Dewasa ini, pulang menjadi momen yang paling di nanti-nanti. Pulang ke rumah dan beristirahat sejenak dari hiruk pikuk kehidupan perkuliahan dan berkumpul bersama orang-orang tercinta yang aku tinggalkan untuk mengenyam pendidikan di tanah perantauan. Hari libur kuliah untuk pulang menjadi perhitunganku sehari-hari melalui coretan di atas kalender yang tampaknya agak usang terlapis debu. Apalagi bagiku yang berasal dari luar provinsi, momen untuk pulang adalah momen yang hanya terjadi satu semester sekali dan luar biasa untuk dinanti.
Asalku dari Bandung, ibu kota priyangan yang begitu banyak dikenal oleh orang melalui berbagai macam ciri khasnya. Jika banyak orang kenal tempat di Bandung itu adalah Braga, Asia Afrika, Dago, Lembang, Dipati ukur maka tempat tinggalku jauh dari itu. Aku tinggal di daerah timur Kota Bandung yang letaknya dekat dengan perbatasan kabupaten yang hanya berjarak dua kilometer adanya. Sering kali ketika ada agenda yang mengharuskanku untuk berangkat ke pusat kota, tempat aku tinggal menjadi bualan orang-orang karena letaknya yang terkesan begitu ‘pojok’ dari kota dan mengingat perjalanan yang ditempuh sering begitu terhambat karena kemacetan yang ada.
Namun, di samping itu semua hanya sedikit rasa sesalku untuk menetap di daerah tempat yang aku tinggali sekarang. Mengingat daerah yang tempat aku tinggali sekarang masih meninggalkan nuansa asri karena letaknya tak jauh dari kaki Gunung Manglayang, tetapi dalam kurun waktu dua tahun semenjak aku meninggalkan kampung halamanku, banyak sekali lahan hijau seperti persawahan yang saat ini sudah dialihfungsikan menjadi ruko ataupun perumahan. Banyak orang bilang Ujung Berung saat ini menciptakan peradaban baru karena dari yang asalnya daerah yang didominasi oleh pesawahan sekarang berubah, perlahan-lahan bertransformasi menjadi daerah yang disulap serba ada seperti di pusat perkotaan.
Di samping era transformasi itu semua, nilai sejarahnya takkan hilang begitu saja. Sering kali momen liburan menjadi momen yang seru dan asyik untuk kembali bercerita tentang asal-usul tempat tinggal, mengenai bagaimana awal mula tempat ini merupakan lahan hijau yang kosong sampai saat ini berakhir seperti daerah pusat perkotaan yang serba ada. Cerita biasanya dimulai menjelang sore di Hari Sabtu ketika semua sanak saudara berkumpul di ruang keluarga. Tentunya, dengan seorang pencerita andal, yang sudah mempunyai banyak pengalaman dalam perjalanan hidupnya, yaitu Abah.
Abah biasanya bercerita dengan kaki yang agak diselonjorkan dan dengan tatapan mata yang berbinar, seolah apa yang akan diceritakan adalah nostalgia yang membuatnya hidup selama ini. Seolah ia menghargai tiap pembelajaran dari waktu ke waktu. Cerita di sore itu, dimulai dari pertanyaan yang agak ‘nyeleneh’ dari adik kami yang bernama Esa. Ia bertanya “Bah, kenapa sih nama tempat tinggal kita aneh banget? Ujung Berung itu bukan kaya nama tempat”, Abah terkekeh, mungkin pertanyaan itu sering ia jumpai, tetapi kali ini pertanyaan itu muncul dari cucunya sendiri.
Tak lama dari itu, Abah mulai menceritakan apa yang ia tahu mengenai asal-usul tempat ini. Ia menyebutkan, bahwa asal-usul Ujung Berung mempunyai banyak versi, tetapi yang kali ini akan ia ceritakan adalah versi turun temurun yang ia dapati sebelumnya. “Dulu sekali, jauh sebelum ada motor, mobil, atau jalan besar, Tempat yang kita tinggali ini masih hutan belantara. Sepi, penuh kabut, dan banyak burung hitam besar yang beterbangan waktu maghrib tiba…” mendengar deskripsi burung hitam yang beterbangan itu aku langsung memotong karena terbayang burung gagak di kepalaku “kaya gagak, Bah?” ujarku memotong pembicaraan. Abah langsung tersenyum dan menanggapi “Hampir. Cuman lebih besar, kaya rajawali. Orang-orang kampung dulu nyebutnya ‘berung’. Jadi kalau orang dari Bandung kota mau ke arah timur, terus ketemu tempat banyak ‘berung’, mereka bilang ‘Itu udah di ujung berung’”. Jelas Abah saat itu, aku dan Esa pun mengangguk perlahan sambil membayangkan bentuk dari Burung Rajawali yang Abah sebutkan tadi.
Esa terlihat berpikir keras, mencerna maksud dari jawaban Abah. Esa menambahkan pertanyaan untuk Abah “Jadi maksudnya ‘ujung’ dari tempat yang banyak burung itu ya, Bah?”, “Bener, Sa. Tapi ada lagi ceritanya. Dulu, orang tua di kampung ini percaya kalau tempat ini juga tempat larinya Dayang Sumbi, setelah kejadian Sangkuriang yang ada di cerita Gunung Tangkuban Parahu. Katanya, Dayang Sumbi lari ke timur, terus sembunyi di tempat paling ujung dari wilayah yang dikenal orang saat itu. Maka orang nyebut tempat itu ‘ujung’”. Abah menambahkan dengan cerita legenda yang aku pelajari dulu di bangku sekolah dasar.
Abah bilang di tanah Sunda banyak sekali cerita yang bersinggungan dari waktu ke waktu dan antara tempat ke tempat. Namun, yang pasti Ujung Berung bukan sekadar nama, tetapi merupakan bagian dari sejarah dan budaya. Tempat yang kita tinggali semua punya jiwanya dan Abah menjelaskan jika kita hidup disini bukan hanya sebagai penghuni belaka, melainkan juga sebagai penjaga, agar tempat tinggal kita selalu terpelihara jiwanya.
Suasana di ruang keluarga menjadi hening dan sunyi, antara aku dan Esa yang sedang mencermati kata-kata yang abah keluarkan tadi dan Abah yang tersenyum, seolah merasa apa yang ia sampaikan kelak akan menjadi pengalaman yang berarti untuk cucu-cucunya. Abah selalu menekankan “Jelema anu sok inget kanu sajarah asalna ti mana, eta oge nu bakal salamet dina kahirupanana,” yang artinya orang yang selalu mengingat dari mana ia berasal maka ia akan selamat di kehidupannya.
Dewasa ini, momen-momen itulah yang paling selalu aku ingin ulang. Rasanya aku ingin berlari pada tiap Sabtu sore ke pekarangan rumah dan mendengar abahku bercerita. Rasanya nyaman dan tenang sekali mendengar celoteh Abah dan tak lupa sisipan pesannya yang selalu ia ingatkan kepada cucu-cucunya. Terutama, mengenai sejarah asal-usul tempat tinggal yang menurut kita semua terdengar aneh, tetapi ternyata ada banyak cerita bersejarah di baliknya, yaitu Ujung Berung.(*)
Oleh Farah Hildy Fih