Legenda Kampung Gabus di Bekasi

Dahulu kala, jauh sebelum ramainya kendaraan dan gedung-gedung tinggi berdiri di Bekasi, terbentanglah rawa-rawa luas yang menghijau. Airnya tenang, menjadi rumah bagi berbagai jenis ikan air tawar, salah satunya adalah ikan gabus yang jumlahnya melimpah ruah. Di tepi rawa itu, hiduplah sebuah keluarga sederhana namun gagah berani. Ayahnya bernama Ki Jampang, seorang petani sekaligus pendekar silat yang disegani, Ibunya bernama Nyai Siti, seorang wanita lembut namun berpendirian teguh, dan putra tunggal mereka bernama Raden Surya.

Suatu senja, setelah membantu ayahnya di ladang, Raden Surya duduk termenung di tepi rawa, memperhatikan riuh rendah suara katak dan percikan air dari gerakan ikan. Tiba-tiba, Ki Jampang menghampirinya, duduk di samping sang putra sambil menghela napas panjang. “Melamun jauh nampaknya, anakku.” “Tidak, Ayah. Hanya saja, aku heran. Mengapa tempat ini dinamakan Kampung Gabus? Padahal, kita tidak hanya melihat ikan gabus di sini, ada lele, sepat, dan banyak lagi.”

Ki Jampang tersenyum bijak, mengusap rambut putranya dengan penuh kasih. “Ada cerita di balik nama itu, Nak. Dahulu kala, sebelum banyak orang tinggal di sini, rawa ini adalah ‘jantung’ kehidupan. Airnya menghidupi tumbuhan dan hewan. Dan di antara semua ikan, gabuslah yang paling mendominasi.” “Mengapa begitu, Ayah?” “Gabus adalah ikan yang istimewa. Ia kuat, mampu bertahan dalam kondisi air yang minim sekalipun. Ia juga gesit dan berani. Masyarakat dulu melihat kegigihan ikan gabus ini sebagai cerminan semangat hidup.”

“Benar kata Ayahmu, Nak. Selain itu, konon katanya, di rawa ini pernah hidup seekor gabus yang sangat besar, ukurannya melebihi batang pohon kelapa. Ia adalah ‘penjaga’ rawa ini. “Raden Surya membelalakkan matanya, penuh rasa ingin tahu. “Penjaga? Maksud Ibu?” “Ya. Gabus raksasa itu dipercaya memiliki kekuatan gaib. Ia akan muncul jika ada bahaya mengancam keseimbangan alam di sekitar sini. Masyarakat dulu sangat menghormati keberadaannya.”

“Bahkan, ada cerita turun-temurun bahwa ketika kampung ini pertama kali didirikan, para sesepuh bermimpi didatangi sosok berjubah putih yang menjelma menjadi ikan gabus emas. Ikan itu berpesan agar tempat ini dinamakan ‘Gabus’ sebagai pengingat akan pentingnya kegigihan, keberanian, dan menjaga kelestarian alam.” “Jadi, nama Kampung Gabus bukan hanya karena banyaknya ikan, tapi juga mengandung makna yang dalam?” “Tepat sekali, Nak. Nama adalah doa. Dengan menamai tempat ini ‘Gabus’, para leluhur berharap agar setiap orang yang tinggal di sini memiliki semangat seperti ikan gabus: kuat, gigih, dan mampu bertahan dalam segala kondisi. Selain itu, kita juga diingatkan untuk selalu menjaga alam, seperti halnya gabus raksasa yang menjaga rawa ini.”

“Dan lihatlah sekarang, Nak. Meskipun zaman telah berubah, semangat kegigihan dan keberanian itu masih terasa di kampung kita. Banyak pemuda di sini yang mempelajari silat, mewarisi semangat para jawara. Mereka menjaga kampung ini dengan keberanian dan kehormatan. “Raden Surya mengangguk-angguk, mulai memahami makna di balik nama kampungnya. Ia memandang hamparan rawa yang mulai gelap ditelan malam dengan pandangan yang berbeda. Bukan hanya sekadar tempat mencari ikan, tetapi juga saksi bisu sebuah harapan dan semangat yang diwariskan dari generasi ke generasi. “Aku mengerti sekarang, Ayah, Ibu. Kampung Gabus bukan hanya nama, tapi juga sebuah amanah untuk terus menjaga semangat dan kearifan para leluhur.”

Ki Jampang dan Nyai Siti tersenyum bangga melihat pemahaman di mata putra mereka. Mereka tahu, semangat Kampung Gabus akan terus hidup dalam diri Raden Surya dan generasi selanjutnya. Malam itu, di tepi rawa yang tenang, legenda Kampung Gabus terus berbisik, mengingatkan akan pentingnya kegigihan, keberanian, dan harmoni dengan alam.

Kampung Gabus merupakan kampung yang terletak di Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Dulu Kampung Gabus terkenal sebagai lumbung padi. Kondisinya diapit oleh dua sungai utama, Kali Bekasi dan Kanal Bekasi Laut. Ditumbuhi rawa dan sawah.  Masyarakat Kampung Gabus mayoritas didominasi oleh masyarakat asli Betawi yang sangat menjunjung tinggi rasa persaudaraan dan silaturahmi. Mereka memiliki kegiatan keagamaan dan budaya yang mempererat tali persaudaraan. Kampung Gabus memiliki tiga Desa yaitu, Desa Gabus Sriamur, Gabus Srimukti, dan Gabus Srijaya.

Kampung Gabus juga memiliki julukan sebagai Kampung Jawara atau tempat kelahiran para pendekar silat. Sejak dulu, banyak tokoh-tokoh sakti dan ahli bela diri yang berasal dari kampung ini. Ini mencerminkan masyarakatnya yang mempunyai karakter keras atau pemberani. Akan tetapi, ada juga sebagian lain yang mengartikan kata “Jawara” dengan makna lain.

Julukan Kampung Jawara ini disebut telah eksis sejak lama. Reputasi ini sangat kuat sehingga Kampung Gabus disegani di wilayah Bekasi dan sekitarnya. Konon, hal ini terjadi karena saat itu banyak lahir para jawara di era pendudukan asing. Dalam hal ini, mereka ikut mengangkat senjata dan berjuang untuk merebut kemerdekaan Indonesia dari bangsa penjajah. Adapun golok sendiri yang menjadi senjata tradisional khas Betawi banyak dipakai Jawara kala itu. Pada tiap tapal batas kampung selalu berdiri gagah menara golok sebagai simbol.

Organisasi masyarakat bernama Jajaka Nusantara (Jawara Jaga Kampung) juga aktif di sini, beranggotakan para pendekar silat dari berbagai padepokan (perguruan silat), terutama dari Padepokan Satria Panulung. Kampung Gabus melahirkan tokoh-tokoh penting, salah satunya adalah Haji Nausan. Beliau adalah kepala daerah Bekasi pertama setingkat wali kota setelah kemerdekaan dan dikenal sebagai sosok yang berpendidikan dan disegani. Nama beliau kini diabadikan menjadi nama jalan di sana.

Di masa lalu, Kampung Gabus juga dikenal dengan citra negatif yang terkait dengan premanisme dan tingkat kriminalitas yang cukup tinggi. Warganya dikenal keras dan cenderung kasar .Namun, seiring berjalannya waktu, citra ini perlahan berubah. Kini, Kampung Gabus dikenal sebagai kampung yang lebih aman, tentram, dan nyaman.(*)

Oleh Valiza Maharani Putri