Tradisi Memasuki Rumah Baru Masyarakat Batak Toba

Orang Batak Toba memang dikenal dengan tradisi yang unik dan khas. Salah satunya yaitu  tradisi memasuki rumah baru atau yang dalam bahasa Batak disebut Mamongoti Bagas. Kata “mamongoti” berasal dari “bongoti” yang berarti membuka, sedangkan “bagas” berarti rumah. Tradisi ini diadakan ketika memasuki rumah yang baru di daerahku, yaitu di kota Pematangsiantar. 

Tradisi Mamongoti Bagas ini menyiratkan nilai-nilai kearifan lokal seperti ucapan syukur, kerukunan, dan kedamaian. Selain itu, tradisi ini juga menjadi momen untuk mempererat hubungan sosial kami sesama anggota keluarga, kerabat, teman-teman, dan warga-warga di sekeliling kami.

Tradisi ini merupakan tradisi yang sangat penting bagi kami sebagai orang Batak, karena bagi kami, rumah bukanlah sekadar tempat untuk tinggal dan berdiam diri, melainkan sebagai titik awal suatu impian atau cita-cita yang paling diprioritaskan dalam hidup kami. Rumah adalah sebuah kebutuhan, sesuatu yang sangat didambakan, tempat untuk bernaung, tempat untuk berlindung, dan sebagai tempat memulai segala aktivitas dan keberangkatan, serta menjadi tempat bagi keluarga yang pulang mencari nafkah dan mengumpulkan rezeki dari pekerjaannya agar dapat dinikmati (dihalashon) oleh seluruh anggota keluarga.

Pada suatu hari, aku, Ayah, Ibu, dan adikku sedang berlibur ke rumah ompung (ompung artinya kakek-nenek dalam bahasa Batak) dari silsilah keluarga ayah, untuk berkumpul bersama kerabat kami. Rumah ompung jaraknya tidak jauh dari rumahku, hanya memakan waktu kurang lebih sekitar setengah jam dari kota Pematangsiantar. 

Karena jarak yang cukup dekat itulah, aku dan keluargaku cukup sering berkunjung ke sana jika tidak dalam situasi sibuk, apalagi saat libur panjang. Karena jarak rumah sebagian kerabat lainnya letaknya tergolong jauh, mereka terkadang hanya sempat berkunjung ketika libur panjang saja.

Malam itu pun tiba, kami sedang mengadakan perjamuan di rumah ompung bersama dengan para kerabat kami. Sambil menyantap makanan kami, beberapa anggota keluarga kami memulai percakapan. Topik yang dibicarakan saat itu tidak lari dari seputar adat istiadat Batak Toba. Salah satu yang menjadi topik pembicaraan kami yaitu tradisi Mamongoti Bagas.

”Perlu kalian ketahui, Mamongoti Bagas bukan hanya sebatas tradisi, tapi juga memiliki makna yang mendalam, lo. Banyak makna yang bisa kita ambil dari tradisinya, yaitu menunjukkan rasa syukur kita kepada Tuhan kita, mempererat hubungan sesama warga, dan melestarikan kebudayaan kita ini, kebudayaan Batak Toba,” kata ompung yang memulai percakapan.

”Kita… sebagai orang Batak, tradisi Mamongoti Bagas harus kita pertahankan biar bisa kita wariskan kepada generasi kita yang akan datang karena tradisi ini penting kali untuk mempertahankan nilai-nilai budaya dan identitas kita sebagai orang Batak,” pesan Ompung Boru (artinya “nenek” dalam bahasa Batak) kepada kami pada saat acara keluarga. “Baik, Ompung,” ucap kami serempak dan menyimak perkataan Ompung dengan serius.

Sambil menyantap makan malam kami dengan nikmat, percakapan pun berlanjut.

“Bayangkan jika kita tidak mewarisi adat istiadat Batak kita ini, nanti anak maupun cucu-cucu kita nanti jadi nggak tahu apa itu Mamongoti Bagas,” Kata ayah. Kami pun sejenak terdiam mendengarnya.

”Kalau sempat mereka nggak tahu apa itu Mamongoti Bagas, udah nggak tahu lagilah aku mau bilang apa,” kata Bou (artinya merujuk pada adik ayah yang perempuan). 

“Kalau mereka nggak tahu, yang ada malah kebingungan, Bou. ‘Mamongoti Bagas? Apa itu? Kayak gitu pula nanti mereka heheh…,” ujarku dengan nada sedikit bercanda.

Seketika kami semua tertawa. Untungnya, kami pun sudah menyelesaikan makan malam kami.“I do. Pas ma i!” (terjemahan: Iya. Benar itu!) balas salah seorang sepupuku.

Saat itu sedang dalam suasana tahun baru. Malam itu merupakan malam yang dingin, namun dinginnya malam itu tak terasakan oleh kami, seakan dapat dikalahkan oleh hangatnya keluarga. Di ruang tamu rumah nenek yang tidak begitu luas itu, disitulah kami sekeluarga berkumpul dan sangat menikmati percakapan bersama-sama.

Tabo na i na marpungu i, dang i?” (terjemahan: berkumpul itu menyenangkan sekali, iya kan) tanya Bou kepada kami.

I do atong, kayak gini kan enak bisa ngumpul sama-sama ma hita di sini dengan sesama anggota keluarga, bisa mekkel (artinya: tertawa), margait (artinya: tertawa), mangoloi (artinya: berbicara),jawab Bapa Tua (kakak lelaki ayah) dengan semangat.

Dari sinilah aku menyadari bahwa betapa pentingnya adat-istiadat dan kebersamaan itu, apalagi kebersamaan terhadap sesama anggota keluarga. Adat-istiadat selalu erat kaitannya dengan kebersamaan, karena tradisi-adat istiadat merupakan kebudayan yang melibatkan aktivitas sosial atau boleh dikatakan melibatkan manusia satu dengan yang lainnya. Jadi, adat istiadat dan kebersamaan di daerah kita harus kita lestarikan, agar tidak termakan oleh kemajuan zaman.(*) 

Oleh Emmaria Hillary Simanjuntak