Pada suatu waktu di tanah Kendal yang hijau dan permai, hiduplah seorang gadis rupawan bernama Nyai Damariyah. Ia memiliki paras rupawan bagai rembulan purnama yang bersinar tenang di malam hari, memantulkan kelembutan dan kedamaian. Ia dikenal juga dengan sebutan Sri Pandan karena sering terlihat dekat dengan pohon pandan yang tumbuh lebat di halaman rumahnya. Kecantikannya tak hanya memikat mata, namun juga menenangkan hati, bak embun pagi yang menyapa dedaunan. Karena parasnya itu, dua pemuda gagah pengikut setia Pangeran Sambong bernama Bagus Wuragil dan Denowo terpikat oleh pesonanya. Persaingan di antara keduanya pun terjadi cukup sengit, bukan hanya demi cinta, tetapi juga demi kehormatan dan harga diri.
Kedua pemuda itu nampak sering berlomba untuk memberikan perhatian mereka kepada Damariyah. Bagus Wuragil mengirimimkan bunga melati yang harum, sementara Denowo menyanyikan tembang Jawa di bawah jendela rumahnya. Namun bagi Damariyah, cinta bukanlah perlombaan yang harus dimenangkan, tetapi perasaan suci yang perlu dijaga agar tidak melukai hati siapa pun. Hingga pada suatu malam, ia termenung di beranda rumah, ditemani cahaya remang dari lampu minyak. “Aku tak ingin menjadi penyebab retaknya persahabatan mereka,” gumamnya lirih sembari matanya menatap bintang-bintang yang berkelip. Ia sebenarnya merasa cukup terpikat pada Bagus Wuragil, namun Damariyah enggan menyakiti Denowo yang telah lama bersahabat dengan Wuragil.
Dalam kegundahannya, Damariyah memutuskan untuk pergi dari desa demi menjernihkan hati dan pikiran. Ia sementara tinggal di rumah sahabatnya, Nyai Wungu, yang tinggal tak jauh dari istana Pangeran Sambong. Nyai Wungu, adalah seorang perempuan bijak dan lembut hatinya yang menyambut Damariyah dengan pelukan hangat. “Tenangkan dirimu di sini, Nyai. Biarlah waktu yang memberi jawaban,” ujarnya menenangkan.
Hari demi hari mereka lewati dengan bercocok tanam, meracik jamu, dan merenung dalam keheningan malam. Namun kedamaian itu tak bertahan lama, sebab berita keberadaan Damariyah menyebar dan membuat para pemuda kembali datang mencarinya.
Pangeran Sambong yang bijak akhirnya turun tangan. Ia memanggil Damariyah dan berkata, “Jika engkau ingin kedamaian yang sejati, pergilah ke timur, carilah Ki Ageng Sidomukti.”
Damariyah, dengan penuh hormat, menundukkan kepala dan menjawab, “Hamba akan menurut, Gusti.”
Ia pun memulai perjalanan, menapaki jalan setapak yang membelah hutan dan sawah, diiringi desir angin dan kicau burung. Setiap langkahnya terasa seperti membuka lembaran baru dalam hidupnya. Ia yakin bahwa jalan yang diberikan padanya bukanlah sebuah kebetulan, melainkan memang takdir yang harus dijalani dengan tekad dan kesabaran.
Kedatangan Damariyah disambut dengan ramah oleh Ki Ageng Sidomukti. Lelaki tua yang jernih matanya itu merasa iba pada kisah hidup Damariyah yang harus menanggung luka karena cinta dan pilihan. Ia berkata, “Cucilah beras ini di sungai, dan ikuti ke mana air cucian itu mengalir. Di sanalah hatimu akan menetap.”
Tanpa banyak tanya, Damariyah melakukan perintah tersebut dengan hati yang ikhlas. Ia kemudian mencuci beras di tepian sungai hingga air lerinya mengalir lembut mengikuti arus. Ia mengikuti aliran itu, menyusuri sungai seakan mengikuti suara takdir yang membisik di telinganya.
Aliran air itu akhirnya berhenti di sebuah tempat yang damai, di bawah dua pohon pandan yang rindang dan sebuah pohon Lo yang menjulang tenang. Hati Damariyah merasa tenteram, seolah alam semesta berbicara, “Di sinilah kau ditakdirkan untuk tinggal.”
Lalu ia mulai membangun gubuk kecil di tempat itu, hidup sederhana dengan menanam rempah dan membantu warga sekitar. Warga pun mulai mengenalnya dan menghormatinya karena kebijaksanaannya dalam menyelesaikan masalah dan memberi nasihat. Tempat itu kemudian dikenal sebagai desa Weleri, dari kata “leri”, air cucian beras yang membawa Damariyah ke sana. Sementara pohon Lo di sekitar tempat tinggalnya menjadi cikal bakal nama desa Penyangkringan.
Nyai Damariyah, yang kini disebut Nyai Pandansari, hidup dengan penuh kesederhanaan namun penuh makna. Ia mengajarkan nilai kebersamaan dan kasih sayang tanpa pamrih. Setiap pagi, suara doa dan tembang lirihnya mengalun menyatu dengan alam, menjadi pelipur lara bagi siapa pun yang mendengarnya. Ia menjadi penolong bagi anak-anak yatim dan para janda, seperti pelita di tengah gelapnya malam. Banyak warga datang untuk meminta nasihat dan berobat, sebab Nyai juga menguasai ramuan tradisional dan pengobatan. Sosoknya menjadi lambang keibuan, tempat bersandar saat badai kehidupan datang menerpa.
Tahun demi tahun berlalu, dan Nyai Damariyah semakin mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Ia menghabiskan hari-harinya dalam tapa dan semedi di dekat pohon pandan, menyatu dengan suara angin dan gemercik air sungai. Konon, ia mencapai tingkatan spiritual yang tinggi hingga dapat berbicara dengan alam dan hewan. Di ujung hidupnya, ia memilih menyendiri di hilir sungai Damar, menghadap Laut Jawa. Di tempat itu, ia menghembuskan napas terakhir dalam keheningan yang suci. Warga yang menemukannya berkata, “Ia pergi seperti embun pagi, diam-diam namun menyisakan kesejukan yang abadi.”
Masyarakat Weleri percaya bahwa Nyai Damariyah kini menjadi roh penjaga yang melindungi mereka dari marabahaya. Setiap tahun, warga mengadakan upacara sedekah bumi di sekitar sungai dan makamnya, membawa bunga dan sesaji sebagai bentuk hormat. Anak-anak didongengi kisah Nyai Damariyah sebelum tidur, agar tumbuh dengan nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan. Ia tidak hanya dihormati, tetapi juga dicintai, sebab warisannya bukan emas atau permata, melainkan keteladanan hidup. Nama Nyai Damariyah abadi dalam cerita turun-temurun masyarakat. Ia hidup dalam hati masyarakat, meski raganya telah menyatu dengan tanah.
Seiring kemajuan zaman, kisah Nyai Damariyah tetap diajarkan di sekolah-sekolah sebagai bagian dari pendidikan karakter. Guru-guru menggunakan cerita itu untuk menanamkan nilai kejujuran, keberanian, dan pengorbanan. “Nyai Damariyah bukan tokoh fiksi, tapi sejarah yang hidup dalam darah Weleri”.
Cerita yang diwariskan turun-menurun ini tak pernah kehilangan maknanya. Ia seperti sungai yang terus mengalir, memberi kehidupan pada setiap jiwa yang disentuhnya.(*)
Hingga kini, tempat pertapaan Nyai Damariyah masih terawat, dijaga oleh warga dengan sepenuh hati. Mereka percaya bahwa selama tempat itu terjaga, Weleri akan selalu diberkahi ketentraman dan kemakmuran. Pada malam-malam tertentu, suara tembang lirih konon masih terdengar dari arah sungai. Apakah itu suara angin, atau Nyai yang masih melantunkan doa bagi desanya, tak ada yang tahu pasti. Namun semua sepakat, bahwa ia belum benar-benar pergi. Ia tetap hidup, di antara pepohonan pandan, gemericik air, dan hati orang-orang yang mencintainya.
Oleh Annafisa Indrianuari Anggraeni