Setiap daerah pasti memiliki kisah-kisah mistis yang menarik untuk diperbincangkan, beberapa berwujud urban legend bagi masyarakat sekitar. Sore itu langit tampak mendung, diselimuti kabut tipis yang menggantung rendah dan membuat udara terasa lebih dingin dari biasanya. Perjalanan kami menuju salah satu tempat di daerah Tembalang jadi terasa lebih sunyi, lebih pelan, seolah ada yang menahan langkah.
Aku, bersama dua temanku, Budi dan Biya, mengendarai motor melewati tanjakan Sigar Bencah, jalan yang dikenal cukup ekstrem dan menyimpan cerita-cerita mistis. Meski jalanan masih sepi dan udara cukup sejuk, ada rasa tidak nyaman yang sulit dijelaskan—seperti bayang-bayang yang tak terlihat, namun terasa dekat.
Sigar Bencah terletak di Kelurahan Bulusan, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Sebuah kawasan yang mulai ramai oleh pembangunan namun masih menyisakan sudut-sudut sunyi yang terasa asing. Tanjakannya dikenal curam dan berliku, menjadi tantangan tersendiri bagi siapa pun yang melintasinya, terutama saat cuaca tak bersahabat. Namun bukan hanya medannya yang membuat orang enggan melintas sendirian—terutama saat sore menjelang malam—melainkan juga cerita-cerita yang beredar dari mulut ke mulut dan turun-temurun.
Warga sekitar menyebut jalan ini “angker.” Bukan untuk menakut-nakuti, melainkan karena ada semacam kepercayaan yang diyakini secara diam-diam—seolah hal itu tak boleh disebut terlalu keras agar tidak menarik perhatian. Konon, ada yang pernah mendengar suara-suara aneh dari balik pepohonan, atau bisikan pelan di telinga yang muncul entah dari mana. Beberapa orang bahkan mengaku pernah melihat sosok perempuan berdiri diam di pinggir tanjakan, mengenakan pakaian lusuh dan rambut panjang yang menutupi wajahnya. Ia hanya berdiri memandangi para pengendara yang lewat, tanpa mengucap sepatah kata pun.
Aku sendiri, sejujurnya, bukan tipe orang yang mudah percaya pada hal-hal semacam itu. Cerita-cerita mistis bagiku tak lebih dari penghias cerita untuk menghidupkan suasana. Namun sore itu, entah mengapa, aku mulai meragukan keyakinanku sendiri—seperti ada sesuatu yang perlahan mengikis logika dan menggantinya dengan firasat yang tak bisa dijelaskan. Sesuatu yang hanya bisa dirasakan ketika kau benar-benar berada di sana, dalam sepi yang pekat dan udara yang mendadak terasa berat. Begitu kami melewati jalanan, suasananya sunyi sekali. Tak ada kendaraan lain lewat, hanya suara angin dan desiran pepohonan. Aku sempat bertanya dalam hati, mengapa jalan seterkenal ini justru sepi pada akhir pekan? Tapi kami tetap lanjut. Budi yang paling berani langsung memacu motornya, kemudian aku dan Biya menyusul.
Motor mulai menanjak perlahan, menggeram pelan seolah berusaha melawan tarikan bumi. Baru beberapa meter naik, laju kami terasa berat, seperti ada beban tak kasat mata yang menahan dari belakang. Aku menarik gas lebih dalam, tapi roda belakang justru sedikit terpeleset, kehilangan cengkeraman pada aspal yang sedikit lembap.
Di belakangku, Biya berbisik lirih, “Kayak ada yang narik dari belakang, ya….”
Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat tengkukku terasa dingin. Aku tertawa kecil, lebih sebagai bentuk pertahanan diri, mencoba mengusir pikiran aneh yang mulai merayap.
Kemudian, di pertengahan tanjakan, motor kami hampir sulit melaju. Kami terpaksa berhenti sejenak, membiarkan mesin mendingin dan napas kami teratur kembali. Dalam diam, aku menoleh ke depan—dan di ujung tikungan, samar-samar kulihat sosok putih berdiri diam di tepi jalan. Ia tak bergerak, menghadap lurus ke arah kami. Entah karena kabut atau jarak, bentuknya tak jelas, tapi cukup nyata untuk membuat dada berdebar tak karuan.
Secara refleks aku menoleh ke Biya. “Lihat nggak barusan?” tanyaku cepat.
Ia tak menjawab. Wajahnya pucat, matanya menatap lurus ke depan seperti menolak percaya apa yang mungkin saja ia lihat. Saat kami menoleh lagi, sosok itu telah lenyap, seolah ditelan kabut atau waktu. Yang tersisa hanyalah kesunyian yang lebih pekat dari sebelumnya, dan perasaan aneh yang tak juga hilang.
Sore itu, kabut turun perlahan di Sigar Bencah. Langit mulai redup, pertanda senja segera berganti malam. Jalanan menanjak ini sunyi, tak ada rumah, tak ada kendaraan lain, hanya kami bertiga yang melintasinya: aku, Budi, dan Biya. Kami sempat berhenti di tikungan tajam karena melihat batu besar di tepi jalan. Di atasnya tergeletak sesajen kecil berisi bunga melati, abu dupa, dan air dalam kendi. Kami tak bicara apa pun. Ada kesan yang tak bisa dijelaskan, seperti sedang diamati sesuatu yang tak tampak. Tapi karena hari mulai gelap, kami kembali menaiki motor dan melanjutkan perjalanan, perlahan menanjak.
Beberapa menit kemudian, di sebuah tikungan yang sedikit curam, tiba-tiba Budi mengerem mendadak. Motornya hampir oleng ke kiri, nyaris tergelincir.
“Tadi ada yang nyeberang!” serunya cepat. Kami sontak berhenti. Tapi saat menoleh ke depan, tak ada siapa-siapa. Hanya jalan kosong dan suara dedaunan bergesek pelan.
“Seperti perempuan pakai baju putih, dari kanan ke kiri,” Budi menambahkan sambil menarik napas. Tak ada yang menyahut. Aku menatap Biya, yang hanya menggigit bibir. Rasanya tak perlu memperpanjang obrolan, jadi kami lanjut jalan dengan kecepatan sedikit lebih tinggi.
Tak ada kejadian aneh setelah itu, tapi suasana tetap terasa berat. Tak ada angin, tak ada suara burung. Jalan menanjak terus, lalu menurun menuju jalan utama. Barulah setelah melihat lampu kendaraan lain di kejauhan, kami sedikit lega.
Kami berhenti sejenak di warung kecil pinggir jalan untuk membeli air minum. Seorang bapak tua di sana menatap kami sambil menyeduh teh.
“Tadi lewat Sigar Bencah ya?” tanyanya santai.
Kami hanya mengangguk. Ia tersenyum samar dan berkata, “Kalau pas Magrib gitu, aja kaget yen ndeleng sing aneh-aneh. Kadhang sing lewat kuwi ora mung wong biyasa.”
Biya memberanikan diri bertanya pelan, “Emang wonten crita napa, Pak?”
Bapak itu menghela napas sebentar. “Wong-wong tuwa jaman biyen kandha, yen panggonan kuwi biyen kerep diggo tirakat. Ana sing teka njaluk petunjuk, ana uga sing nggoleki syarat. Saiki wis sepi, ora kaya mbiyen, nanging kadhang isih ana sing ngreksa. Dudu kanggo medeni, mung yo… ora saben wong cocog mlaku liwat kono nalika Magrib kaya ngene.” jawab bapak itu. “Yen ana sing nyeberang, nanging ora ana jejak, ya wis, ora usah digoleki. Sing penting aja melu bali,” tambahnya, sambil meletakkan teko teh ke meja.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan, namun bayangan itu terus mengendap di pikiran. Sigar Bencah, dengan segala kabut tipis yang menyelimuti, batu di tepi jalan, dan sesajen yang terlihat, terasa lebih dari sekadar tanjakan biasa. Tempat itu seolah menyimpan kenangan-kenangan lama, tak hanya untuk mereka yang pernah melintas, tetapi juga bagi sesuatu yang tak tampak, yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Setiap sudutnya, meski tampak biasa, menyimpan sesuatu yang tak terucap, seakan menyarankan bahwa ada hal-hal yang lebih dari yang terlihat. Mungkin suatu saat nanti, kami akan kembali, bukan untuk mencari penjelasan atau jawaban, tetapi hanya untuk merasakan kembali sensasi yang sulit dicerna oleh logika. Sebuah perjalanan singkat yang menguji batas antara dunia nyata dan sesuatu yang lebih misterius, sesuatu yang kadang hanya bisa dirasakan, namun tak bisa dilihat.(*)
Oleh Sabila Putri Mahardika