Kekerasan Seksual terhadap Kanak-kanak

Kekerasan seksual pada anak di bawah umur merupakan masalah yang serius dimana hal ini melibatkan tindakan eksploitasi seksual terhadap individu di bawah 18 tahun. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan krisis sosial namun juga menunjukkan adanya kegagalan dalam sistem perlindungan anak.

Berdasarkan data Sistem Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), terdapat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia pada rentan Januari hingga Juni 2024. Dari jumlah korban tersebut, kasus kekerasan seksual menepati urutan pertama dengan 5.552 korban anak perempuan dan 1.930 korban anak laki-laki.

Kekerasan seksual sering menargetkan kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak. Pelaku kekerasan seksual sering kali berasal dari orang-orang terdekat. Dilansir dari Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu, menyatakan anak-anak menjadi target eksploitasi dan kekerasan seksual melalui berbagai platfrom teknologi digital dan internet. OCSEA (Online Child Sexual Exploitation and Abuse) merupakan bentuk kekerasan seksual terhadap anak yang semakin mengkhawatirkan di era digital ini.

Menurut WHO, kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap tindakan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan, termasuk usaha untuk melakukan tindakan tersebu, komentar seksual yang tidak diinginkan dan manipulasi untuk terlibat dalam perilaku seksual. Kekerasan seksual adalah tindakan yang merendahkan, menyerang, melecehkan dan/atau tindakan lainya terhadap hasrat seksual yang dilakukan secara paksa, bertentangan tehadap keinginan seseorang yang dapat berakibat penderitaan fisik dan psikis bagi para korban. Hukum tentang perlindungan anak diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014.

Dampak dari kekerasan seksual terhadap anak dapat menimbulkan trauma fisik dan psikologis, yang dapat mempengaruhi perkembangan mereka. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual sering kali mengalami trauma emosional, seperti depresi dan kecemasan. Selain itu, korban juga dapat mengalami cedera fisik, seperti infeksi menular seksual, dan dalam kasus yang ekstrim dapat menyebabkan kematian.

Beberapa faktor yang menyebabkan kekerasan seksual pada anak, antara lain kurangnya pengawasan dari orang tua, kepedulian masyarakat dan lingkungan sekitar yang rendah, kelainan seksual, dan kurangnya pendidikan seks.

Upaya untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak dapat dilakukan pendidikan seks yang sesuai dengan usia anak. Pendidikan seksual dapat membantu anak-anak dalam membangun pemahaman yang sehat tentang tubuh, dan seksualitas.

Selain itu, edukasi anak tentang kekerasan seksual perlu dilakukan. Dengan memberikan pemahaman tentang batasan-batasan dalam hubungan, anak-anak dapat lebih mudah mengenali tindakan yang tidak pantas sehingga mengurangi resiko menjadi korban kekerasan seksual.

Kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur bukan hanya masalah hukum, tetapi juga tantangan sosial yang memerlukan perhatian serius dri masyarakat dam pemerintah. Kasus-kasus yang ada sering melibatkan pelaku yang dekat dengan korban sehingga diperlukan pengawasan dan pendidikan yang baik bagi orang tua dan masyarakat. Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat luas sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak. Marilah kita berkomitmen untuk bersama-sama mencegah kekerasan seksual terhadap anak dan memastikan hak-hak mereka terlindungi dengan baik.(*)

Oleh Nazwa Anggraeni (Ilmu Hukum UNNES)