Di pesisir utara Pulau Jawa, di sebuah desa yang tenang bernama Sengon, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, tersembunyi sebuah kisah yang menggugah jiwa. Di tengah desa yang damai ini, sebuah makam sederhana telah menjadi pusat perhatian, sebuah titik fokus bagi ziarah dan refleksi spiritual. Makam ini diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhir Syekh Muhammad Anwar, seorang ulama yang dikenal karena karyanya yang monumental, kitab Aisyul Bahri.
Kisah penemuan makam Syekh Anwar adalah sebuah perjalanan yang penuh dengan petunjuk ilahi dan dedikasi yang tak tergoyahkan. Bapak Abdul Hamid, seorang pengurus makam yang berdedikasi, menceritakan bagaimana pencarian ini dimulai atas inisiatif Romo Kiai Haji Dimyati Rois, seorang ulama terkemuka dan pemilik Pondok Pesantren Al Fadlu wal Fadillah di Kaliwungu, Kendal. Kiai Dimyati Rois menugaskan santrinya, Masruri, yang saat itu berdomisili di Kecamatan Subah, untuk mencari jejak makam Syekh Anwar.
“Masruri,” panggil Kiai Dimyati Rois suatu hari, “Saya merasakan kehadiran seorang wali di daerahmu. Carilah makam Syekh Muhammad Anwar. Beliau adalah pengarang kitab Aisyul Bahri.”
Dengan tekad yang membara, Masruri memulai pencariannya, menyusuri setiap sudut desa, bertanya kepada para sesepuh, dan mengikuti setiap petunjuk yang mungkin. Akhirnya, usahanya membuahkan hasil. Ia menemukan sebuah makam yang tampak sederhana namun memancarkan aura yang berbeda. Dengan hati-hati, ia mengambil segenggam tanah dari makam tersebut dan membawanya kepada Kiai Dimyati Rois.
Saat tanah itu berada di tangan Kiai Dimyati Rois, sebuah keajaiban terjadi. Kiai Dimyati Rois, dengan kebijaksanaan dan intuisi seorang wali, membenarkan bahwa tanah itu memang berasal dari makam Syekh Muhammad Anwar. “Ini dia,” kata Kiai Dimyati Rois dengan mata berbinar, “Tanah ini berasal dari makam Syekh Muhammad Anwar. Beliau adalah seorang waliyullah.” Penemuan ini menjadi titik balik, sebuah konfirmasi ilahi bahwa Syekh Anwar telah ditemukan.
Berita tentang penemuan makam Syekh Anwar menyebar dengan cepat, menarik perhatian para tokoh agama dan masyarakat desa Sengon. Mereka berkumpul di kediaman Kiai Dimyati Rois, mencari bimbingan dan restu. Kiai Dimyati Rois, dengan penuh tanggung jawab, memberikan mandat kepada mereka untuk membuka dan merawat makam tersebut. “Makam Syekh Anwar adalah mimba’dil aulia al alim al alamah,” sabdanya, “Sebagai pengarang kitab Aisyul Bahri, beliau adalah sumber ilmu dan keberkahan bagi kita semua.”
Dengan mandat di tangan, para tokoh agama dan masyarakat desa Sengon memulai pekerjaan mulia mereka. Mereka membersihkan area makam, membangun struktur yang layak, dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk ziarah. Menurut Bapak Abdul Hamid, bahkan sebelum makam itu dibuka secara resmi, banyak warga yang sudah berziarah ke sana, merasakan kehadiran spiritual Syekh Anwar. “Dulu, sebelum makam ini dibuka, sudah banyak yang datang berziarah,” kenang Bapak Abdul Hamid. “Mereka merasakan ketenangan dan keberkahan di tempat ini.”
Namun, tantangan masih ada. Akses ke makam pada saat itu hanyalah jalan setapak yang sulit dilalui kendaraan. Para pengurus makam bermusyawarah dan memutuskan untuk membangun akses jalan yang lebih baik. Mereka meminta izin kepada pemilik tanah di sekitar makam untuk menyumbangkan sebagian tanah mereka untuk pembangunan jalan dan mushola.
“Kami mohon izin, Bapak/Ibu,” kata salah seorang pengurus kepada pemilik tanah. “Kami ingin membangun jalan dan mushola di sekitar makam Syekh Anwar. Kami harap Bapak/Ibu berkenan menyumbangkan sebagian tanahnya.”
Dengan hati yang terbuka, para pemilik tanah setuju. “Tentu saja kami bersedia,” jawab salah seorang pemilik tanah. “Ini adalah untuk kebaikan kita semua. Syekh Anwar adalah berkah bagi desa kita.” Warga desa Sengon bergotong royong membangun jalan dan mushola, menyumbangkan tenaga, material, dan dana. Semangat kebersamaan dan antusiasme mereka sangat luar biasa. Dalam waktu singkat, jalan yang layak dan mushola yang indah berdiri di sekitar makam Syekh Anwar.
Kitab Aisyul Bahri, karya monumental Syekh Muhammad Anwar, menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan bagi masyarakat. Kitab ini membahas tentang hewan-hewan laut dan darat, serta hukum mengonsumsinya. Salah satu contoh yang terkenal adalah penjelasan Syekh Anwar tentang kepiting, yang menurutnya halal karena hanya hidup di air.
Tradisi membaca kitab Aisyul Bahri pun dimulai. Mbah Kiai Haji Nursaid dari Banyu Urip, Pekalongan, membacakan kitab ini setiap malam Ahad Pahing. Kemudian, atas restu Ndoro Habib Lutfi, pengajian selapanan kitab Aisyul Bahri diadakan secara rutin di sekitar makam Syekh Anwar setiap Sabtu malam Ahad Pahing. Acara ini telah berjalan selama sekitar 4 tahun dan menarik banyak jamaah dari berbagai daerah. “Pengajian ini adalah cara kami untuk menghormati Syekh Anwar dan mempelajari ilmunya,” kata salah seorang jamaah.
Hingga kini, makam Syekh Muhammad Anwar telah menjadi tempat yang indah dan terawat. Banyak peziarah yang datang dari berbagai daerah, mencari berkah dan inspirasi dari Syekh Anwar. Kisah penemuan makam ini adalah bukti nyata dari kekuatan spiritualitas, dedikasi, dan kebersamaan. Sebuah kisah yang akan terus hidup dan menginspirasi generasi mendatang.(*)
Oleh Mei Muflichatul Laely