Kisah Desa Montok

Di tengah Pulau Madura, tepatnya di Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, terdapat sebuah desa bernama Desa Montok. Mungkin, dari namanya terlihat ambigu dan banyak orang yang salah mengartikan makna desa tersebut. Padahal sebenarnya kata ‘montok’ merupakan singkatan dari ‘temon’ yang berarti timun dalam bahasa madura dan ‘otok’ yang merupakan salah satu jenis dari kacang-kacangan. Tumbuhan tersebut tumbuh subur di Desa Montok. Dinamakan Desa Montok karena dahulu banyak warga sana yang memiliki lahan yang ditumbuhi timun dan otok.

Penjelasan diatas hanyalah penjelasan yang paling sering dijelaskan oleh orang-orang. Sebenarnya, kepanjangannya bukan hanya temon dan otok, tetapi temon otok nongko’ ghumo’. Nongko’ ghumo’ memiliki arti diatas gundukan tanah. Gundukan tanah yang dimaksud juga bukan hanya gundukan tanah biasa. Gundukan tanah yang dimaksud adalah gundukan tanah yang berasal dari rumah-rumah rayap 

Desa Montok juga menjadi awal perjalanan hidupku dimulai. Aku lahir dan tinggal disana hingga umurku 2 tahun sebelum kemudian aku pindah ke Jawa Tengah. Dahulu desa tersebut masih sangat rimbun dan jarang ada rumah-rumah yang dibangun. Berbeda dengan sekarang, lahan yang dulu dipenuhi dengan tanaman sudah berubah menjadi rumah warga. Dan sekarang juga sudah jarang terlihat sawah warga yang ditanami timun dan otok. 

Desa Montok juga terkenal dengan cerita mistisnya. Tak jarang, masyarakat sana yang masih menggunakan santet. Dan tak jarang pula, korban yang dikenai santet adalah keluarganya sendiri. Mereka melakukan demikian karena alasan iri atas harta, dan kebahagiaan yang orang tersebut miliki. Termasuk keluarga besarku adalah korbannya dan aku pernah mengetahuinya secara langsung. 

Pada suatu malam ketika aku sedang pulang ke desaku, kisaran pukul 1 dini hari aku mendengar suara dentuman yang keras. Aku yang hampir terlelap kembali terbangun, kaget karena suara tersebut sangatlah mengganggu. Awalnya, aku kira hanya sekali, ternyata dentuman tersebut terjadi berulang kali hingga membuat ranjang yang kutiduri terguncang. Saat itu aku tidak punya pikiran kalau dentuman tersebut merupakan santet. Aku banyak merapal do’a dan berdzikir untuk menenangkan diri dan berusaha untuk kembali tidur. 

Pagi harinya, aku bercerita tentang dentuman yang kudengar semalam kepada keluarga besarku. Mereka heran karena hanya aku sendiri yang mendengarnya. Padahal dentuman tersebut sangatlah kencang dan membuat getaran. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata memang benar ada seseorang yang mengirimkan santet ke keluarga besarku tetapi tidak manjur. Alhamdulillah, atas kehendak Allah keluarga kita masih terjaga dari marabahaya. Setelah kejadian itu, pakde dan budeku berkata, “jangan banyak tidur di malam hari, tapi banyakin bangun untuk beribadah kepada Alloh agar selalu terjaga apalagi dari santet.”

Saat aku bercerita tentang suara dentuman itu, kupikir hanya aku yang mendengar, tetapi adek ku ternyata juga mendengar suara itu. Pantas saja dari tadi dia hanya terdiam mendengarkan, ternyata sedang berpikir apakah yang ia dengar sama atau berbeda.  Setelah ciri yang dia dengar sama denganku, adekku pun berkata  “Woahh, Kakak Mndngar suara itu juga?” tanya adikku dengan semangat. Aku pun menjawab, “Hah? Adik juga dengar ni?”

Dan dengan wajahnya yang tanpa dosa itu dia menjawab, “Iya, Kak. Adik kira itu suara Budhe jatuh di dapur, hehe.”

Keesokan paginya setelah kejadian “Dentuman” itu, keluarga besarku pergi berziarah ke makam keluarga besar kita. Selesai berziarah, di jalan pulang aku melihat gapura bergambar temon dan otok itu. Di bawah gambar itu terdapat tulisan “temon otok”. Saat itu pakdeku mulai bercerita bahwa montok singkatan dari temon dan otok, sejak saat itu pula aku baru mengetahui kepanjangan dari kata montok. Budeku yang berasal dari Malang pun bertanya “otok iku sing koyok opo seh? seng koyok kacang polong iku ta?” “iku bedo mbak, karo kacang polong” ujar tanteku yang dari Surabaya. Nah, itulah awal mula aku mengetahui asal usul dari desaku sendiri, dan ternyata otok adalah kacang panjang yang biasa dibuat sayur asem, pecel, dan sayur lainnya.

Desa Montok juga terkenal dengan legenda pesarean Joko Tarub. Konon, katanya orang yang berkunjung kesana dapat melihat ular besar. Pesarean itu sendiri berada di Dusun Pacanan, Desa Montok, dekat dengan rumahku disana. Banyak dari masyarakat sana yang sering bersedekah berupa makanan ke penjaga pesarean tersebut. Tak hanya bersedekah, mereka juga sering meminta do’a ke penjaga pesarean tersebut karena dianggap mustajab. Mereka juga percaya sedekah tersebut dapat menolak bala dan hajatnya dapat dikabulkan. 

Masyarakat sana juga terkenal dengan gotong royongnya. Ketika ada satu warga yang panen, pasti warga lainnya juga ikut membantu. Kemudian dari hasil panen tersebut, juga dibagi-bagikan kepada warga sekitar. Tak hanya membantu panen saja, warga yang sedang membangun rumah juga seringkali dibantu oleh tetangganya. Dan disana juga terkenal dengan rumah tanpa pagar. Jarang sekali ditemukan rumah warga yang berpagar besi atau tembok. Karena menurut mereka, dengan pagar besi atau tembok tersebut dapat mengurangi rasa kesatuan dan persatuan antar warga.

Ada juga tradisi di bulan-bulan tertentu. Seperti pada malam 21 di bulan ramadhan membuat apem, malam 27 ramadhan membuat ketan dan kolak, dan puncaknya di malam takbiran membagikan masakan ke masjid terdekat dari rumah dan dimakan di pagi hari setelah sholat id bersama keluarga. Ada juga tradisi ‘tajin sora‘ atau dalam bahasa Indonesia bubur suro, bubur tersebut dibuat di bulan suro dan menggunakan bumbu yang disebut bumbu suro juga. Tak hanya ‘tajin sora‘, ada juga yang namanya ‘tajin sappar‘ atau dalam bahasa indonesia bubur safar. Bubur sapar tersebut dikenal di Jawa dengan sebutan bubur candil. (*)

Oleh Salfa Zahiyah Ardiannestri