Warisan dari Air Mata dan Pandan Wangi

Di sebuah daerah yang kini dikenal sebagai Pudakpayung, hiduplah seorang tokoh bernama Senopati Sabuk Alu. Ia dikenal bijaksana dan disegani. Seorang tokoh besar yang dihormati karena kebijaksanaannya, tengah melakukan pengembaraan dan menetap sementara di kawasan tersebut. Ia memberi nama-nama pada dukuh-dukuh yang ia lewati dan bentuk, sebagai tanda ia pernah menanamkan jejak di sana. “Tempat ini akan kusebut Pucung. Yang ini Nduwur. Dan yang sana, Talun,” ucap Senopati sambil menunjuk ke arah bentangan tanah subur.

Namun, waktu pengembaraan telah tiba kembali, sebelum beranjak pergi, Senopati Sabuk Alu menyerahkan kekuasaan lokal kepada -Kiai Tayem dan istrinya, Nyai Tayem, pasangan sepuh yang dikenal arif, yang menetap di Dukuh Pucung. “Mulai hari ini, kekuasaan daerah ini aku titipkan padamu, Kekuasaan ini bukanlah harta. Ini adalah amanah, -Kiai Tayem,” ucap Senopati dengan penuh wibawa.

”InsyaAllah, akan kami jaga dan rawat dengan sepenuh hati, dengan niat untuk memakmurkan tanah ini,” jawab -Kiai Tayem sambil menundukkan kepala.

Sebagai wujud pengabdian, -Kiai Tayem lalu membuat sebuah sendang besar yang diberi nama Sendang Gede, yang airnya jernih mengalir, dan tempat itu menjadi pusat kehidupan masyarakat sekitar.  Di sanalah -Kiai Tayem hidup bersama istrinya dan seorang cucu dari putrinya, Nyai Kopek, yang menikah dengan Ki Ronggo – seorang punggawa Keraton Solo. Sang cucu sangat disayangi dan bahkan mendapat hadiah seekor ikan mas dari -Kiai Tayem. 

Suatu hari, -Kiai Tayem memberi hadiah seekor ikan mas pada cucunya – putri dari Nyai Kopek, anak kandungnya. Ikan itu diletakkan di Sendang Gede dan menjadi sumber kebahagiaan bagi si gadis kecil. 

“Lihat, Nak, ikan ini kakek pelihara khusus untukmu, Aku beri kamu ikan ini, simbol kasih sayang kakek. Rawatlah ikan itu.” kata -Kiai Tayem sambil menaruh ikan ke dalam air jernih sendang.

”Terima kasih, Kek! Aku akan menjaganya baik-baik,” jawab sang cucu sambil tersenyum lebar.

Hari-hari berlalu, Nyai Kopek menjalani hidup sebagai istri dari Ki Ronggo, seorang punggawa Keraton Solo yang berwibawa. Namun nasib berkata lain: Ki Ronggo wafat tak lama setelah menerima tongkat kekuasaan dari mertuanya. Beban tanggung jawab pun kini jatuh pada pundak Nyai Kopek, yang harus menjadi pemimpin sekaligus ibu tunggal bagi anak perempuannya.

Sambil menjalani hari-hari penuh beban, Nyai Kopek dan anaknya sering berjalan menyusuri dukuh, mengunjungi masyarakat, dan sesekali masuk hutan mencari ketenangan. Dalam satu perjalanan, mereka bertemu seekor anak harimau putih yang tampak lemah tak berdaya telantar di hutan sendirian dan akhirnya memutuskan untuk merawatnya, layaknya anak sendiri. 

“Kasihan kamu sendirian di hutan,” lirih Nyai Kopek sambil menggendong harimau kecil itu.

”Bu, harimau ini lucu. Boleh kita bawa pulang?” tanya sang putri polos.

”Boleh, Nak. Tapi harus kita rawat baik-baik.”

Harimau kecil itu diberi nama Putih. Seiring berjalannya waktu, harimau itu tumbuh besar bersama anak Nyai Kopek dan mulai menunjukkan sifat liarnya. Suatu hari, karena lapar dan tidak sabar menunggu jatah makannya, harimau itu mencakar sang putri. Dengan marah bercampur panik, Nyai Kopek memukul paha harimau itu dengan centong kayu, membuatnya pincang. “Kamu… tega mencederai adikmu!” bentak Nyai Kopek. Harimau itu meringis, dan sejak hari itu, ia berjalan pincang dan menjauh dari keluarga Nyai Kopek.

Hari terus bergulir, Putri Nyai Kopek tumbuh menjadi gadis muda yang anggun. Putri pergi ke Sendang Gede untuk melihat ikan mas kesayangannya. Tapi, betapa terkejutnya dia saat mendapati ikan itu hilang. Setelah mencari ke sekeliling, ia menemukan duri ikan terbakar. “Tidak mungkin ini… ini ikan masku!” tangisnya pecah. “Kenapa, kenapa ada yang tega membakar ikan milikku?” tangis sang putri. 

Dengan sedih, ia mengubur duri tersebut di tempat sunyi yang disebut Makam Krawu Jantung dan menanam pandan wangi sebagai penanda ikan tercinta. “Ikan ini satu-satunya teman yang selalu menemaniku sejak kecil,” lanjutnya sambil menabur tanah pada kuburan kecil itu.

Beberapa bulan kemudian, pandan yang ditanam tumbuh dan berbunga. Aneh tapi nyata, bunga pandan itu menyerupai bentuk payung dan disebut ‘Pudak’. Karena itu, tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama Pudakpayung. Kata “Krawu Jantung” sendiri berarti pusat atau titik tertinggi dari wilayah itu.

“Ia meninggal dengan luka yang tak terlihat,” kata seorang sesepuh. “Tapi dari air matanya, tumbuhlah bunga yang tak pernah kita lihat sebelumnya.”

Setelah tragedi itu, sang putri meninggal dunia lebih dahulu daripada ibunya. Sebagai bentuk penghormatan dalam tradisi bersih sendang, masyarakat setempat hingga kini membakar ayam jago sebagai simbol pengganti matinya ikan mas kesayangan sang putri. Cerita ini terus diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bentuk penghargaan terhadap sejarah dan nilai kasih sayang.

Sebagai bentuk penghormatan, setiap tahun dalam ritual bersih sendang, masyarakat membakar ayam jago sebagai simbol menggantikan matinya ikan mas kesayangan gadis itu. Hingga kini, legenda itu tetap hidup di hati masyarakat Pudakpayung, menjadi pelajaran bahwa kasih, kehilangan, dan cinta sejati akan selalu meninggalkan jejak dalam bentuk yang tak terduga. (*)

Oleh Aura Diva Nurul Hidayah