Pada zaman dahulu di pesisir selatan Pulau Jawa, hiduplah seorang pengembara muda Bernama Raden Budog. Ia dikenal sebagai pemuda tampan dan gagah, berasal dari Laut Selatan. Raden Budog selalu ditemani kuda dan anjing kesayangannya dalam setiap pengembaraan yang dia lakukan.
Suatu hari, setelah lelah berjalan jauh, Raden Budog beristirahat dibawah pohon besar di tepi pantai. Angin sepooi-sepoi membuatnya tertidur lela. Dalam tidurnya ia bermimipi bertemu seorang gadis cantik jelita yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Gadis itu tersenyum dan mengulurkan tangan padanya, membuat Raden Budog jatuh hati seketika.
Mimpi itu membekas didepan Raden Budog. Ia merasa harus menemukan gadis dalam mimpinya itu. Setelah terbangun, iai memutuskan untuk memulai perjalanan mencari sang gadis, ditemani kuda dan anjing setianya. Ia menempuh perjalanan berhari-hari melintasi hutan, sungai, dan perbukitan demi menemukan sosok yang menghantui pikirannya.
Akhirnya, Raden Budog tiba disebuah desa yang ramai. Di desa itu ia mendengar suara lesung yang dimainkan dengan irama merdu. Suara itu berasal dari kelompok gadis yang sedang menumbuk padi. Salah satu di antara mereka adalah Sri Poh Haci, gadis cantik yang ternyata sama persis dengan gadis dalam mimpi Raden Budog.
Raden Budog sangat terpesona melihat Sri Poh Haci. Ia pun berusaha mendekati dan berkenalan dengan gadis itu. Sri Poh Haci bersama ibunya, Nyi Siti, menerima kehadiran Raden Budog dengan ramah. Sejak saat itu, Raden Budog kerap membantu dan ikut bermain lesung bersama para gadis desa, terutama Sri Poh Haci.
Di desa tersebut, menumbuk padi dengan lesung merupakan tradisi penting. Namun, ada satu aturan yang harus dipatuhi: lesung tidak boleh dimainkan pada hari Jumat, karena hari itu dianggap sakral dan harus digunakan untuk beribadah. Larangan ini sangat dijunjung tinggi oleh seluruh warga desa.
Pada suatu hari Jumat, karena terlalu asyik bermain lesung bersama Sri Poh Haci dan gadis-gadis lainnya, Raden Budog lupa akan larangan tersebut. Ia tetap menabuh lesung, bahkan menari-nari dengan gembira. Suaranya menarik perhatian seluruh warga desa yang kemudian berlarian ke tempat itu.
Tiba-tiba, terdengar teriakan dari anak-anak desa, “Ada lutung bermain lesung! Ada lutung bermain lesung!” Raden Budog kebingungan mendengar teriakan itu. Ketika ia melihat tubuhnya sendiri, ia terkejut luar biasa. Tubuhnya telah dipenuhi bulu lebat, dan ia memiliki ekor seperti seekor lutung. Ia telah dikutuk menjadi seekor monyet karena melanggar aturan desa.
Merasa sangat malu dan putus asa, Raden Budog melarikan diri ke dalam hutan. Sri Poh Haci yang menyaksikan kejadian itu pun merasa sedih dan memilih meninggalkan desa. Sejak saat itu, desa tersebut dikenal dengan nama Kampung Lesung, dan karena letaknya di sebuah tanjung, akhirnya daerah itu dinamakan Tanjung Lesung
Demikianlah asal-usul Tanjung Lesung menurut cerita rakyat Banten. Kisah ini mengajarkan pentingnya mematuhi adat dan aturan yang berlaku di suatu daerah, serta menjadi pengingat bahwa pelanggaran terhadap nilai-nilai luhur dapat membawa akibat yang tidak diinginkan.(*)
Oleh Kayla Mauliani