar, dan aroma lembutnya menyembuhkan luka hati siapa pun yang datang. Bunga itu kemudian dikenal sebagai Kembang Lamating, bunga suci yang hanya tumbuh di ladang tempat Lamating terakhir berdiri. Desa Sindura pun menjadi tempat ziarah dan perenungan bagi banyak orang.

       Raden Banu yang kehilangan cintanya tak pergi dari desa. Ia memutuskan untuk menetap dan menjaga ladang Lamating. Ia mengajarkan warga cara menanam bunga dengan cinta, tanpa kerakusan, tanpa tipu daya. Perlahan, desa berubah menjadi tempat yang lebih damai, selaras dengan alam. Nama Lamating dijadikan lambang kebajikan dan pengorbanan, dikenang dalam tembang-tembang rakyat yang dinyanyikan dari generasi ke generasi.

       Sementara itu, Ki Jagabaya diasingkan dari desa. Ia ditolak oleh desa-desa lain karena kejahatannya yang sudah menyebar luas. Ia menghabiskan sisa hidupnya di hutan, ditemani kesunyian dan penyesalan yang tak pernah padam. Namanya dihapus dari sejarah desa, dan hanya disebut sebagai contoh buruk dalam dongeng-dongeng orang tua kepada anak mereka.

       Hingga hari ini, setiap musim semi, Kembang Lamating mekar dengan indah di kaki Gunung Merbabu. Orang-orang datang dari seluruh penjuru negeri untuk melihat keajaiban itu. Mereka yang berhenti dan menghirup aroma bunga itu akan merasa damai, seolah semua luka dan beban hati mereka perlahan sirna. Mereka percaya bahwa itu adalah kehadiran Lamating yang masih menjaga dunia, dalam bentuk bunga yang abadi, mewariskan pesan tentang cinta, ketulusan, dan harmoni antara manusia dan alam.(*)

Oleh Virgi Haya Zhafirah