Kisah Perjuangan KH Agus Widodaren

KH. Agus bin Taid, atau akrab dipanggil dengan Mbah Agus, ialah salah satu tokoh agama yang berpengaruh di Desa Widodaren, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Mbah Agus dikenal dengan kebijaksanaan dan menjadi panutan bagi masyarakat. salah satu warisan terbesar yaitu masjid pertama di Desa Widodaren, yang hingga kini menjadi masih berdiri kokoh sebagai saksi bisu akan perjuangannya dalam menyebarkan ajaran islam. 

Jika kau berjalan menyusuri jalan tanah yang diapit pohon randu tua di Desa Widodaren, kau akan tiba di sebuah masjid sederhana yang berdiri kokoh di tengah desa. Masjid itu adalah saksi bisu perjuangan seorang tokoh besar, KH. Agus bin Taid, atau yang akrab dipanggil Mbah Agus.

Di sebuah dusun kecil bernama Dusun Widodaren, beliau dilahirkan dan dibesarkan. Ia tumbuh di lingkungan sederhana yang minim akan nilai religious. Sejak muda beliau dikenal dengan pribadi yang rendah hati dan memiliki semangat untuk menebar kebaikan di setiap sudut desa. Setiap langkah, seolah dituntun dengan niat yang tulus untuk mengabdi pada agama dan masyarakat. Nasihat yang beliau lontarkan mengandung makna yang mendalam dan menyetuh hati bagi siapapun ynag mendengarnya.

Mbah Agus menikah dua kali dalam hidupnya. Pernikahan pertama beliau yakni dengan Mbah Siti dan dikaruniai oleh 7 buah hati yaitu: HJ. Jaenah, Hj. Jariyah, Kalimah, Hj. Mudrikah, Hj. Abdul Majid, Marhub, Muslimah, dan Hj. Juahariyah, yang kemudian menjadi penerus perjuangan beliau. Sementara itu, pernikahan kedua dengan Mbah Marsilah tidak dikaruniai buha hati. Meskipun begitu, keluarganya tetap harmonis dan penuh dengan kasih sayang. Semua keturunannya dikenal dengan pribadi yang taat pada agama. Bahkan, tidak sedikit diantaranya menjadi tokoh agama, baik dari kalangan anak, cucu, maupun cicit. 

Dari catatan lisan yang turun-menurun, Mbah Agus ini termasuk generasi awal yang melakukan “babat alas” atau membuka lahan di wilayah dukuh Widodaren. Pada zaman itu, daerah tersebut masih berupa pohon-pohon dan Semak belukar. Dengan bersama tokoh-tokoh yang lain, beliau menembang pohoh-pohon tersebut, bergotong royong membersihkan tanah, dan membuka jalan. Tidak hanya mengandalkan dengan tenaga, babat alas ini juga diawali dengan do’a dan dzikir, supaya tanah yang dibuka ini dapat bermanfaat dan mengandung berkah untuk masyarakat sekitar. Babat alas tidak hanya sekadar tentang fisik tetapi juga spiritual. Dari sinilah dimulai perjuangan dan nilai yang ia tanam akan tumbuh. 

Pada tahun 1965, terjadi masa-masa genting dalam sejarah bangsa. Ketika Indonesia dilanda gejolak pemberontakan yang membuat keteganagan dan kerusuhan di berbagai tempat. Gerakan ini dikenal dengan gerakan 30 september atau G30S/PKI yang melibatkan PKI. Karena khawatir akan desa tempat beliau tinggal mengalami serangan dari luar, beliau mengambil peran dalam mengamankan desa. Beliau mengupayakan cara dengan menyamarkan wilayah Widodaren menjadi seperti hutan dari luar desa, sehingga pemberontak tidak bisa masuk. Usaha yang beliau lakukan berhasil dan desa terselamatkan dari kekacaun. Efek yang masih dirasakan pada masa sekarang dari kejadian tersebut yakni jaringan internet yang ada di desa terkadang terasa buruk. 

Berangkat dari perjuangan beliau melawan adanya pemberontakan dan penjajahan, terdapat kejadian yang mengejutkan dengan menguji kesabaran beliau. Suatu hari yang cerah, daun-daun sayur dipenuhi oleh embun pagi. Tanah yang masih terasa basah sehingga menguapkan aroma segar Mbah Agus sedang memeriksa ladangnya karena memasuki musim panen. Sesaat, tiba-tiba muncul gerakan yang mulai mencurigakan dibalik Semak-semak yang membuat beliau curiga. Ternyata terdapat sekelompok pemuda yang hendak mengambil sayut dengan terburu-buru. Dengan langkah tenang, ia melangkah mendekat.

“Kalian sedang apa disini?” tanyanya dengan nada rendah tapi tegas.

Para kawanan pemuda itu tampak pucat. Salah satu dari mereka, menunduk, “Maaf mbah… kami tidak ada sayur untuk dimakan di rumah” jawabnya dengan nada lirih.

Mbah Agus menatap meraka dengan iba dan tanpa amarah, “ini ambil Sebagian untuk kalian,” ucap beliau, “Tapi ingat ya, jangan lagi mengulang perbuatan ini dan pulanglah.”

Para pemuda itu merasa terenyuh. Mereka berterima kasih dan menanggung rasa malu. Semenjak kejadian itu, ladang Mbah Agus tidak hanya menghasilkan panen saja tetapi menumbuhkan kesadaran akan kekhilafan yang dilakukan oleh manusia. 

Peristiwa demi peristiwa yang dilalui membuat sebuah Sejarah. Upaya dalam memperluas kiprahnya. Mbah Agus ini juga pernah mencalonkan diri sebagai kepala desa. Beliau mencalonkan dengan lawan satu calon lain dari dusun yang berbeda. Setekah dilakukan hasil perhitungan suara, ternyata Mbah Agus hanya kalah satu suara dari lawan. Beliau tidak berkecil hati. Namun tidak lama setelah hasil pengumuman, calon yang menang itu diculik dan dipenggal kepalanya oleh tentara Belanda. Dari kejadian tersebut Mbah Agus berpesan kepada anak-cucunya,” anak cucu ku sebaiknya kalian tidak berkecimpung di dunia politik. Tapi jadilah tokoh agama yang bisa menebarakan kebaikan dan menyairkan syariat islam.” 

Sejak itu, jalan hidup Mbah Agus difokuskan pada pengabadian spiritual. Sebagai ulama yang dihormati dan segani oleh masyarakat, beliau menjadi tempat rujukan bertanya dan menuntut ilmu agama oleh banyak orang, terkhusus warga desa Widodaren pada masa itu. Beliau juga menebarkan tarekat Qodiriyyah Naqsabandiyyah, yaitu salah satu tarekat untuk meningkatakan keimanan dan ketaqwaan dengan cara bermujahadah dan berdzikir. Dampaknya kepada masyarakat membawa masyarakat menjadi lebih religious dan taat kepada agamamya. 

Tidak hanya itu, untuk menjunjang sarana dalam beribadah dan kemaslahatan umat yang ada di desanya beliau membangun masjid. Masjid itu adalah masjid At-Taqwa Widodaren, saat pertama kali dibangun masjid itu diberi nama Masjid Al-Ula karena masjid inilah masjid pertama yang ada di desa widodaren. Kemudian diganti menjadi Masjid Jami’ dan terakhir diganti menjadi Masjid At-Taqwa sampai sekarang. Beliau membangun masjid tersebut dengan bergotong dengan masyarakat setempat. Bahu-membahu, saling gotong royong untuk mendirikan masjid di desanya. Kini masjid tersebut berdiri kokoh dan selalu di lestarikan oleh masyarakat sekitar. Selain untuk sholat berjamaah 5 waktu, masjid ini juga digunakan untuk acara pengajian, musyawarah antar-warga, dan kegiatan lainnya untuk kepentingan masyakarat sekitar. 

Langkah beliau tidak terhanti di situ. Memikirkan pentingnya pendidikan, beliau pun mendirikan lembaga pendidikan dasar formal supaya masyarakat sekitar bisa memperoleh Pendidikan di tingkat dasar berupa Madrasah Ibtidaiyyah Widodaren. Madrasah ini pendidikan formal dengan berbasis ajaran islam. Anak-anak di desa dan juga dari desa sebelah pun mengenyam Pendidikan di sini. Sampai sekarang kegiatan belajar-mengajar terus berlangsung dan madrasah ini tetap dilestarikan hingga sekarang. Alumninya kini telah tersebar luas dan menjadi penerus beliau diberbagai macam bidang. Banyak juga alumninya yang meneruskan Pendidikan tinggi ke universitas-universitas yang ada di negeri ini. 

Sementara itu, semangatnya dalam membangun pendidikan dan keagamaan terus membara, perhatian beliau terhadap infrastruktur pun tidak beliau lupakan. Beliau bersama warga desa membangun akses keluar masuk desa. Jalanan tersebut menghubungkan antardesa dan dusun lain. Akses ini dibangun supaya ketika masyarakat hendak berpergian dapat memudahkannya. Jalan tersebut sampai sekarang masih berfungsi dan tetap dirawat oleh masyarakat. Agar ketika melintas jalan tersebut terasa teduh dan sejuk, disekitar jalanan masuk Dusun Widodaren ditanami oleh beliau pohon kapuk atau dikenal dengan pohon randu. Pohon tersebut sampai sekarang masih ada, yang mana usianya sudah berpuluh-puluh tahun. Terkadang ada orang yang ingin menebang pohon tersebut, tetapi dilarang oleh warga setempat karena ini adalah salah satu warisan dari beliau yang ada masih sampai sekarang. Ketika pohon ini menhasilkan buah, buah tersebut dapat menghasilkan kapuk. Kapuk itu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk dijadikan isi bahan bantal kasur. 

Ramadan menjadi bulan yang dirindukan oleh warga Widodaren. Pada bulan suci itu, tergema syair ciptaan Mbah Agus. Shalawat itu terdengar dari masjid dan musala di sekitar desa Widodaren saat hendak melaksanakan Salat Isya dan salat dimulai. Ayun-ayun Badan, itulah shalawatnya. Makna dari salawat ini mengingatkan kita bahwa kita hidup di dunia ini banyak dosanya dan untuk memohon ampun kepada sang maha kuasa. Lagu ini diciptakan oleh Mbah Agus sebagai bentuk syiar kepada masyarakat untuk selalu ingat dan memohon ampun kepada-Nya. Adapun lirik lagu ini:

Ayun-ayun badan…  

Badan siji dadi susahe ngati…  

Wong nang alam donya sugih dosa…  

Nang akhirat dipun siksa…  

Allah-allah nyuwun pangapunten…  

Sagedahe dosa kawula…  

Sinten sing ngapunten ing pangeran kula  

Allah Agung… Rasulullah

Pada sekitar tahun 1978, bulan syawal, tepatnya hari ke-2 syawal, beliau menghembuskan nafas yang terakhir kalinya. Untuk mengenang jasa-jasa beliau, para keturunananya setiap tanggal 2 syawal mengadakan haul atau memperingati hari wafatnnya dengan menggelar doa bersama dan halalbihalal untuk mempererat tali silaturahmi. Tidak hanya pada saat bulan syawal saja untuk menggelar doa bersama, setiap bulannya para keturunananya juga mengadakan doa bersama dan juga saran sebagai untuk mempererat tali persaudaraan antar sesamanya. Tradisi ini menjadi ajang silaturahmi dan momen refleksi untuk meneladani perjuangan beliau. 

Hingga saat ini, nama beliau KH. Agus Widodaren tetap harum di hati masyarakat. Nilai-nilai perjuangannya tidak pernah padam, terus menyala pada kehidupan generasi penerusnya, sebagai warisan yang tak ternilai harganya juga menjadi suri tauladan bagi para penerusnya.(*)

Oleh Najwa Wahidah