Di Boyolali, tepatnya di kaki gunung merapi, menjelang bulan Ramadhan, suasana desa-desa mulai berbeda. Warga tampak sibuk menyiapkan sesuatu. Inilah saatnya Nyadran, tradisi turun temurun yang masih dijalankan hingga sekarang, yang menjadi ikonik desa-desa yang berada di kaki gunung.
Konon katanya Nyadran telah ada sejak agama Hindu masuk ke Nusantara. Waktu berlalu, zaman pun berganti, hingga datang para Wali Songo yang membawa ajaran islam ke Nusantara. Bukan dengan cara kasar mereka mengganti segalanya. Salah satu cara wali songo menyebarkan Islam adalah dengan memasukkan ajaran agama ke dalam budaya yang sudah ada supaya lebih mudah diterima oleh masyarakat. Memasukkan ajaran agama ke dalam budaya yang hidup di hati Masyarakat. Di sinilah Nyadran lahir kembali, dengan dasar tradisi lama tetapi membawa makna baru yang penuh dengan nilai spiritual. Penyebaran Islam juga tidak terasa seperti pemaksaan, lebih seperti angin segar yang masuk ke dalam kehidupan sehari-hari.
Nyadran sudah ada sejak zaman dahulu, Nyadran tumbuh dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Masyarakat Jawa, khususnya di Boyolali. Desa-desa seperti Selo, Cepogo, dan Ampel , nyadran bukan hanya sebuah ritual saja, tapi juga menjadi momen penting yang mempertemukan seluruh warga dalam satu kebersamaan. Yang membuat semakin menarik adalah, kenyataan bahwa setiap desa memiliki cara yang berbeda-beda dalam menjalankan tradisi Nyadran. Beberapa desa, Nyadran digelar dua kali dalam setahun, sekali dilakukan di bulan syaban, dan satu lagi pada bulan syaban, menjelang bulan puasa. Namun, ada juga yang hanya melakukannya sekali saja dalam satu tahun. Acara yang paling meriah adalah saat bulan ruwah. Saait itulah grebek sadranan digelar, sebuah karnaval yang menjadi penanda dimulainya rangkain Nyadran.
Rangkaiannya biasanya, sehari sebelum acara utama, warga akan melakukan ziarah ke makam leluhur. Baru setelah selesai ziarah, rumah rumah akan di buka untuk siapa saja yang datang untuk bersilaturahmi, bisa kerabat, tetangga, dan bahkan teman lama. Jamnya pun fleksibel, tergantung pada tuan rumah. Ada yang menerima tamu hingga jam delapan malam, bahkan sampai Tengah malam.
Suasana agak sedikit berbeda bagi desa yang hanya menggelar nyadran sekali saja. Apgi hari tak diisi dengan ziarah ke makam, tapi bukan berarti hening tanpa makna. Malam sebelum hari H, Cahaya lampu dari salah satu rumah warga yang tampak lebih terang dari rumah lainnya. di sanalah doa- doa Bersama dilantunkan, dengan suasana khusyuk penuh kehangatan.
Jika ditanya apakah makna dari tradisi nyadran, mungkin akan ada banyak jawaban. Tapi satu hal yang pasti, nyadran telah menjadi jembatan penting untuk menyambung silaturahmi yang mungkin sudah lama tidak terjadi. Nilai-nilai yang tertanam di dalamnya seperti nilai gotong royong, perhormatan terhadap leluhur, serta kebersamaan. Nilai-nilai tentang bagaimana menjaga hubungan dengan sesame, alam, dan juga sang pencipta.(*)
Oleh Rahmadhani Nur Sulistyawati