Setiap pagi, suara ayam berkokok bersahutan dengan deru angin yang melewati sela-sela dedaunan pohon yang rimbun. Matahari perlahan naik dari pepohonan, menyoroti atap-atap rumah warga. Suara burung kutilang nyaring dalam harmoni dengan langkah warga yang beranjak membuka jendela, menyapu halaman, dan menyiapkan sarapan. Di balik bangunan para warga yang berdiri tegak kokoh, dengan barisan tanaman hijau yang melambai tertiup angin. Meski tampak sederhana, desa ini menyimpan kekayaan budaya yang begitu dalam. Desa Kemiri, desa yang ditempuh dari pusat kota sejauh 1,8 kilometer atau 5 menit dengan berkendara. Desa yang mungkin tidak tercantum di peta wisata, tetapi setiap tahunnya menjadi desa yang menjaga warisan leluhur dengan menyatukan warga dalam tali kebersamaan. Sedekah bumi tidak sekedar tradisi adat, melainkan perwujudan Syukur mendalam atas hasil bumi, atas keselamatan, dan atas hidup yang terus berputar dengan kemurahan Tuhan.
Pagi itu di halaman rumah Bu Ayu sudah ramai, anak-anak sedang bermain sedangkan para warga sibuk memasak menyambut sedekah bumi. Matahari baru saja naik, namum keriuhan sudah terdengar dari rumah-rumah warga.
“Suasananya tetap ramai ya setiap tahun, apalagi ditambah dengan pertunjukan wayang kulit dan ketoprak jadi semakin seru,” kata pak Ridwan sambil membersihkan selokan depan rumah.
“Iya pak, kan ini acara yang pasti ditunggu warga sekitar,” balas pak Budi sambil memperbaiki motor di depan rumah.
Tradisi yang paling dinantikan oleh warga Kemiri adalah tradisi Sedekah Bumi, sebuah upacara adat yang telah berlangsung secara turun temurun dari para leluhur sebagai bentuk syukur kepada sang Pencipta atas panen yang berhasil, dengan mengadakan selamatan dan memberikan sesaji kepada bumi, tanah yang memberi kehidupan yang melimpah. Intinya sederhana namun penuh makna berterima kasih kepada Sang Pencipta.
Matahari pagi menyorot rumah-rumah warga tetapi tampak hangat dan sejuk. Kicauan burung warga terdengar nyaring, suara ayam bersahutan, dan hembusan angin membawa aroma bunga melati yang segar harumnya. Sebelum malam jumat minggu pertama dibulan Dzulhijah, suasana lingkungan di Desa Kemiri terlihat sibuk di setiap sudut rumah warga setempat. Warga setempat bergotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah, memperindah jalan, menyiapkan dan mempersiapkan tempat-tempat penting yang nanti akan dipergunakan saat sedekah bumi seperti punden, makan leluhur, dan balai desa semua tidak merasa terbebani karena mereka memiliki kewajiban dan kehormatan untuk berpartisipasi.
Di dapur mereka ibu-ibu memasak nasi putih, opor ayam, acar kuning, tumis kacang, sambal goreng, tempe goreng, tidak lupa dengan kerupuk udangnya. Masakan khas ini akan diantarkan ke punden atau makam untuk didoakan.
“Pak ini tampah dari RT 08 taruh dimana ya pak?” Tanya Rani kepada bapak yang mengenakan batik. “Di sisi kanan aja, Dik, biar nanti rata pembagiannya,” jawab bapak RW dengan tenang.
Beberapa anak dan orang dewasa juga membantu mengangkat tampah dari beberapa RT di Desa Kemiri.
Tibalah di mana hari yang menyatukan desa, hari yang dinantikan oleh seluruh warga desa Kemiri. Di mana langit terasa lebih cerah, udara lebih segar, dan hati semua orang penuh harap dengan suara burung bersahutan seolah menyambut sedekah bumi. Pagi itu warga mulai datang ke makam dan punden dengan membawa makanan khas sedekah bumi yang akan disatukan untuk didoakan bersama. Di sebelah punden ada panggung besar untuk memperingati tradisi sedekah bumi ini.
Di bawah pohon-pohon yang rindang, doa-doa dilantunkan dalam bahasa Jawa halus dengan nada mengalun dan dalam. Sesepuh desa Kemiri memimpin doa dengan memohon kepada Tuhan dan leluhur agar desa tetap diberi keselamatan, rezeki yang cukup, serta dijauhkan dari marabahaya. Doa pun dimulai. Semua warga menundukkan kepala, khusyuk mendengarkan lantunan bahasa Jawa halus dari Mbah Kromo, sesepuh tertua di desa. “Gusti, mugi sedoyo warga diparingi slamet, berkah, lan Tentrem. Leluhur kulo nyuwun pangestu, mugi berkah panjenengan saged ngluber dhumateng keturunanipun….”
Suasana sunyi datang dari punden tersebut, hanya suara angin dan desir dedaunan yang menjadi latar doa itu.
Malam yang ditunggu pun tiba, membawa suasana angin sejuk dna langit yang cerah dihiasi bintang-bintang yang menyorot terang. Di latar dekat balai desa terdapat panggung besar dan megah yang sudah dilengkapi dengan alat musk pengiring seperti gamelan, kendang, gong, dan saron yang disiapkan untuk mengiringi pertunjukkan. Di sisi panggung tampak para pemain mempersiapkan kostum, merias wajah, dan menghafal naskah. Lampu yang menyorot terang dalam gelap membuat panggung menjadi pusat perhatian warga Kemiri. Tidak hanya warga desa Kemiri yang berbondong-bondong untuk menonton pertujukan ketoprak, warga desa lain juga ikut meramaikan pertunjukan ini dari anak anak hingga para sesepuh, semua berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan ketoprak. Warga menggelar tikar mereka masing-masing, mencari tempat yang nyaman untuk menonton, sampai membawa kursi lipat.
Suara ramai dan riuh para warga berbincang, bercanda, dan saling sapa satu sama lain yang menciptakan suasana yang begitu akrab dan hangat. Rasanya kurang jika tidak membawa makanan dan minuman, sebelum masuk balai desa tak ketinggalan aroma makanan ringan turut meramaikan suasana balai desa. Banyak pedagang sempolan, cilok, jagung manis, kacang rebus, dan juga es teh yang melayani pembeli yang sedang mengantre. Ada juga ibu-ibu yang sudah membawa sebungkus makanan dan sebotol air makan untuk bekal menonton pertunjukan ketiprak ini.
“Sini, Dik, duduk yang rapi” ucap ibu-ibu kepada anak perempuannya. Di sudut lain ada bapak-bapak yang duduk sampil menyedu kopi dengan menghisap rokok di tangan kanannya. Semua orang larut dalam suasana kebersaaamn antar warga sekitar.
Menjelang pertunjukan ketoprak dimulai, lampu sorot mulau diarahkan ke panggung sehingga menyoroti para pemain yang sudah siap di balik layar. Ketika layar dibuka, tokoh muncul dengan dialog jenaka irama khas Jawa. Anak-anak tertawa riang saat pemain melontarkan lelucon, terdengar juga sorai-sorai dari warga meramaikan pertunjukkan ketoprak itu. Pertunjukkan ketoprak disambut meriah dengan penuh gelak tawa penonton. Di Tengah percakapan itu, mas Sucipto yang sedang berperan sebagai pahlawan dengan menyentakkan pedangnya ke arah pak Wiro dan berkata, “Aku tidak akan menyerah! Aku pasti memenangkan peperangan ini dengan dukungan warga Kemiri!” ia berkata dengan penuh semangat.
“Ya, Mas! Jangan lupa makan soto kemiri dulu, baru lawan saya!” balas Pak Wiro dengan berteriak tanpa ragu. Semua penonton tertawa lepas, menikmati pertunjukkan dengan penuh canda dan tawa.
Malam mulai larut, pertunjukkan pun usai mendekati Tengah malam. Para pemain berdiri sejajar di panggung, membungkuk memberi salam sebagai tanda terima kasih dan berakhirnya pertunjukkan. Sementara suara tepuk tangan menggema panjang dari penonton. Langit mulai gelap dan angin mulai makin menusuk di kulit, walaupun raut warga yang kelelahan dan kecapekan, warga yang hadir senyum puas dan bahagia. Banyak anak kecil yang sudah digendong pulang oleh orang tuanya karena sudah tertidur saat pertunjukkan masih dimulai, sementara para remaja masih sibuk berfoto di depan panggung untuk mengabadikan kenangan dan membeli jajanan di balai desa.
Sejumlah bapak-bapak masih berkumpul di warung dekat balai desa sambil menyeruput kopi dan membahas ketoprak yang m\r\ka tonton.
“Lucu tenan tokohe tadi pas tiba,” ujar Pak Ahmad yang disambut tawa bapak-bapak lainnya. Mereka saling bertukar pandangan sambil tertawa, merasa malam ini bukan hanya menghibur mereka, tetapi juga mempererat rasa kebersamaan.
Di sisi lain, para pemuda mulai sibuk membongkar panggung dengan tertawa lega dan menyanyi pelan. Rasa lelah itu tidak menghalangi mereka karena suasana masih hanggat oleh suksesnya malam itu.
“Nek tiap minggu ana ketoprak yo seneng aku,” ucap salah satu dari mereka sambil merapikan kursi dan sampah di sekitar balai desa.
“Untung aku ora main ketoprak, nek ora… wis dadi bintang utama aku!” celetuk dari seorang pemuda lainnya, membuat teman-temannya ikut tertawa keras. Candaan itu terus mengalir seperti irama yang tak pernah usai. Tak jauh dari panggung, para ibu-ibu juga ikut membersihkan sisa makanan mereka dan melipat tikar miliknya sambil membangunkan anaknya yang tertidur. Satu persatu warga mulai pulang, berjalan menyusuri pada pedagang yang sudah membersihkan dagangannya, walaupun jalan yang mulai sepi, namun Langkah mereka ringan dan hati yang penuh. Mereka tidak hanya membawa sisa makanan tetapi juga membawa cerita dan rasa bangga karena malam itu, desanya kembali hidup.
Langit di desa Kemiri perlahan semakin gelap dan Kembali sunyi, hanya suara desir angin, dan gesekan dedaunan yang menjadi latar malam itu. Malam ini, panggung mungkin mulai kosong, lampu telah dimatikan. Namun jejak nya tetap tertinggal, senyumnya dibagikan, dan ceritanya akan diceritakan ulang di meja makan, atau di kelas sekolah. Generasi muda merasa terinspirasi, bahwa akar budaya yang mereka miliki begitu kuat dan indah. Tidak ada batasan antara penonton dan pemain, tak ada jarak anatar penggung dan penonton, semuanya menyatu dalam satu malam yang nantinya akan dikenang. Malam yang bisa membuktikan bahwa kesederhanaan bisa melahirkan kegembiraan yang utuh, dan bisa menjadi sumber kebersamaan yang tak tergantikan. Desa kemiri adalah tempat di mana tradisi dirawat dengan cinta dan saling menguatkan antar masyarakat. Tradisi itu akan terus hidup, seperti lampu sorot panggung yang menyinari jalan pulang generasi berikutnya. (*)
Oleh Riska Alifa Maulina