Pada masa lalu yang jauh sebelum Pondok Gede menjadi wilayah padat penduduk seperti sekarang, tempat itu hanyalah kawasan hijau luas yang dipenuhi hutan kecil dan semak belukar. Tidak ada jalan besar, apalagi deretan rumah atau warung. Hanya ada beberapa keluarga petani yang menetap di sana secara turun-temurun, hidup dari hasil bumi dan sungai kecil yang mengalir tenang di balik pepohonan. Mereka membangun gubuk sederhana dari bambu dan kayu, hidup dalam harmoni dengan alam. Suara burung bersahutan setiap pagi, dan kabut tipis selalu menyelimuti tanah itu saat fajar menyingsing, seolah tempat itu berada di dunia yang berbeda.
Pada masa penjajahan Belanda, pemerintah kolonial mulai merambah ke daerah-daerah terpencil untuk membangun infrastruktur demi kepentingan ekonomi mereka. Salah satunya adalah jalan aspal panjang yang dirancang untuk menghubungkan Jakarta dengan daerah-daerah subur di timur. Pembangunan berjalan lancar, hingga suatu hari mereka sampai di titik yang kini dikenal sebagai “ujung aspal”. Anehnya, proyek jalan berhenti secara tiba-tiba di tempat itu, tanpa alasan yang jelas. Para pekerja dan insinyur yang sebelumnya giat, tiba-tiba menghilang tanpa jejak, meninggalkan alat-alat berat yang perlahan ditelan waktu dan hutan. “Aku lihat sendiri, Mbok,” ujar seorang ibu tua, Bu Marni, pada suatu malam ketika warga berkumpul. “Malam itu terdengar suara gerobak jalan sendiri. Tapi waktu kulihat keluar, kosong. Cuma jejak roda dan tanah yang gerak-gerak sendiri.” Suasana pun mendadak hening, hanya suara jangkrik yang berani bersuara.
Sejak saat itu, warga sekitar mulai menyebut tempat itu sebagai “Ujung Aspal” — bukan hanya karena jalan yang benar-benar berhenti mendadak, tetapi juga karena aura misterius yang menyelimutinya. Tak ada yang berani lewat sana saat malam tiba. Orang-orang berkata bahwa mereka melihat bayangan hitam tinggi di antara pepohonan, mendengar langkah-langkah berat di malam hari, dan mendapati jejak kaki besar di tanah meski tak ada siapa pun yang lewat. Anak-anak dilarang bermain ke sana, dan orang dewasa hanya melintas jika benar-benar terpaksa. Nama “Ujung Aspal” pun akhirnya lebih dikenal karena kisah-kisah ganjil itu daripada sekadar geografi.
Meski begitu, tidak semua orang percaya pada cerita mistis tersebut. Seorang pemuda bernama Rama, cucu dari seorang petani tua yang telah tinggal di sana sejak zaman kakek buyutnya, merasa penasaran dengan tempat itu. Berbeda dari orang-orang yang memilih menjauh, Rama justru tertarik pada rahasia yang tersembunyi di balik ujung jalan itu. Ia merasa bahwa tempat itu bukan hanya menyimpan misteri, tapi juga potongan sejarah yang terlupakan. Suatu malam bulan purnama, ia memutuskan untuk pergi ke ujung aspal sendirian, hanya berbekal senter, air minum, dan semangat membara dalam dadanya. Saat ia pamit, ibunya menahan lengannya dan berbisik khawatir, “Ram, kamu serius? Ini malam Jumat, lho.” Rama tersenyum menenangkan, “Aku nggak bakal ngapa-ngapain kok, Bu. Cuma lihat sebentar. Kalau ternyata bener ada yang aneh, aku balik.” Dengan ragu-ragu, sang ibu melepaskannya pergi, dan Rama pun melangkah menuju ujung aspal yang selama ini hanya bisa ia bayangkan dalam cerita orang.
Saat Rama mencapai titik akhir jalan, ia mendapati tanah di depannya tampak berbeda—retak dan kering, namun terasa hangat ketika disentuh. Ia mulai menggali pelan-pelan dengan tangan kosong, berharap menemukan sesuatu. Beberapa menit kemudian, ia menyentuh benda keras berbentuk bundar. “Apa ini?” bisiknya sambil membersihkan tanah dari permukaannya. Setelah membersihkannya dari tanah, terlihat ukiran aneh di permukaannya, seperti simbol atau huruf kuno. Baru saja ia menyentuh batu itu dengan penuh rasa ingin tahu, tiba-tiba angin kencang berhembus dan pepohonan bergetar hebat. Rama terperanjat, dengan cepat ia langsung berdiri dan berteriak, “Siapa di sana?!” Namun, yang menjawab ialah suara seperti genderang kuno yang terdengar samar di kejauhan, disusul gemuruh tanah yang membuat Rama mundur beberapa langkah.
Keesokan harinya, Rama membawa batu itu ke rumah Ki Sanak, sesepuh desa yang dikenal memiliki banyak pengetahuan tentang sejarah dan hal-hal gaib. Ki Sanak menatap batu itu lama, lalu berkata pelan, “Ini bukan sembarang batu. Ini lambang perlindungan dari Kerajaan Tarumanagara. Mereka menyembunyikan sebagian wilayah dari penjajah, dan tanah ini adalah bagian dari kerajaan yang terlindungi.” Rama tertegun, ia tak menyangka bahwa tanah yang dianggap angker oleh semua orang ternyata menyimpan sejarah besar yang terlupakan oleh zaman.
Berita penemuan itu menyebar cepat. Warga desa yang sebelumnya takut mulai datang ke ujung aspal dengan rasa penasaran. Mereka mulai menggali dan menemukan pecahan tembikar, potongan batu yang menyerupai prasasti, bahkan sebuah sumur tua yang airnya tetap jernih meski telah tertutup tanah selama puluhan tahun. Para guru sekolah lokal mulai membawa murid-murid mereka ke sana untuk belajar sejarah secara langsung. Tempat itu yang dulunya dianggap sebagai daerah terkutuk, perlahan berubah menjadi sumber pengetahuan dan kebanggaan warga sekitar.
Pemerintah daerah akhirnya mengirim tim arkeolog dan sejarawan untuk meneliti lebih lanjut. Setelah beberapa bulan penelitian, mereka mengonfirmasi bahwa situs itu memang memiliki hubungan dengan peradaban kuno di masa Tarumanagara. Sebagian wilayah di sekitar Pondok Gede diduga pernah menjadi tempat penting dalam jalur pemerintahan atau perdagangan masa lalu. Penemuan ini mengubah pandangan semua orang, dan situs Ujung Aspal pun diresmikan sebagai cagar budaya yang dilindungi.
Meski kini jalan aspal telah diperpanjang dan kendaraan bisa lewat dengan mudah, nama “Ujung Aspal” tetap dipertahankan. Masyarakat menganggapnya sebagai simbol pertemuan antara masa lalu dan masa kini. Jalan itu tak lagi berakhir di sana secara fisik, tapi secara makna, ia tetap menjadi titik temu sejarah dan kehidupan modern. Rama pun diangkat sebagai duta budaya lokal, dan setiap tahun ia membimbing generasi muda untuk mengenal akar mereka lewat cerita dan peninggalan leluhur.
Kini, setiap akhir pekan, banyak pelajar dan wisatawan sejarah datang ke Pondok Gede untuk menyaksikan sendiri bekas sumur kuno, prasasti kecil, dan jalanan yang dulunya “berakhir tiba-tiba”. Mereka mendengarkan kisah Rama yang berani menembus ketakutan dan membangkitkan warisan yang terlupakan. Ujung Aspal bukan lagi tempat yang ditakuti, tapi dihormati. Sebuah pengingat bahwa setiap jengkal tanah punya cerita, jika kita cukup berani untuk mendengarkannya.(*)
Oleh Najwa Pritha Larasati