Pagi itu, seorang calon guru berdiri di depan kelas praktik. Tangan bergetar, tetapi matanya mantap menatap deretan siswa yang sedang menyimak. Ia tahu bahwa di balik rasa gugup ada semangat yang besar: keinginan untuk mendidik dan membimbing generasi masa depan. Di ruangan berbeda, seorang mentor memperhatikan dengan penuh harap, sadar bahwa perjalanan menjadi guru tidak hanya soal kemampuan mengajar, tetapi juga soal panggilan jiwa. Namun, pertanyaan pun muncul: mampukah panggilan itu bertahan ketika realitas profesi menuntut begitu banyak hal?
Era 5.0 adalah masa di mana teknologi dan manusia bersinergi dengan berpusat pada kemanusiaan. Di satu sisi, peluang terbuka lebar bagi guru untuk memanfaatkan kecerdasan buatan, platform digital, dan metode inovatif dalam pembelajaran. Namun di sisi lain, tantangan juga semakin kompleks: beban administrasi yang menumpuk, kurikulum yang dinamis, serta ekspektasi publik yang terus meningkat. Artikel ini hendak menelusuri dua sisi itu: panggilan jiwa yang menggerakkan calon guru, dan realitas profesi yang menuntut kompetensi adaptif.
Panggilan Jiwa di Era 5.0
Banyak calon guru yang memasuki Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) bukan semata karena faktor finansial, melainkan karena keinginan tulus untuk mengabdi. Bagi mereka, profesi guru adalah jalan untuk berkontribusi langsung pada pembangunan bangsa melalui pendidikan. Motivasi intrinsik inilah yang membuat profesi guru tetap diminati, meskipun tantangan di dalamnya tidak kecil. Menjadi guru bukan sekadar pekerjaan, melainkan bagian dari makna hidup yang ingin mereka jalani: memanusiakan manusia dan menyalakan masa depan.
Nilai sosial dan identitas profesional juga memainkan peran penting. Guru dipandang sebagai sosok teladan di masyarakat, bukan hanya di ruang kelas. Kebanggaan menjadi guru sering kali muncul dari perasaan dihargai, dilihat, dan dikenang sebagai seseorang yang berperan membentuk karakter generasi berikutnya. Inilah yang membuat profesi guru tetap memiliki daya tarik, meski godaan profesi lain lebih menjanjikan secara finansial. Bagi calon guru, kehormatan sosial ini adalah sumber energi yang tidak ternilai.
Temuan penelitian kampus juga memperkuat gambaran tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa motivasi mahasiswa PPG lebih banyak digerakkan oleh faktor pengabdian dan nilai sosial daripada sekadar insentif ekonomi. Kepuasan atas pilihan profesi muncul karena mereka merasa berada di jalur yang benar, meski jalur itu penuh kerikil. Data tersebut menjadi bukti bahwa panggilan jiwa bukanlah mitos, melainkan realitas psikologis yang mendorong ribuan calon guru tetap bertahan dan berjuang.
Ada pula kisah mikro yang sering terabaikan. Seorang mahasiswa PPG, misalnya, bercerita tentang momen saat seorang siswa praktik lapangan mengucapkan terima kasih karena kini ia lebih percaya diri membaca di depan kelas. Hal sederhana itu justru menjadi titik balik: calon guru ini merasa yakin bahwa menjadi guru adalah panggilannya. Kisah semacam ini memperlihatkan bahwa energi emosional dan spiritual bisa tumbuh dari interaksi kecil, yang memberi makna mendalam pada perjalanan profesi.
Realitas Profesi & Jembatan Adaptif
Meski panggilan jiwa begitu kuat, realitas profesi guru tidak bisa diabaikan. Di lapangan, guru sering dihadapkan pada beban administrasi yang menguras waktu, kurikulum yang terus berubah, serta tekanan untuk menguasai literasi digital. Selain itu, ekspektasi orang tua dan masyarakat semakin tinggi: guru dituntut bukan hanya mengajar, tetapi juga membimbing moral, mengawasi perilaku, dan bahkan menjadi penggerak komunitas. Semua itu menimbulkan tantangan pada kesejahteraan dan kesehatan mental guru, yang kerap harus menyeimbangkan profesionalisme dengan kehidupan pribadi.
Untuk menghadapi situasi tersebut, kompetensi adaptif menjadi jembatan penting. Guru Era 5.0 harus menguasai pedagogik digital, mampu merancang asesmen autentik, serta memiliki keterampilan kolaborasi lintas disiplin. Selain itu, komunikasi empatik menjadi modal utama agar guru bisa menjalin hubungan yang sehat dengan siswa dan orang tua. Manajemen waktu dan emosi pun menjadi bagian dari keterampilan profesional, karena tanpa itu, semangat panggilan jiwa bisa terkikis oleh tekanan sehari-hari. Panggilan jiwa memberi arah, tetapi kompetensi adaptiflah yang memberi daya.
Di sinilah peran PPG dan mentor menjadi sangat penting. Program PPG dapat dijadikan arena formasi kompetensi adaptif, mulai dari praktik microteaching yang berbasis refleksi, hingga pembiasaan literasi digital yang terintegrasi dengan pembelajaran. Mentor berperan memberikan umpan balik yang membangun, mengingatkan tentang etika profesi, sekaligus menjadi teladan nyata di lapangan. Selain itu, kebijakan sekolah dan prodi perlu mendukung calon guru melalui komunitas belajar, proyek teknologi bermakna, hingga peer coaching yang memungkinkan calon guru saling belajar dan memperkuat daya tahan.
Langkah praktis bisa dimulai dari hal kecil. Misalnya, calon guru menyusun rencana belajar 90 hari dengan target sederhana: mencoba satu praktik digital baru setiap minggu, menulis refleksi harian selama lima menit, atau mengikuti klinik microteaching bulanan dengan fokus keterampilan tertentu. Peer coaching dengan rekan sejawat juga bisa menjadi ruang belajar efektif: observasi singkat, diikuti umpan balik 15 menit, sudah cukup untuk memperkaya pengalaman. Dengan cara ini, panggilan jiwa tidak padam oleh realitas, melainkan diperkokoh oleh keterampilan adaptif yang terasah.
Guru di Era 5.0 hidup di persimpangan: di satu sisi ada idealisme yang menggerakkan, di sisi lain ada realitas yang menantang. Artikel ini menegaskan bahwa keduanya tidak perlu dipertentangkan, tetapi dijembatani. Panggilan jiwa memberi energi batin, sementara kompetensi adaptif dan dukungan institusional memastikan energi itu tidak habis di tengah jalan. Langkah pertama bisa sederhana: bergabung dengan komunitas belajar, menulis refleksi, atau memulai proyek teknologi kecil. Pada akhirnya, guru masa depan bukan hanya yang kuat di hati, tetapi juga yang tangguh di kompetensi. Teknologi boleh melaju cepat, tetapi integritas dan kemanusiaan harus tetap memandu.
Prof. Dr. Ngabiyanto, M. Si
Anne Suryani, MEd, PhD.
Prof. Dr. Ani Rusilowati, M.Pd.
Arif Widiyatmoko, S.Pd., M.Pd., Ph.D.
Dr. Asep Purwo Yudi Utomo, M.Pd.
Rossi Galih Kesuma S.Pd., M.Pd.
Achmad Miftachul ‘ilmi M.Pd., S.Pd.
Nur Riwayati, S.Pd.