Tradisi Suronan di Lubanglor 

Di sebuah desa bernama Lubanglor, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, tinggallah seorang anak laki-laki bernama Suro. Ia berumur sembilan tahun, tubuhnya mungil, kulitnya legam karena matahari, dan matanya selalu berkilat jika sedang penasaran. Suro senang berlari-lari di pematang sawah, memanjat pohon jambu, dan mengintip ikan di sungai kecil belakang rumahnya. Ia suka bertanya tentang banyak hal, terutama hal-hal yang belum pernah ia alami sendiri.

Suatu pagi di bulan Sura, Suro melihat banyak orang dewasa sibuk. Ibu-ibu membawa tampah berisi beras dan kelapa, bapak-bapak menyiapkan tenong dan menata meja-meja panjang. Anak-anak membantu menggantung janur dan membersihkan jalan setapak.

“Bu, ini mau ada apa?” tanya Suro sambil memandangi ibu yang sedang menanak nasi kuning di dapur.

“Ini mau Suronan, Le,” jawab ibu. “Tradisi kita di desa, setiap bulan Sura.”

“Aku mau ikut bu.” pinta Suro. “Boleh, nanti kamu ikut bapak ke rumah Pak Bayan ya.” Jawab ibu. “Asikkkk….” Jawab Suro kegirangan.

Tradisi Suronan adalah tasyakuran yang telah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat Desa Lubanglor, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Biasanya dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon di bulan Sura atau Muharam. Kegiatan ini dimulai sejak pagi hari dengan ziarah dan bebersih makam, lalu dilanjutkan dengan penyembelihan kambing. Namun kambing yang disembelih bukan sembarang kambing. Harus kambing hitam kendit—berbulu hitam dengan corak putih melingkar di perutnya. Harus jantan dan tidak cacat.

Setelah disembelih, kaki dan kepala kambing akan ditanam. Kaki dikubur di pojok desa, kepala ditanam di tengah desa, sebagai bentuk simbolis penjagaan dan tolak bala. Daging kambing dimasak secara gotong royong oleh warga. Siang harinya, setelah salat Jumat, tumpeng-tumpeng yang telah disiapkan di rumah masing-masing akan dibawa ke rumah sesepuh desa. Tumpeng diletakkan dalam tenong—tempat makanan dari anyaman bambu—dan dipikul secara bersama. 

Sesampainya di rumah sesepuh, warga berkumpul, menggelar doa tahlilan, lalu tumpeng-tumpeng itu saling ditukar isinya antar warga. Setelah itu, semua makan bersama dengan tambahan masakan daging kambing kendit.

Suro membantu membawa tenong kecil milik bapaknya. Ia berjalan hati-hati sambil sesekali mencium harum nasi dan ayam bacem dari dalam wadah. Hari itu adalah pengalaman pertamanya mengikuti tradisi Suronan.

Di rumah sesepuh desa, halaman sudah penuh. Meja-meja panjang ditata. Warga saling sapa, tertawa pelan. Anak-anak duduk di tikar, menunggu makanan dibagikan. Tahlilan pun dimulai. Semua khusyuk berdoa. Suro menunduk seperti yang lain, walau sesekali matanya melirik ke arah dapur tempat panci besar mengepul.

Tiba-tiba, saat doa hampir selesai, terdengar teriakan dari sisi utara halaman. Seorang lelaki muda jatuh terduduk, tubuhnya menggigil. Matanya melotot, suaranya berubah berat. Beberapa orang cepat-cepat menghampiri. 

“Kesurupan!” teriak seseorang.

Seorang bapak tua datang membawa segelas air putih dan mulai membaca doa dengan suara keras. Lelaki muda yang kesurupan itu mulai menjerit, lalu perlahan tenang setelah wajahnya diperciki air doa.

Suro tertegun. Ini kali pertama ia melihat orang kesurupan. Ia merasa takut, tapi juga heran. Bapaknya memegang tangannya erat dan membisikkan, “Diam saja, jangan ikut-ikutan ribut.”

Tak lama kemudian, acara dilanjutkan. Tumpeng dibuka, isinya ditukar-tukar. Suro tertawa pelan saat tahu tenong bapaknya berisi tempe bacem sekarang, bukan ayam lagi. Tapi ia senang karena rasa kebersamaan itu lebih penting.

Ia duduk bersama teman-temannya, makan sambil bersenda gurau. Narto, anak pindahan yang baru dikenalnya seminggu lalu, duduk di sampingnya sambil menyeruput kuah gulai kambing.

“Tadi itu serem ya,” kata Narto pelan.

Suro mengangguk. “Tapi katanya, itu biasa kalau Suronan. Kadang ada yang kesurupan.”

“Kenapa bisa gitu?”

“Katanya, karena malam Sura itu malam keramat. Banyak makhluk halus yang ikut lewat, makanya harus ziarah dulu biar aman.”

Malamnya, Suro duduk di teras rumah, menatap bintang yang mulai muncul satu-satu. Lampion dari janur masih tergantung di depan rumah. Ia merasa tenang, sekaligus bangga. Hari itu ia belajar banyak tentang tradisi dan tentang menjaga warisan desa.

Di desa kecil bernama Lubanglor, Suronan bukan sekadar acara makan bersama. Tapi juga tentang saling menjaga, menghormati, dan merawat cerita lama yang hidup dari generasi ke generasi. Dan bagi Suro, Suronan tahun ini akan jadi kenangan yang takkan ia lupakan.(*)Tradisi Suronan di Lubanglor 

Oleh Rahma Nur Aini

Di sebuah desa bernama Lubanglor, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, tinggallah seorang anak laki-laki bernama Suro. Ia berumur sembilan tahun, tubuhnya mungil, kulitnya legam karena matahari, dan matanya selalu berkilat jika sedang penasaran. Suro senang berlari-lari di pematang sawah, memanjat pohon jambu, dan mengintip ikan di sungai kecil belakang rumahnya. Ia suka bertanya tentang banyak hal, terutama hal-hal yang belum pernah ia alami sendiri.

Suatu pagi di bulan Sura, Suro melihat banyak orang dewasa sibuk. Ibu-ibu membawa tampah berisi beras dan kelapa, bapak-bapak menyiapkan tenong dan menata meja-meja panjang. Anak-anak membantu menggantung janur dan membersihkan jalan setapak.

“Bu, ini mau ada apa?” tanya Suro sambil memandangi ibu yang sedang menanak nasi kuning di dapur.

“Ini mau Suronan, Le,” jawab ibu. “Tradisi kita di desa, setiap bulan Sura.”

“Aku mau ikut bu.” pinta Suro. “Boleh, nanti kamu ikut bapak ke rumah Pak Bayan ya.” Jawab ibu. “Asikkkk….” Jawab Suro kegirangan.

Tradisi Suronan adalah tasyakuran yang telah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat Desa Lubanglor, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Biasanya dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon di bulan Sura atau Muharam. Kegiatan ini dimulai sejak pagi hari dengan ziarah dan bebersih makam, lalu dilanjutkan dengan penyembelihan kambing. Namun kambing yang disembelih bukan sembarang kambing. Harus kambing hitam kendit—berbulu hitam dengan corak putih melingkar di perutnya. Harus jantan dan tidak cacat.

Setelah disembelih, kaki dan kepala kambing akan ditanam. Kaki dikubur di pojok desa, kepala ditanam di tengah desa, sebagai bentuk simbolis penjagaan dan tolak bala. Daging kambing dimasak secara gotong royong oleh warga. Siang harinya, setelah salat Jumat, tumpeng-tumpeng yang telah disiapkan di rumah masing-masing akan dibawa ke rumah sesepuh desa. Tumpeng diletakkan dalam tenong—tempat makanan dari anyaman bambu—dan dipikul secara bersama. 

Sesampainya di rumah sesepuh, warga berkumpul, menggelar doa tahlilan, lalu tumpeng-tumpeng itu saling ditukar isinya antar warga. Setelah itu, semua makan bersama dengan tambahan masakan daging kambing kendit.

Suro membantu membawa tenong kecil milik bapaknya. Ia berjalan hati-hati sambil sesekali mencium harum nasi dan ayam bacem dari dalam wadah. Hari itu adalah pengalaman pertamanya mengikuti tradisi Suronan.

Di rumah sesepuh desa, halaman sudah penuh. Meja-meja panjang ditata. Warga saling sapa, tertawa pelan. Anak-anak duduk di tikar, menunggu makanan dibagikan. Tahlilan pun dimulai. Semua khusyuk berdoa. Suro menunduk seperti yang lain, walau sesekali matanya melirik ke arah dapur tempat panci besar mengepul.

Tiba-tiba, saat doa hampir selesai, terdengar teriakan dari sisi utara halaman. Seorang lelaki muda jatuh terduduk, tubuhnya menggigil. Matanya melotot, suaranya berubah berat. Beberapa orang cepat-cepat menghampiri. 

“Kesurupan!” teriak seseorang.

Seorang bapak tua datang membawa segelas air putih dan mulai membaca doa dengan suara keras. Lelaki muda yang kesurupan itu mulai menjerit, lalu perlahan tenang setelah wajahnya diperciki air doa.

Suro tertegun. Ini kali pertama ia melihat orang kesurupan. Ia merasa takut, tapi juga heran. Bapaknya memegang tangannya erat dan membisikkan, “Diam saja, jangan ikut-ikutan ribut.”

Tak lama kemudian, acara dilanjutkan. Tumpeng dibuka, isinya ditukar-tukar. Suro tertawa pelan saat tahu tenong bapaknya berisi tempe bacem sekarang, bukan ayam lagi. Tapi ia senang karena rasa kebersamaan itu lebih penting.

Ia duduk bersama teman-temannya, makan sambil bersenda gurau. Narto, anak pindahan yang baru dikenalnya seminggu lalu, duduk di sampingnya sambil menyeruput kuah gulai kambing.

“Tadi itu serem ya,” kata Narto pelan.

Suro mengangguk. “Tapi katanya, itu biasa kalau Suronan. Kadang ada yang kesurupan.”

“Kenapa bisa gitu?”

“Katanya, karena malam Sura itu malam keramat. Banyak makhluk halus yang ikut lewat, makanya harus ziarah dulu biar aman.”

Malamnya, Suro duduk di teras rumah, menatap bintang yang mulai muncul satu-satu. Lampion dari janur masih tergantung di depan rumah. Ia merasa tenang, sekaligus bangga. Hari itu ia belajar banyak tentang tradisi dan tentang menjaga warisan desa.

Di desa kecil bernama Lubanglor, Suronan bukan sekadar acara makan bersama. Tapi juga tentang saling menjaga, menghormati, dan merawat cerita lama yang hidup dari generasi ke generasi. Dan bagi Suro, Suronan tahun ini akan jadi kenangan yang takkan ia lupakan.(*)

Oleh Rahma Nur Aini