Namaku Gayatri Diah Puspa Narandri biasa dipanggil Gayatri. Aku lahir di desa yaitu Desa Blimbing, salah satu desa yang berada di Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang. Aku terlahir sebagai Gen-Z tepatnya pada tanggal 13 September 2006. Sekarang aku sedang menjadi mahasiswa di Universitas Negeri Semarang.
Desa Blimbing memilki luas wilayah sekitar 156,880 Ha, yang dibagi menjadi 28,970 Ha luas permukiman dan 121,763 Ha adalah luas sawah ladang. Desa Blimbing hanya memiliki sekitar 2847 jiwa karena luas pemukiman yang lebih sempit daripada luas sawah dan ladang. Desa Blimbing berbadasan dengan Desa Karangtalok disebelah selatan, Desa Widodaren disebelah barat, Desa Ampelgading disebelah Utara dan Sungai Comal atau sering terkenal dengan Kali Comal di sebelah timur.
Dulu, saat masih duduk di bangku SD, aku sering bermain sepeda ke arah barat, tepatnya menuju perbatasan antara Desa Blimbing dan Desa Jetis. Setiap kali melewati jalan itu, mataku selalu tertuju pada sebuah makam yang berada di tengah sawah, tepat di samping jalan raya. Yang membuatnya mencolok adalah karena makam itu berdiri sendirian, tidak bergabung dengan kompleks makam lainnya.
Rasa penasaranku semakin besar. Hingga pada suatu hari, aku memberanikan diri bertanya kepada orang tuaku.
“Itu makam siapa, sih, yang ada di perbatasan itu?” tanyaku pada Papah.
Beliau menjawab, “Itu makam pahlawan, namanya Mbah Kiai Rawan.”
“Oh, pahlawan ya? Tapi kenapa beliau dimakamkan di situ?” tanyaku lagi, mencoba memahami.
“Sebelum ada sungai makam itu ada tepat di sungai, lalu dipindahkan sedikit kekiri dari arah Desa, namun digeser lagi hingga sampai ke sawah karena makamnya tepat dengan pembuatan jalan dan makamnya tergerus saluran pembuangan,” jawab Papahku dengan mukaku sedikit kebingungan.
Setelah sekian lama menyimpan rasa penasaran, akhirnya tugas Bahasa Indonesia mengajakku untuk menggali lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan makam tersebut, dan apakah makam itu memiliki hubungan dengan desa yang kini menjadi tempat tinggalku.Kesempatan ini kuambil sebagai momen untuk mengangkat kisah yang sejak kecil menarik perhatianku. Tugas ini memintaku menceritakan sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar, terutama hal-hal yang belum banyak diketahui orang. Maka, aku pun memutuskan untuk mengangkat cerita tentang makam Mbah Kiai Rawan.
Menurutku, kisah ini sangat menarik. Selain karena nuansa misterius yang menyelimutinya sejak dulu, aku merasa pasti ada nilai sejarah atau pelajaran hidup yang bisa kuambil sebagai seorang remaja. Hingga akhirnya, aku memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada salah satu tokoh agama di desa, yang aku yakini tahu banyak tentang sejarah desa ini. Dengan sopan, aku berkata,
“Maaf, Pak, saya mengganggu waktunya. Saya sedang mendapat tugas sekolah untuk menulis tentang kejadian atau cerita yang ada di lingkungan tempat tinggal. Saya tertarik untuk mengangkat kisah makam Mbah Kiai Rawan. Apakah Bapak bersedia menceritakan kepada saya apa yang Bapak ketahui?”
Pak Lebe tersenyum hangat, lalu mengangguk pelan. “Oh, makam Mbah Kiai Rawan ya.. Iya, itu memang makam yang istimewa. Banyak yang penasaran, tapi nggak semua tahu ceritanya.” Setelah beberapa waktu, berikut adalah cerita yang saya tangkap dari penjelasan beliau.
Makam Mbah Kiai Rawan yang juga memiliki kaitan dengan keberadaan Kabupaten Pemalang. Fruin Mees menyatakan bahwa Pemalang dan Cirebon adalah salah satu daerah yang merdeka di Pulau Jawa yang dipimpin oleh seorang pangeran atau raja. Selanjutnya Pemalang juga termasuk daerah yang ditaklukan oleh Panembahan Senopati dan Panembahan Sedo Krapyak dari Mataram.
Kiai Rawan memiliki nama lain yaitu Raden Suromenggolo dan memiliki nama asli yaitu Raden Hasan. Mengapa ia dijuluki Suromenggolo karena ia adalah anak dari raden Mubarok (Kiai Jurang Mangu) dan cucu dari Raden Nur Syah ( Kiai Ageng Wonogati) mantan komandan yang sebagaian pasukan Mataran Islam (1628-1629). Kemudian menjadi patih di Kadipaten Demak dengan gelar Wonosalam IV. Pada tahun 1640 M Panembahan Ratu II atau Pangeran Adipati Anom sebagai susuhunan Cirebon beserta kedua putranya yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, diboyong ke Mataram. Pada tahun 1640-1650 M Penembahan Ratu II menaklukan Cirebon. Kemudian Pangeran Wangsakerta dicalonkan untuk mewakili kedudukan Panembahan ratu II, namun sebelum diresmikan kedudukan sementara dijabat oleh seorang chareteker dari Mataram yaitu Raden Suromenggolo dengan pangkat Tumenggung pada taun 1640 M. Selama menjadi chareteker di Kesultanan Cirebon, Tumenggung Hasan Suromenggolo dibantu oleh adinknya Raden Husain Suromenggolo. Lalu pada tahun 1641 M diangkat menjadi chareteker di Kabupaten Pemalang hingga diangkat menjadi bupati Pemalang.
Adik dari Tumenggolo Suromenggolo membantunya hingga mendapat pangkat Tumenggolo. Setelah selesai menjabat, Raden Suromenggolo bersama dengan 7 rekannya bermukim disuatu daerah yang pernah ia kenal. Kiai Rawan adalah nama yang sudah dikenal oleh penduduk yang didatanginya. Para penduduk mengenalnya sebagai seorang pendakwah, apalagi ia pernah membuat taubat orang yang dulu menjadi begal. Hari demi hari mereka menjadi akrab dan mudah untuk diajak musyawarah mufakat, lalu terjadilah perluasan wilayah pemukiman dan sawah ladang dengan membuka hutan sebelah barat dengan pemimpin Kiai Rawan pada 1644 M. Setelah melewati proses dan layak untuk ditempati menjadi perkampungan, maka lahirlah desa Blimbing.
Perluasan daerah terus berlanjut hingga kesebuah petakan ladang yang diisi oleh beberapa penduduk selaku penggarapnya yang tinggal di pinggiran hutan. Hingga pada suatu saat Kiai Rawan membuka lahan baru untuk perluasan ladang dan tempat tinggal, Kiai Rawan tersandung pangkal pohon jarak dan terluka hingga tidak bisa jalan karena terjatuh lalu ia dibawa dengan tandu dari kain yang memiliki bentuk seperti gendek (semacam tempat tampungan beras). Dari gendek tersebut, maka tempat tersebut dinamakan Dukuh Gendek. Semenjak kejadian itu Kiai Rawan jatuh sakit dan tidak lama kemudian wafat pada hari Rabu Wage, 19 april 1678 M.
Beliau wafat bertepatan dengan Rabu Wekasan atau rabu terakhir dibulan Shafar, diaman dalam waktu itu sebagian masyarakat Desa Blimbing melakukan ritual tolak bala. Namun, dengan kejadian wafatnya Kiai Rawan pada Rabu Pungkasan seluruh masyarakat Desa Blimbing melakukan ritual tolak bala, hingga sekarang nama tersebut dikenal oleh seluruh masyarakat Desa Blimbing hingga Dukuh Gendek.
“wah sangat menarik ya ceritanya, tidak sesingkat pahlawan yang gugur ditempat itu tetapi kisah perjalananya sangat panjang,” jawabku ketika tokoh agama selesai bercerita.
“Ya, sangat berjasa untuk kita masyarakat Desa Blimbing, karena beliaulah yang membangun desa ini yang semula hutan menjadi pedesaan.” Dengan rasa kagum ia menjawab pertanyaanku.
Seiring berjalanannya waktu, jalan raya depan pendopo makam Mbah Kiai Rawan beberapa akhir ini banyak yang mengalami kecelakaan. Contohnya saat itu seorang tetanggaku yang sudah bertahun-tahun jualan ayam potong dan rute jalannya melewati jalan raya tersebut. Suatu hari ia hendak berjualan tetapi saat sampai dijalan raya itu dengan sadar motor ia oleng hingga jatuh kesungai, padahal jalan raya tersebut jalannya lurus.
“Saya hanya mengikuti jalan, dimata saya jalan tersebut ko belok padahal aslinya kan ga ada belokan (jalanya lurus),” ujar tetanggaku ketika ditanya kronologinya.
Setelah kejadian itu disusul dengan kecelakaan juga, dengan itu jalan tersebut dianggap sedikit menakutkan karena kejadian tersebut.(*)
Gayatri Diah Puspa Narandri