Desa Kebonagung, bagi sebagian orang mungkin hanyalah satu dari sekian banyak desa yang tersebar di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Tapi siapa sangka, desa kecil ini ternyata menyimpan kisah sejarah yang cukup menarik. Namanya yang unik berasal dari dua kata: “Kebon” yang berarti kebun, dan “Agung” yang berarti besar atau luas.
Konon, dulunya tempat ini merupakan lahan kebun milik bangsawan yang sangat luas dan subur. Karena kebun tersebut menjadi pusat kegiatan masyarakat pada masa itu, wilayah ini pun lama-lama dikenal dengan nama Kebonagung.
Asal-usul desa ini tak bisa dilepaskan dari kisah sejarah yang lebih besar di wilayah Pekalongan. Pada masa lampau, terdapat dua tokoh penting yang punya andil besar terhadap perkembangan daerah ini, yaitu Raden Adipati Aryo Adiwijoyo dan Tumenggung Notodirjo.
Kisah keduanya bukan hanya soal kepemimpinan, tapi juga tentang jalinan keluarga dan cinta yang mempertemukan dua kekuasaan. Dari hubungan mereka, lahirlah banyak keturunan yang tersebar di berbagai wilayah, termasuk yang membangun permukiman-permukiman di sekitar Kebonagung.
Disebutkan bahwa tanah-tanah di Kebonagung pada masa itu merupakan bagian dari perluasan lahan pertanian milik kerabat bangsawan. Karena itu, banyak ditemukan peninggalan berupa tata letak lahan dan sistem irigasi yang tertata rapi, yang membuktikan bahwa desa ini pernah menjadi pusat produksi pertanian. Hingga kini, masyarakat Kebonagung masih menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Sawah-sawah yang luas, pematang yang rapi, dan aliran irigasi yang mengalir tenang menjadi pemandangan sehari-hari.
Tidak hanya sejarahnya yang menarik, namun budaya masyarakatnya pun sarat nilai tradisional. Gotong royong masih dijaga, dan kegiatan adat masih rutin dilakukan. Setiap musim panen, warga biasanya menggelar syukuran bersama yang disebut “sedekah bumi.” Ini adalah cara mereka berterima kasih atas hasil panen sekaligus menjaga hubungan harmonis antar warga. Dari hal-hal sederhana seperti inilah terlihat betapa desa ini tetap menjaga warisan masa lalunya dengan baik.
Salah satu hal yang membuat Kebonagung terasa unik adalah suasana paginya. Banyak warga yang masih mempertahankan kebiasaan bertani dengan cara tradisional. Di pagi hari, kita bisa melihat orang berjalan kaki membawa cangkul menuju sawah. Suara burung bersahutan, sinar matahari menembus pepohonan, dan embun masih menempel di daun-daun. Semua terasa damai dan alami. Rasanya seperti berada di masa lalu yang masih hidup di zaman sekarang.
Aku sendiri bukan asli Kebonagung. Dulu, saat kelas tiga SD, aku pindah ke desa ini dari Cimahi karena mengikuti ayahku yang ditugaskan bekerja di Pekalongan. Awalnya, aku merasa sangat asing. Lingkungannya sangat berbeda dengan kota tempatku dibesarkan. Sekolah pun terasa sepi, dan aku masih harus menyesuaikan diri dengan teman-teman baru serta logat yang berbeda. Terlebih lagi, saat itu aku belum tinggal bersama ibuku. Namun seiring waktu, aku mulai terbiasa. Kehangatan warga desa, suasana lingkungan yang tenang, dan kehidupan keluarga yang lebih dekat membuatku mulai nyaman. Kami tinggal di rumah nenek yang selalu ramai oleh kerabat. Aku jadi punya banyak sepupu untuk diajak bermain, dan suasana rumah jadi lebih hidup. Di desa ini, aku belajar tentang kesederhanaan, kebersamaan, dan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama.
Satu hal yang membuatku merasa benar-benar diterima adalah ketika lebaran pertama kami di Kebonagung. Tidak ada lagi agenda mudik seperti tahun-tahun sebelumnya. Justru, rumah nenek tempat kami tinggal menjadi tempat berkumpulnya sanak saudara. Dari pagi sampai malam, rumah kami dipenuhi dengan tawa, aroma masakan, dan cerita-cerita lama yang membuatku merasa ini memang rumah sejati kami.
Selama tinggal di desa ini, aku juga mulai memahami alasan kenapa ayahku sangat mencintai kampung halamannya. Bukan hanya soal kenangan masa kecilnya yang penuh warna, tapi juga karena nilai-nilai kehidupan yang tetap terjaga hingga sekarang. Di sini, hubungan antar tetangga sangat erat, tahu siapa yang sedang sakit, siapa yang baru panen, bahkan siapa yang punya hajatan. Kalau pagi, terdengar suara sapa dari warga yang lewat di depan rumah. Kalau ada yang butuh bantuan, tak perlu diminta pun orang-orang akan datang. Nilai-nilai seperti inilah yang pelan-pelan membentuk pandanganku tentang arti ‘rumah’ yang sesungguhnya.
Kebonagung memang bukan desa dengan gemerlap lampu kota atau bangunan tinggi. Tapi justru itu yang membuatnya spesial. Tidak ada kebisingan lalu lintas atau padatnya aktivitas yang menyesakkan. Yang ada hanyalah suara jangkrik, kokok ayam, dan kadang suara angin yang lewat di sela-sela daun pisang. Di sore hari, anak-anak berlarian di pematang sawah, sementara orang dewasa duduk santai di beranda sambil bercerita. Segala kesederhanaan itu justru memberi ruang bagi kita untuk benar-benar hidup. Dan meski secara fisik desa ini terbilang kecil, tapi semangat warga yang besar memungkinakn mereka untuk saling bantu, saling dukung, dan tak pernah melupakan akar mereka.
Bagi orang lain, Kebonagung mungkin hanyalah salah satu dari sekian banyak desa di Pekalongan. Tapi bagiku, desa ini punya tempat tersendiri di hati. Ia bukan sekadar lokasi geografis, tapi tempat di mana sejarah dan kehidupan saling bertaut. Aku pernah menjadi orang asing di sini, anak pindahan yang bingung dan kaku. Tapi lambat laun, aku justru merasa diterima dan dilibatkan. Aku belajar memahami bahasa tubuh orang-orang desa, kebiasaan mereka, dan cara mereka memandang hidup yang berbeda dari apa yang aku pelajari sebelumnya. Semua ini membuatku lebih bijak dan lebih menghargai hal-hal kecil dalam hidup.
Kini, setiap kali aku mengingat masa kecilku di Kebonagung, hatiku selalu hangat. Ada banyak momen yang tak bisa kulupakan—seperti bermain di sungai kecil di belakang rumah nenek, ikut panen padi, atau sekadar berjalan kaki ke sekolah sambil menyapa orang-orang di jalan. Kepindahanku ke desa ini bukan hanya soal berpindah tempat, tapi juga berpindah cara pandang. Aku belajar bahwa kehidupan yang tenang dan penuh makna tidak selalu ada di kota besar. Justru di desa inilah aku benar-benar mengenal arti dari “rumah”. (*)
Oleh Ganestri Asoka Suliatiati