Asal-usul Desa Pasucen

Konon, pada zaman dahulu, sebelum desa-desa ramai seperti sekarang, tanah di ujung utara Pati itu hanyalah hutan lebat dan rawa yang dalam. Tempat itu belum bernama, belum berpenghuni, hanya suara angin dan burung malam yang menyanyikan lagu sunyi. Sampai pada suatu malam bulan purnama, datanglah seorang lelaki berjubah putih dengan tongkat kayu ukir di tangannya. Namanya adalah Syeikh Wiro Padi.

“Wahai tanah yang belum bernama,” ujar Syeikh Wiro Padi, “akan kupijakkan kakiku di sini, dan akan kutanam biji keberkahan, agar kelak tumbuh menjadi kampung yang ramai dan diridai Ilahi.” Maka duduklah beliau di bawah pohon asem tua, membaca wirid dan doa yang hanya dipahami langit dan bumi. Beberapa malam kemudian, hujan turun deras, dan dari situ dimulailah perubahan besar.

Penduduk dari wilayah seberang mulai berdatangan. Ada yang datang karena mimpi, ada yang datang karena tersesat, tapi semua merasa damai ketika bertemu lelaki berjubah putih itu. Salah satu dari mereka, seorang pemuda bernama Sarmin, bertanya, “Kiai, apakah tempat ini akan jadi desa?” Dengan senyum yang teduh, Syeikh menjawab, “Tempat ini sudah kutitipkan pada angin. Namanya akan datang sendiri.”

Tahun demi tahun berlalu. Tanah yang dahulu hutan kini mulai dibuka. Ladang dibersihkan, sumur digali, dan surau didirikan dari kayu jati pilihan. Tapi satu keanehan terjadi: setiap malam Jumat Kliwon, selalu terdengar suara adzan dari arah pohon asem tua, padahal tak ada yang mengumandangkannya.

Kata para sesepuh, itulah pertanda bahwa tempat itu dijaga. “Syeikh Wiro Padi bukan orang sembarangan,” tutur Mbah Rono, sesepuh desa. “Beliau datang bukan hanya membawa tubuh, tapi membawa amanah langit.” Orang-orang pun mulai menyebut tempat itu Pasucen, dari kata ‘Sucen’ atau ‘disucikan’.

Namun tidak semua setuju dengan nama itu. Datanglah suatu hari seorang dukun sakti dari arah selatan, menantang Syeikh. “Kau datang dari mana, orang asing? Tanah ini belum kuberikan namanya!” Syeikh menjawab tenang, “Aku tidak datang membawa nama, tapi membawa cahaya. Dan cahaya tidak perlu izin gelap.”

Terjadilah adu kesaktian. Dukun itu melemparkan bola api, namun sebelum menyentuh tanah, bola itu berubah menjadi bunga kamboja dan jatuh di tangan Syeikh. “Bukankah api pun tunduk pada kehendak Allah?” ucapnya lembut. Dukun itu pun terdiam, lalu memutuskan bertapa di gunung dan tak kembali lagi.

Setelah kejadian itu, masyarakat mengadakan selametan besar. Mereka membakar kemenyan dan menyembelih kambing kendit. “Ini untuk syukur kepada Allah dan penghormatan pada Syeikh Wiro Padi,” kata Mbah Salim, seorang pinisepuh. Malam itu, cahaya terang muncul dari pohon asem tua, lalu perlahan memudar. Esok paginya, nama Pasucen terucap dari mulut anak kecil yang baru bisa bicara.

“Pasucen… Pasucen…” kata si bocah sambil menunjuk langit. Orang-orang gempar, namun tidak takut. Mereka justru percaya, bahwa nama itu bukan buatan manusia, melainkan titipan dari langit. Maka sejak itu, tempat itu resmi disebut Desa Pasucen.

Banyak keajaiban yang terjadi di sana. Ada sumur yang airnya tak pernah kering meski kemarau panjang. Ada pohon randu yang selalu berbunga meski waktunya belum tiba. Semua itu dipercaya sebagai berkah dari Syeikh Wiro Padi, yang meskipun jasadnya sudah tak tampak, rohnya dipercaya masih menjaga desa.

“Anak-anakku,” kata Mbah Jarwo suatu malam saat berkisah di langgar kecil, “jangan sekali-kali meremehkan tanah ini. Setiap jengkalnya ada doa, setiap batunya pernah dibacakan ayat. Karena Pasucen bukan hanya desa, tapi pusaka.” Anak-anak mendengarkan dengan mata membelalak, separuh takut, separuh kagum.

Diceritakan pula bahwa suatu malam, ada orang asing yang mencoba mencari harta karun di bawah pohon asem tua. Tapi ia malah hilang semalaman dan muncul keesokan harinya dengan rambut memutih. Sejak itu, tak ada lagi yang berani macam-macam di tempat keramat itu.

Syeikh Wiro Padi memang tak pernah mengaku wali, tapi tingkah laku dan tutur katanya seperti orang yang dekat dengan Sang Khalik. Beliau pernah berkata pada Sarmin, “Bukan tempat yang membuat suci manusia, tapi manusialah yang menjaga sucinya tempat.” Kata-kata itu hingga kini masih terukir di hati para tetua.

Kini, Pasucen menjadi desa yang makmur, penuh sawah menghijau, suara adzan bersahut-sahutan, dan anak-anak berlarian dengan riang. Tapi setiap Jumat Kliwon, masyarakat masih rutin mengadakan tahlilan di sekitar pohon asem tua, mengenang sosok berjubah putih yang membawa cahaya pertama ke tanah ini.

Dan begitulah, cerita asal-usul Desa Pasucen selalu dibisikkan dari generasi ke generasi. Tak tertulis di buku sejarah, tapi hidup dalam tutur dan laku. “Ingat, le,” kata Mbah Rono sambil mengepulkan asap rokok klobotnya, “Pasucen bukan sekadar tempat tinggal… tapi tanah yang disucikan oleh langkah seorang wali tanpa nama besar, tapi berjasa sepanjang masa.”(*)

Oleh Khaula Mutia Fajriah