Jembatan Gantung Nduwet di Perbatasan Magelang-Kulon Progo

Jembatan Gantung Nduwet merupakan jembatan yang sering saya lewati saat sedang mudik ke rumah nenek saya. Jembatan ini merupakan jembatnag yang menjadi perbatasan wilayah Kulon Progo yang memasuki wilayah Provinsi DIY dengan Magelang yang merupakan bagian Provinsi Jawa Tengah. Secara tidak langsung jembatan ini bukan hanya perbatasan antarkota namun perbatasan dua provinsi. 

Rumah nenek saya berada sekitar 100 meter sebelum jembatan ini yang masuk area Kulon Progo. Jarak antar rumah di wilayah rumah nenek saya cukup berjarak yang jaraknya cukup untuk kamar mandi sederhana. Hal ini berbanding terbalik dengan wilayah rumah yang ada di Semarang terutama daerah rumah saya. Perbandingan ini cukup terlihat yang dapat diibaratkan dengan air hujan tetangga kena rumah lainnya, saya sempat mendengar pepatah ini yaitu sebisa mungkin saat memiliki rumah beri jarak agar air hujan yang terkena genteng kita tidak mengenai wilayah rumah tetangga. Pepatah ini diharapkan saat memasuki masyarkat tidak memiliki permasalhan dengan tetangga karena tetangga merupakan orang sekitar yang dapat membantu kita lebih cepat dibandingkan keluarga yang lebih sering memiliki jarak yang jauh.

Jembatan Gantung Nduwet terbuat dari besi dan kayu. Saat saya masih usia anak SD saya merasakan jembatan ini yang masih bergoyang yang sangat terasa. Namun saat memasuki SMP saya juga melihat jembatan yang sudah diperbaiki menjadi berbahan besi dan kayu sebagai alas jembatan. Hal ini juga terasa goyangan jembatan ini lebih sedikit. Jembatan ini tidak dapat untuk melewati mobil karena dari arah magelang juga membuat jalam kearah jembatan lebih kecil sehingga mau tidak mau pengguna mobil akan menggambil jalan alternatif. Mobilitas masyarakat yang cukup tinggi di wilayah ini, sehingga jembatan ini juga sering dilewati pengguna roda dua. Sehingga seiring berjalannya waktu, alas kayu yang sebelumnya rapi mulai lepas dan berpotensi kecelakan bagi pejalan kaki.

Setiap pagi, saya beberapa kali melihat penjual tahu dari Magelang, sementara dari Kulon Progo membawa padi, kelapa, dan sayuran maupun rerumputan. Tanpa jembatan ini, distribusi barang akan terhambat, dan perekonomian desa bisa mati suri. Diwilayah Kulon Progo setiap akhir tahun akan manyak melihat penjual durian di sekitar jalan. Dirumah nenek saya terdapat beberapa tumbuhan yaitu durian, kelapa, bayam, rambutan, mengkudu dan beberapa tumbuhan yang dapat menjadi bahan makanan. Sehingga om dan tante saya pasti akan menjual durian yang jatuh yang dapat dijual sesuai dengan harga pasar, berbanding terbalik dengan rambutan saya sempat mendengar om saya menjual 2 kuintal rambutan dengan harga yang sangat murah yaitu angka 200 ribuan. 

Pasar-pasar kecil di sekitar jembatan juga tumbuh karena lalu lintas perdagangan yang ramai. Warung-warung makan, kedai kopi, dan lapak sayuran bermunculan, menciptakan mata pencaharian baru bagi warga. Saya sering membeli gorengan dan es teh di warung dekat jembatan itu, didepan rumah nenek saya juga terdapat penjual mie ayam dengan harga yang murah yaitu mie ayam seharga 7 ribu dimana jika dibandingkan dengan harga di semarang sekitar 10 ribu hingga 15 ribu. Selain itu disamping rumah nenek saya juga terdapat penjual gorengan dengan harga 5 ribu dapat 6 gorengan, namun saat ini menjadi seribuan per biji. 

Jembatan ini sudah tua dan seringkali memerlukan perbaikan. Beberapa kali saya melihat pemerintah setempat melakukan renovasi, tetapi infrastruktur yang lebih kokoh tetap dibutuhkan. Warga berharap ada pembangunan yang tidak menghilangkan nilai sejarah, tetapi juga menjamin keamanan dan kelancaran distribusi barang. Jembatan Nduwet bisa dikembangkan lebih baik. Mungkin dengan memperkuat strukturnya tanpa merusak keasliannya, atau bahkan menjadikannya sebagai destinasi wisata ekonomi kreatif. Bayangkan jika jembatan ini tidak hanya jadi penghubung, tetapi juga ikon yang menarik minat wisatawan untuk membeli produk lokal. Seperti cobek asli gunung yang sering dicari karena tidak jarang masih ada penjual nakal yang mengaku asli gunung namun ternyata berbahan semen.

Setiap kali saya pulang ke Semarang, tante saya membawakan oleh-oleh khas Kulon Progo seperti gula jawa yang kebetulan ibu saya juga berjualan yang memerlukan gula jawa. Setiap menjelang pulang ke Semarang, ibu saya selalu membawa daun pisang yang ada didepan rumah, terkadang juga membawa beberapa buah yang ada disekitar rumah nenek. Saat nenek saya masih kuat berkegiatan ia juga membuatkan peyek yang selalu menjadi oleh-oleh satiap tahun. Salah satu oleh-oleh yang selalu kami beli yaitu slondok yang membelinya disaudara saya.

Saat ibu saya muda, ia juga ikut membantu pekerjaan ibunya yaitu nenek kakek saya yaitu berjualan slondok. Slondok merupakan makanan yang dibuat dari singkong yang dibentuk seperti angka 8. Saat berjualan dulu nenek kakek saya juga memiliki alat penggiling singkong untuk mempermudah proses pembuatan. Namun seiring berjalannya waktu sudah tidak berjualan slondok lagi karena memerluka tenaga yang banyak untuk proses pembuatan. 

Jembatan Gantung Nduwet bukan hanya tentang besi dan kayu. Ia adalah simbol ketergantungan ekonomi, sejarah panjang masyarakat, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Setiap kali melintasinya, saya selalu teringat betapa pentingnya infrastruktur sederhana bagi kelangsungan hidup ribuan orang. Sampai kapan pun, jembatan ini akan selalu menjadi bagian dari cerita keluarga saya, dan cerita ribuan warga yang hidupnya bergantung pada setiap langkah yang melintasinya.(*)

Oleh Suci Anzelita