Menyambut Hari Tradisi di Pantai Muarareja

Aku terbangun dari tidur lelap karena cahaya matahari menerobos masuk lewat jendela kamar. Udara pagi masih terasa sejuk, dan suara burung di kejauhan terdengar samar. Dengan enggan aku bangkit dari tempat tidur, melangkah menuju dapur, berharap menemukan sesuatu yang bisa dijadikan sarapan.

Aroma kopi hitam yang baru diseduh langsung menyambutku begitu aku melangkah masuk. Bapak duduk di kursi dekat jendela, menyesap kopi sambil memandangi halaman. Aku membuka dan menutup kulkas beberapa kali, bahkan dua kali mengelilingi meja makan, tapi tetap tidak menemukan apa pun. Sarapan nihil. Bapak hanya melirikku sekilas, lalu kembali tenggelam dalam rutinitas paginya itu.

“Tolong belanja bahan masakan di Pasar Sumurpanggang, ya, Mbak. Tadi Ibu nggak sempat beli sarapan, dan pas mau masak, eh, bahan-bahannya malah habis,” suara Ibu tiba-tiba terdengar dari arah kamar mandi.

“Udah dibuatkan daftar belanjaannya belum, Bu?” tanyaku.

“Sudah, Ibu taruh di meja makan, sekalian uang belanjanya,” sahut Ibu dari balik pintu.

Tanpa banyak bicara, aku langsung menyambar kunci motor yang tergantung di samping pintu kamar, lalu meluncur ke pasar.

Desaku tidak jauh dari pusat kota. Bisa dibilang, ini desa yang sudah cukup modern. Warganya melek teknologi, mengikuti perkembangan zaman, dan aktif di media sosial. Meski begitu, tradisi-tradisi turun-temurun masih dipertahankan dengan baik. Salah satunya adalah Sedekah Laut. Letak desa kami memang dekat dengan pantai — Pantai Muarareja, yang berada di Desa Mintaragen, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal. Pantai ini cukup terkenal dan sering dikunjungi oleh wisatawan, baik dari dalam kota maupun luar kota.

Sesampainya di pasar, aku langsung membeli semua bahan masakan yang Ibu titipkan. Namun, aku merasa suasana pasar hari ini lebih ramai dari biasanya. Baru kusadari, setelah melihat beberapa penjual bunga tabur yang biasa digunakan untuk berziarah tampak dikerumuni pembeli. Aku sempat penasaran, tapi enggan bertanya langsung. Aku memilih menyimpan rasa ingin tahuku itu sampai tiba di rumah.

“Tadi pasar ramai sekali. Memangnya mau ada acara apa?” tanyaku pada seisi rumah saat baru masuk.

Ibu yang mendengar pertanyaanku dari dapur menjawab, “Kamu lupa, ya? Kan sebentar lagi Sedekah Laut.”

“Oh! Iya…” jawabku sambil menepuk jidat, baru ingat.

“Kenapa sih kita perlu merayakan Sedekah Laut, Tante?” tanya Gio, keponakanku, yang entah sejak kapan sudah duduk di meja makan.

Aku tertawa kecil melihat ekspresi polosnya. Ibu menoleh dan tersenyum, lalu duduk di seberang Gio.

“Sedekah Laut itu bentuk rasa syukur warga sini, Gio,” jelas Ibu lembut. “Laut sudah banyak memberi banyak rezeki untuk kita, muali dari— ikan, udang, rumput laut. Banyak warga yang menggantungkan hidup dari sana. Ditambah sekarang Pantai Muarareja sudah menjadi tempat wisata yang bisa menjadi ladang usaha untuk warga sekitar.”

Aku ikut menambahkan, “Makanya, kita memberi sesaji sebagai simbol terima kasih. Bukan buat menyembah laut, tapi sebagai pengingat untuk tidak serakah dan tetap menghormati alam.”

Gio tampak berpikir keras, alisnya mengernyit seperti sedang mengerjakan soal matematika. “Tapi… kenapa harus ada musik, tumpeng, dan perahu segala?”

Ibu tersenyum lebar dan menjawab, “Karena ini bukan sekadar sedekah. Ini juga perayaan. Semua warga berkumpul, bersenang-senang, dan saling mendoakan agar laut tetap bersih, hasil tangkapannya melimpah, dan semua nelayan selamat. Dari acara tersebut juga kebersamaan warga sekitar jadi sekamin terjalin”

“Wah…” Gio terdiam sejenak. “Jadi ini semacam… ulang tahun laut, ya?”

Aku dan Ibu tertawa bersamaan.

“Bisa dibilang begitu,” jawabku sambil mengacak rambutnya. “Laut memang tidak meminta hadiah, tapi warga memberinya sebagai wujud terima kasih, karena selama ini telah banyak membantu mereka mencari nafkah.”

Gio tersenyum kecil. “Besok aku mau ikut ke pantai, lihat Sedekah Laut, dong, Tante!”

Ibu tersenyum dan mengangguk. “Boleh. Tapi kamu harus bangun pagi-pagi. Acara dimulai sebelum matahari naik.”

“Siap! Aku janji nggak akan kesiangan!” serunya riang penuh semangat.

Keesokan harinya, langit masih kelabu ketika suara azan subuh menggema dari masjid kecil di ujung gang. Suara ayam jantan bersahut-sahutan menandai pagi telah datang. Aku bangkit dari kasur, menggeliat sebentar, lalu membuka pintu kamar Gio.

Ternyata ia sudah bangun. Gio duduk di tepi ranjang, mengenakan sarung dan jaket, matanya berbinar penuh antusias.

“Siap berangkat, kapten?” sapaku sambil tersenyum.

“Siap, Kak!” jawabnya mantap.

Hari itu, kami pergi ke pantai bersama warga-warga lain. Aku, Ibu, dan Gio naik motor untuk menuju ke pantai, selama di perjalanan, kita sudah berpapasan dengan warga lain yang ingin menyaksikan sedekah laut juga. Sesampainya di sana, musik tradisional sudah mengalun indah, tumpeng raksasa disiapkan, dan beberapa perahu kecil berisi sesaji perlahan-lahan didorong ke tengah laut. Semua orang berdoa dalam diam, mengucap syukur dalam hati.

Di tengah hiruk-pikuk perayaan, aku menatap lautan luas di hadapanku. Terasa tenang dan penuh makna. Aku tersenyum dalam hati, membayangkan laut sebagai sahabat lama yang akhirnya mendapat ucapan terima kasih yang layak.(*)

Oleh Djihan Ayu Pramesti