Cerita dari Panjangan

Matahari terik mengantar panasnya ke seluruh kota Semarang. Saya dengan cepat melangkahkan kaki saya yang beralaskan sepatu butut ke jalan setapak yang terasa sangat familiar. Ya, tentu saja. Saya kan hampir tiap hari melewatinya. Seiring melangkah saya menginjak kerikil-kerikil tajam yang bisa saja merusak sol sepatu saya yang sudah rapuh. Dengan langkah pasti saya tak hiraukan panas matahari yang menusuk kulit saya. Biar saja, toh kulit saya sudah bersahabat dengan panas matahari.

Saya hindari tatapan orang Belanda yang menatap saya dengan hina. Saya harap mereka melihat saya cuma karena jijik, bukan karena saya berbuat yang tidak-tidak. Di saat seperti ini tidak ditembak di tempat saja sudah syukur. Saya berlari kencang ketika tujuan saya sudah nampak di penghujung jalan. Adalah rumah sahabat karib saya, si Kapiten Souw Pan Jiang.

Saya panggil dia kapiten sebab dia selalu memiliki mimpi untuk memimpin pasukan pribumi dalam pertarungan melawan Belanda. Dia seorang jago silat, tiap malam dia akan mengajari silat bagi teman-temannya, termasuk saya. Sebuah langkah kecil untuk memulai, katanya. Eksistensinya sudah dikenal di daerah ini. Seorang guru silat terhebat, kata orang. Namanya sebagai seorang ahli silat sudah tersohor. Jika kau tanya siapa orang paling terkenal di daerah ini tentu sahabat saya si Souw Pan Jiang jawabannya.

Sayangnya nama dia terlalu susah dilafalkan orang Jawa. Jadi orang-orang suka memanggilnya Si Panjang atau Sepanjang. Saya suka ikut-ikutan panggil dia seperti itu untuk guyonan, dan berakhir dengan dia yang selalu memukul pundak saya karena kesal. Tapi walau begitu dia tetap jadi guru bela diri paling tersohor di daerah ini.

Hari ini dia mau beritahu saya berita besar katanya. Saya yang terlampau penasaran tergopoh-gopoh menuju rumahnya. Mungkin jika dia melihat saya yang seperti ini dia akan tertawa kencang dengan suara khasnya. Dengan tergesa saya melaju ke rumahnya yang tinggai satu meter lagi dari pandangan saya. Saya ketuk pintu rumahnya begitu saya sampai. Terlihat dia muncul dari balik pintu dengan senyum sumringah hingga buat matanya yang sipit terlihat seperti bulan sabit.

“Jadi ada kabar apa, Bung?” ujar saya begitu dia memunculkan diri di depan pintu.

Dia yang sudah membuat saya heboh karena penasaran setengah mati malah tertawa melihat badan saya yang penuh keringat dan napas saya yang terengah-engah. Dia kemudian menjawab, “Sudahlah Bung, tak usah terburu-buru. Kau masuklah saja dulu, kita bicarakan di dalam.”

Saya kesal sekali mendengarnya, bisa-bisanya dia berkata seperti itu dengan kondisi saya yang kelelahan dan berkeringat akibat berlari terlalu kencang sebab terlampau penasaran. Tetapi saya tetap mengikuti perkataannya dengan bergegas masuk ke rumahnya, disbanding dia tidak mau beri informasi sama sekali, kan?

Dia sediakan sepiring singkong kukus dan secangkir teh untuk teman kami. Saya duduk berhadapan dengan dia, melihat wajah dia yang sangat sumringah. Saya memulai pembicaraan dengan bergurau, “Wajahmu sumringah sekali. Seperti habis memenangkan lotre.”

Seperti biasa dia menanggapi gurauan saya dengan tawa singkat, tetap dengan matanya yang membentuk bulan sabit. Dia menyeruput tehnya terlebih dahulu dan memakan singkongnya sepotong sebelum membalas dengan suara berbisik, “Saya akan mulai perjuangan bangsa, Bung. Saya sudah pikirkan ini matang-matang.”

Saya terkejut setengah mati. Saya lihat wajah dia yang bersungguh-sungguh, jadi saya yakin ini bukan guyonan dia semata. Saya bertanya dengan nada panik, “Apa maksudmu?”

“Saya diminta memimpin pasukan melawan Belanda, saya juga sudah kumpulkan pasukan untuk memulai pergerakan ini.” Saya makin terkejut ketika dia mengatakan hal itu. Orang ini benar-benar akan mewujudkan mimpinya. Mimpi gila itu.

“Sudah gila kau, Bung! Yakin kau!?” Ujar saya. Ekspresi wajahnya terlihat sangat yakin. Saya bahkan seperti bisa lihat eksistensi api semangat yang berkobar dalam dirinya. “Kabar mengenai pemberontakan di Batavia juga belum mereda, Bung! Jika kita mulai sekarang kita akan celaka!” Saya tambahkan ucapan saya sambil gemetaran.

“Saya sangat yakin dan saya tidak gila. Bukankah itu suatu kehormatan Bung, temanmu ini ditunjuk untuk pimpin pasukan?!” Ujar dia seraya menepuk-nepuk pundak saya. Orang konyol, sepertinya dia tidak lihat wajah saya yang sudah memucat dan kuku jari saya yang sudah memutih. Sejujurnya saya takut, takut sekali. Sebenarnya saya senang teman saya ini dipercaya jadi pemimpin pasukan, tapi saya sudah muak lihat pertumpahan darah dimana-mana yang banyak memakan korban dari kalangan pribumi termasuk bapak saya. Saya takut, kemampuan kami pribumi belum cukup untuk melawan koloni Belanda. Apalagi semenjak ada kabar burung mengenai pemberontakan etnis Cina di Batavia, orang-orang itu pasti makin waspada.

Tapi sayangnya pemikiran kami tidak sejalan. Kesungguhannya dan ketakutan saya menjadi perbedaan yang sangat kontras dalam ruang kecil ini. “Tenang saja, kami akan mulai saat semuanya sudah mereda. Kau sebagai sahabat saya harus ikut ya, Bung!” Ujarnya lagi.

Tidak, tidak. Hati saya terus berkata tidak pada hari itu. Tetapi entah bagaimana hari ini, hari dimulainya pemberontakan yang dia pimpin, saya berdiri di antara pasukan yang sudah dia kumpulkan. Dia tidak berhenti membujuk saya untuk ikut. Mau bagaimanapun, dia ini sahabat karib saya, saya tak enak hati bila terus menolak.

Pasukan sudah dia siapkan matang-matang, gabungan antara etnis Jawa dan Cina. Dengan kemampuan silat miliknya, dia ajarkan beberapa gerakan penting pada pasukannya. Walaupun saya juga tak yakin jurus silat itu bisa melawan senjata canggih pasukan Belanda. Kami mulai perjalanan malam-malam, berbekal senjata sederhana yang tak sebanding dengan milik musuh kami berjalan dengan hati-hati. Tapi yang buat saya kagum, kawan saya si Kapiten Panjang ini pimpin kami dengan pasti. Sungguh tak saya sangka, persiapan dia dalam perlawanan ini cukup matang. Strategi sudah dia siapkan, bahkan dia buat beberapa rencana. Dengan strategi buatannya saya cukup yakin kami bisa menang.

Tapi harusnya saya ikuti kata hati saya yang pertama. Pertarungan kami melawan Belanda tak berlangsung baik. Satu persatu pasukan kami jatuh setelah terkena peluru panas milik musuh. Tapi Pan Jiang teman saya ini maju begitu pasti, seperti tak kenal takut. Dia berhasil hantam beberapa orang belanda. Sedangkan saya masih atur napas. Bersimpuh di bawah pohon besar sambil bawa laras panjang. Napas saya terengah, jantung saya berdetak hebat. Tapi saya tak mau kalah, saya harus ikut berjuang bersamanya.

Saya ikut dia hantam musuh, ternyata jurus silat yang dia ajarkan cukup berguna di medan perang. Dia serang musuh seperti orang gila. Meski musuh kerap menembakkan senjata pada kami, dia tak gentar menghadapi mereka. 

Pasukan kami hanya tersisa sedikit. Beberapa orang sudah kabur begitu perlawanan hebat berlangsung. Teman-teman kami banyak yang mati, orang-orang bergelimpangan di jalanan. Sepatu butut saya sekarang dihiasi warna merah. 

Tapi Pan Jiang yakinkan saya untuk terus berjuang. “Kita tak boleh sia-siakan nyawa teman-teman kita yang mati, Bung! Cepat bantu saya!” Entah mengapa kalimat dia itu membuat saya semakin ingin maju. 

Namun realita memang tak seindah mimpi. Pasukan kami habis, hanya tersisa segelintir orang. Kami terdesak, Pan Jiang bahkan kehabisan strategi. Teman-teman kami banyak yang ditangkap, mayat-mayat semakin banyak bergelimpangan di jalanan. Tidak, harusnya tidak seperti ini. Kami sudah kalah.

Pan Jiang yang seperti dikejar realita menjadi panik. Belanda mulai targeti dia sebab dia pemimpin kami, saya pun tak bisa berbuat apa apa. Dia yang dihantui rasa tanggung jawab melarikan diri ke sungai Garang. Saya berniat ikuti dia, tapi sayangnya kaki saya dihantam laras panjang Belanda. Peluru panas juga ditembakkan pada saya. Saya berteriak, “Pan Jiang! Terus lari! Jangan sampai tertangkap!”

Naas, dia yang kepalang panik memutuskan untuk menceburkan dirinya ke sungai Garang. Saya berteriak memanggil namanya. “Pan Jiang! Pan Jiang! Kapiten Pan Jiang!” Sayangnya tak ada jawaban. Saya yang tak berdaya karena dibebani rasa takut pasrah saja ketika diseret paksa oleh Belanda. Apalagi dengan kondisi luka menganga di kaki saya. Saya menangis, menangis kencang sekali. Kapiten Pan Jiang sahabat saya telah gugur di medan perang.

Saya dan pasukan yang tersisa diasingkan ke sebuah daerah di bagian timur kota Semarang. Bahkan dibuat pasukan khusus untuk mengawasi kami, orang-orang Cina yang tertangkap. Beberapa orang yang beruntung melarikan diri, dari yang saya dengar mereka ikut dengan pasukan Trunojoyo, sayangnya saya bukan termasuk orang-orang yang beruntung itu.

Saut-saut banyak orang yang salahkan Pan Jiang, tapi buat saya tindakan dia yang berani sungguh hebat dan pasti akan tercatat dalam sejarah, meninggalkan rasa bangga bagi bangsa kami. Betapa gigihnya dia pimpin kami walau saya, sahabatnya sendiri pesimis akan perang ini. Gelar kapiten itu memang cocok disematkan padanya. Semoga banyak orang yang bisa meneruskan perjuangan kami. Bagaimana nasibnya sekarang saya juga tidak tahu, semoga dia tidak mati dan masih meneruskan perjuangannya dimanapun itu.

Saya dengar dari orang-orang luar, tempat awal perjuangan kami sekarang dinamai dengan nama dia. Daerah itu sekarang bernama Panjangan. Nama itu menjadi sebuah tanda perjuangan bangsa yang dipimpin oleh seorang kapiten hebat pernah dimulai.(*)

Oleh Maritza Putri Wulandari