Batu Penunggu Desa Munjul

Di sebuah desa kecil yang tersembunyi di balik perbukitan dan rimbunnya hutan Kecamatan Kutasari, terdapat sebuah bumi perkemahan yang sering digunakan warga untuk kegiatan alam. Tempat ini tidak mewah, namun menawarkan ketenangan dan kesejukan yang sulit ditemukan di tempat lain. Di area parkir sederhana yang berada di sisi timur perkemahan, berdiri sebuah batu besar berwarna kelabu yang tampak biasa saja. Namun bagi masyarakat sekitar, batu itu bukan sekadar batu.

Warga menyebutnya Batu Penunggu. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan batu itu ada di sana, tetapi keberadaannya selalu jadi pusat cerita. Berkali-kali warga dan pihak desa mencoba memindahkannya untuk memperluas lahan parkir. Sudah digunakan alat berat, ditambah tenaga warga yang dikerahkan bersama-sama. Tapi setiap batu itu berhasil digeser, esok paginya selalu kembali ke tempat semula seolah tidak pernah dipindahkan.

Cerita tentang batu itu sudah lama mengakar di kalangan masyarakat. Konon, batu itu dijaga oleh sosok perempuan gaib yang tidak suka tempat itu diganggu. Sosok ini digambarkan sebagai makhluk yang halus namun memiliki kekuatan luar biasa. Dulu, ia adalah seorang pertapa yang menjaga tempat itu dari ancaman pada masa-masa gelap penjajahan. Ia mengorbankan dirinya dengan ilmu rawarontek yang membuat tubuhnya tidak bisa mati secara biasa, dan rohnya menyatu dengan batu tersebut.

Kepercayaan itu tidak datang dari ketakutan semata, melainkan dari pengalaman nyata yang sulit dijelaskan secara logika. Salah satunya terjadi saat sekelompok orang dari luar desa datang membawa rencana pengembangan kawasan menjadi tempat wisata alam yang lebih tertata. Mereka ingin membangun tempat parkir yang lebih luas dan rapi, dan batu itu dianggap menghalangi rancangan.

Hari pertama berjalan lancar. Batu berhasil digeser beberapa meter dengan bantuan alat berat. Tapi malam harinya, hujan turun sangat deras, angin berembus dari arah yang tidak biasa, dan suara-suara aneh terdengar dari hutan di sekitar lokasi. Tenda pekerja ambruk satu per satu meskipun cuaca sebelumnya cukup bersahabat.

Pagi harinya, semua orang terkejut karena batu yang sudah digeser itu kembali ke tempat asalnya. Tidak ada bekas lintasan, tidak ada tanda-tanda pemindahan. Seolah tidak pernah dipindahkan. Beberapa pekerja mulai merasa tidak nyaman dan menyarankan agar proyek dihentikan untuk sementara waktu. Namun seorang dari mereka mengalami kejadian yang jauh lebih ganjil.

Saat sarapan, ia tiba-tiba berdiri kaku dan berteriak dengan suara berat yang bukan suaranya sendiri. Matanya terbuka lebar, menatap kosong, dan dari mulutnya keluar kalimat, “Jangan ganggu tempat ini. Berikan sesajen, atau kalian semua akan kutuntut.” Setelah itu ia terjatuh dan tidak sadarkan diri. Ia baru bangun tiga hari kemudian tanpa mengingat apa pun.

Sesepuh desa akhirnya turun tangan. Ia mengatakan bahwa tempat itu dijaga oleh kekuatan yang tidak bisa dilihat mata. Dahulu kala, tanah itu adalah tempat bertapa dan tempat berlindung terakhir bagi para leluhur. Batu itu menjadi penanda, bukan penghalang. Maka dilakukanlah upacara kecil di tempat parkir, tepat di depan batu. Bunga tujuh rupa, dupa, dan makanan disusun rapi sebagai bentuk penghormatan.

Malam itu udara terasa tenang. Tidak ada hujan, tidak ada angin, tidak ada kejadian ganjil. Pekerja yang kesurupan mulai pulih keesokan harinya dan kembali berbicara seperti biasa. Meski ia tidak mengingat peristiwa itu, ia mengatakan sempat bermimpi tentang seorang perempuan berjubah putih yang duduk di depan batu dan menatapnya tanpa bicara.

Pihak desa akhirnya memutuskan untuk menghentikan rencana perluasan parkiran. Batu itu dibiarkan tetap berada di tempatnya. Sebuah papan kecil dipasang tak jauh dari situ bertuliskan “Batu Penunggu – Mohon Jangan Diganggu” sebagai pengingat bagi siapa pun yang datang ke bumi perkemahan.

Sejak saat itu, setiap ada kegiatan di lokasi perkemahan, para peserta selalu diberi arahan untuk tidak bersandar, menduduki, atau memindahkan batu tersebut. Bukan karena batu itu keramat dalam arti menakutkan, tetapi karena tempat itu adalah bagian dari sejarah desa yang tidak tertulis.

Beberapa pengunjung kadang melaporkan melihat sosok samar di pagi buta, berdiri dekat batu sebelum menghilang ke balik kabut. Tidak pernah terjadi hal buruk setelah itu, asalkan tidak ada yang mencoba mengganggu keberadaan batu tersebut. Ia bukan musuh, hanya penjaga yang ingin dikenali dan dihormati.

Bagi warga, batu itu bukan benda mati. Ia adalah saksi bisu dari masa lalu, pengingat akan adanya dunia yang tak kasat mata, dan pelindung yang diam namun nyata. Mereka percaya selama tidak dilanggar, penjaga itu akan tetap tenang, menjaga keseimbangan antara manusia dan yang tak terlihat.

Hingga kini, batu itu tetap berdiri kokoh di tempat parkir bumi perkemahan. Tak pernah lagi ada yang mencoba memindahkannya. Dan bagi siapa pun yang datang, kisah tentang batu itu akan selalu jadi bagian dari pengalaman yang tak terlupakan.(*)

Oleh Arya Duta Excel Sagita