Desa Kedondong? Hmm..pasti banyak pohon kedondong yang rindang. Itu pasti pikiran yang terbesit ketika mendengar nama desa tersebut.
Desa Kedondong, sebuah nama yang mungkin secara sederhana akan memunculkan gambaran pepohonan kedondong yang rimbun dan berbuah lebat. Sebuah pemandangan yang asri dan menyejukkan hati, seolah-olah nama desa ini memang tak terpisahkan dari keberadaan pohon buah yang memiliki rasa manis dan asam tersebut. Namun, di balik kesederhanaan nama itu, tersimpan sebuah kisah yang menarik dan menjadi bagian dari identitas serta sejarah desa ini.
Di bawah naungan rindangnya pepohonan bambu yang menjulang tinggi, bagaikan pedang-pedang alam yang menantang langit sore, keceriaan anak-anak Desa Kedondong terasa begitu hangat. Mereka larut dalam kegembiraan permainan tradisional yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Suara riang tawa bercampur dengan bunyi biji congklak yang beradu, gerakan lincah tali yang melompati kaki-kaki kecil, alunan lirih tembang cublak-cublak suweng, dan derap langkah imajiner para penunggang jaranan menciptakan harmoni sederhana namun membekas.
Di tengah keseruan itu, tiba-tiba seorang gadis kecil yang sedang asyik memainkan cublak-cublak suweng menghentikan permainannya. Dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, ia menghadap teman-temannya dan melontarkan sebuah pertanyaan yang membangkitkan rasa penasaran, “Berhenti dulu kalian semua, tahukah kalian dari mana asal-usul nama desa kita ini?”
Seorang anak laki-laki yang sedang bersemangat menirukan gerakan jaranan dengan sigap menjawab, “Asal-usul Desa Kedondong? Tentu saja aku tahu! Bukankah desa kita dinamakan Desa Kedondong karena di sini banyak sekali pohon kedondong?” Ucapannya terdengar begitu yakin, seolah-olah jawaban itu adalah sebuah kebenaran yang tak terbantahkan.
Namun, sang gadis kecil menggelengkan kepalanya dengan raut wajah sedikit kecewa. “Iya, memang benar di desa kita banyak pohon kedondong. Tapi, alasan itu tidak sepenuhnya benar,” sanggahnya dengan nada yang lebih serius. “Mari kita semua berhenti bermain sejenak dan dengarkan aku bercerita tentang bagaimana desa kita ini mendapatkan nama Kedondong.”
Kemudian, dengan penuh semangat, gadis kecil itu mulai menuturkan sebuah kisah yang telah ia dengar dari para sesepuh desa. Ia bercerita tentang seorang santri yang berasal dari Ampel, Surabaya, yang bernama Abilawa. Suatu ketika, Abilawa melakukan perjalanan dengan menunggangi seekor gajah yang gagah perkasa. Dalam perjalanannya, mereka tiba di sebuah tempat yang ramai dengan aktivitas perdagangan dan riuh rendah suara anak-anak yang sedang bermain. Tempat itu kini dikenal sebagai Pasar Gajah, sebuah saksi bisu dari jejak langkah sang santri dan gajahnya.
Setelah tiba di tempat yang ramai itu, Abilawa merasa iba melihat gajahnya yang tampak kelelahan dan kehausan setelah menempuh perjalanan jauh. Ia kemudian mencari tempat untuk memberikan makan dan minum kepada hewan tunggangannya tersebut. Dalam pencariannya, Abilawa menemukan sebuah rawa yang cukup luas. Di rawa itu, ia melihat berbagai tumbuhan dan air yang bisa dimanfaatkan baik oleh dirinya maupun oleh gajahnya.
Tanpa disangka, ketika gajah yang sangat dahaga itu mendekati genangan air di rawa, kakinya tergelincir. Tubuh besarnya terperosok ke dalam lumpur rawa yang licin dan dalam. Gajah itu berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari jebakan alam tersebut, namun tanah berlumpur membuatnya kesulitan untuk mendapatkan pijakan yang kokoh.
Dalam keputusasaan, gajah itu menggunakan belalainya yang kuat untuk meraih batu-batu yang berada di tepi rawa. Ia mengeruk dan menarik batu-batu itu dengan harapan bisa mendapatkan pegangan yang cukup kuat untuk menarik dirinya kembali ke daratan. Namun, takdir berkata lain. Batu-batu yang ditarik oleh belalai sang gajah terpental jauh, terlempar ke tiga arah yang berbeda.
Batu yang terlempar ke arah selatan pecah menjadi dua bagian saat menghantam tanah. Kedua pecahan batu itu kemudian membentuk dua tempat yang berbeda, yang hingga kini menjadi bagian dari wilayah sekitar Desa Kedondong. Sementara itu, batu yang terlempar ke arah utara mendarat di sebuah tempat yang tanahnya sangat subur dan hijau. Di sana, berbagai jenis tumbuhan tumbuh dengan subur dan lebat, termasuk di antaranya adalah pohon buah kedondong yang jumlahnya sangat banyak dan rindang.
Setelah menyelesaikan ceritanya, gadis kecil itu menatap teman-temannya dengan senyum simpul. “Nah, sekarang kalian sudah tahu kan, mengapa desa kita dinamakan Desa Kedondong? Bukan hanya karena banyak pohon kedondongnya, tapi juga karena ada cerita tentang batu yang terlempar oleh gajahnya Ki Abilawa dan mendarat di tempat yang subur ini, sehingga banyak tumbuh pohon kedondong.”
“Jadi, nama desa kita ini menyimpan sebuah cerita yang menarik ya,” timpal salah satu anak laki-laki dengan nada kagum. Anak-anak lainnya pun mengangguk-angguk, kini mereka tidak hanya mengetahui nama desa mereka, tetapi juga memahami akar sejarah yang melatarbelakanginya. Permainan sore itu pun kembali dilanjutkan dengan pengetahuan baru yang memperkaya wawasan mereka tentang tanah kelahiran mereka, Desa Kedondong.(*)
Oleh Zahida Azarine