Jalan Pulang ke Bangetayu

Di sebuah desa tepatnya di Kelurahan Bangetayu Wetan, Kecamatan Genuk, Kota Semarang, ada sebuah rumah tua yang sudah tidak berpenghuni. Rumah itu dulunya adalah milik Bu Rini, beliau membeli rumah setengah jadi untuk dibangun kembali kemudian dikontrakkan. Namun, karena tidak adanya tukang dan truk atau mobil pengangkut bahan bangunan tidak bisa masuk ke area tersebut, maka pembangunan dihentikan. Dan sejak saat itu rumah setengah jadi dengan nuansa joglo itu tidak pernah ditengok lagi oleh pemiliknya. Rumah itu dibiarkan kosong begitu saja tanpa adanya perawatan.

Masyarakat sekitar percaya bahwa rumah yang sudah tidak ditempati selama 40 hari maka akan dihuni oleh makhluk lain. Sebut saja itu adalah jin dan syaiton serta makhluk halus lainnya. Memang tidak terlalu ramai cerita tentang penghuni rumah tua dan kosong ini. Tapi ada beberapa warga sekitar yang pernah diganggu, bahkan melihat penampakan ketika melewati rumah kosong tersebut.

Salah satu warga bernama Bu Sari pernah diganggu ketika melewati depan rumah kosong itu. Saat itu, malam hari setelah pulang dari pengajian Bu Sari pulang melewati jalan belakang rumah yang melewati rumah tua itu. Awalnya semua baik-baik saja, tak ada apapun yang terjadi. Beliau berjalan di depan halaman rumah kosong dengan tenang. Namun, ketika melewati samping rumahnya, suasana terasa berbeda. Aura terasa berat. Jajanan yang dibawa dari pengajian tiba-tiba jatuh. Bu Sari cepat-cepat mengambilnya.

Bu Sari yang mengambil dengan posisi menunduk, merasakan berat yang bertambah pada punggungnya. Padahal beliau tidak menggendong apapun. Saat akan melanjutkan jalannya, beliau (kaget) ketika merasa ada yang memegang pundaknya. Menoleh pun tak membuahkan hasil apa pun karena tidak ada siapa-siapa di sana, hanya Bu Sari seorang.

Merinding, takut. Perasaannya tak tenang dan tak mampu berpikir jernih. Bu Sari semakin mempercepat langkahnya. Menjauh dari rumah tua menyeramkan itu. Keesokan harinya saat berkumpul dengan ibu-ibu lain, Bu Sari menceritakan kejadian yang dialaminya semalam.

“Semalam waktu pulang dari pengajian, saya lewat samping rumahnya Bu Rini yang Gak sempat dibangun itu. Saya sempat diganggu,” cerita Bu Sari.

“Diganggu bagaimana, Bu?” Bu Nawa penasaran.

“Jadi, semalam saya pulang lewat belakang, lewat samping rumah tua itu. Saya merasa ada yang pegang pundak saya, tapi pas lihat ke belakang gak ada siapa-siapa.”

“Kok bisa begitu, Bu?” Kak Milla, salah seorang ibu muda menimpali, merasa heran.

“Ya Gak tahu. Waktu lewat situ pun tiba-tiba saja punggung jadi berat. Ini sudah agak mendingan.”

“Dulu juga katanya ada yang pernah lihat penampakan di situ. Katanya ada penunggunya,” jelas Bu Nawa.

Kak Milla yang mendengar itu jadi teringat bagaimana ia juga diganggu saat melewati depan rumah tua itu. Kak Milla juga ikut menceritakannya.

Malam itu Kak Milla yang pulang kerja melewati jalan belakang. Tentu saja akan lewat sebelah rumah tua kosong. Tak ada apa-apa awalnya. Namun, saat lewat depan rumah kosong, Kak Milla mendengar ada yang memanggil namanya. Suaranya terdengar lembut dan samar. Kak Milla menoleh, tak ada siapa pun. Kak Milla baru menyadari ternyata dirinya berhenti tepat di depan rumah kosong. Motor yang ditumpanginya mati seketika. Merinding, Kak Milla merasa takut dan ngeri. Cepat-cepat ia hidupkan kembali motornya dan segera berlalu. Diacuhkannya suara-suara yang terus memanggil. Hingga Kak Milla sampai di ujung jalan suara itu tak terdengar lagi, tapi tetap saja Kak Milla merasa takut dengan kejadian yang baru saja dialaminya.

Kak Milla menceritakannya dengan perasaan takut, ibu-ibu lain yang mendengar ceritanya juga merasa ngeri. Sebenarnya ada apa dengan rumah itu, apa yang membuatnya menjadi mengerikan. Semuanya merasa tak tenang.

“Ngeri juga ya. Itu yang manggil siapa?” tanya Bu Sari.

Gak tahu, Bu, Gak ada orang. Tapi nama saya dipanggil beberapa kali.”

“Fikri kayaknya juga sering lewat sana kan? Apalagi dia kalau main selalu pulang malam dan selalu lewat sana, memangnya dia tidak diganggu?”

Gak tahu juga, Bu. Fikri Gak pernah cerita soal begituan.”

Ini sebenarnya bukanlah cerita yang terlalu seram. Lebih mirip seperti teror. Tapi aku sendiri yang mengalami merasakan ketakutan yang tak bisa kulupakan. Tentang waktu pulang, jalan pulang, dan rumah tua itu. Malam itu terasa sangat mencekam. Aku tidak percaya dengan hal-hal tahayul dan jarang sekali mengalami hal yang tak masuk akal. Namun, malam di mana aku merasakan keberadaan makhluk tak kasat mata membuatku percaya walau tak melihatnya secara langsung.

Malam hari, aku pulang dari Madrasah. Aku biasanya melewati jalan depan gang, tapi karena ada truk mogok yang membuatku tak bisa melewatinya, aku terpaksa memutar balik dan pulang lewat jalan yang menghubungkan belakang rumahku. Sudah hampir pukul 10 malam, jalan-jalan kampung sudah sepi, pintu-pintu rumah juga sudah tutup. Aku sendirian pulang melewati jalan di depan rumah tua, tak ada orang lain ataupun kendaraan yang lewat.

Malam itu adalah malam Jumat. Banyak yang mengatakan bahwa malam Jumat adalah malam yang disukai para lelembut. Aku tak menghiraukannya. Aku terus menaiki motorku dengan tenang. Jalanan gelap, hanya ada satu lampu jalan yang remang-remang. Entah mengapa aku merasa gelisah ketika melewati depan rumah tua itu. Rasa-rasanya seperti ada yang mengawasiku. Dan tiba-tiba saja ada suara dobrakan kecil dari arah rumah itu, aku spontan berhenti.

“Siapa?”

Tak ada jawaban, aku tetap harus tenang. Itu mungkin hanya tikus atau kucing. Aku melanjutkan jalanku, berbelok di tikungan dan bersebelahan langsung dengan rumah tua itu. Gelap dan sunyi, hanya terdengar suara motorku.

Aku melanjutkan jalanku, tapi lagi-lagi ada suara-suara aneh yang terdengar. Aku takut. Tak mau ambil pusing, aku segera melaju kencang dengan motorku. Rasa takut semakin memuncak ketika melewati samping rumah itu. Jarak jalan dengan rumah tua itu benar-benar dekat. Sangat gelap dan terasa sekali energi negatif yang ada pada rumah itu. Hingga aku sampai rumah, masih saja kurasakan hawa tak enak itu.

Rumah itu memang menyeramkan. Beberapa warga terkena gangguan ketika dekat-dekat dengan rumah kosong itu. Namun, kejadian ini tak semuanya merasakan. Contohnya seperti ibuku yang tak pernah diganggu meski sering melewati jalan depan rumah tua. Fikri, adik Kak Milla sekaligus teman masa kecilku yang saat ini juga sering melewati jalanan itu tak pernah mendengar cerita menyeramkan dari mulutnya. Dan semenjak rumah itu diberi penerangan tak ada lagi kasus seseorang diganggu oleh penunggu rumah tua itu.

Kita hidup di dunia tidak sendiri. Manusia, hewan, dan tumbuhan hidup bersama di dunia, bahkan makhluk yang tak kasat mata sekalipun juga hidup berdampingan dengan kita. Mereka tidak akan mengganggu jika kita berperilaku baik dan sopan. Alangkah baiknya tetap beriman dan menjaga adab di mana pun dan kapan pun.(*)

Oleh Khairun Nisak Maharani