AI di Perguruan Tinggi: Siapkah Kita dengan Aturan Mainnya?

Menjelang tenggat, seorang mahasiswa menatap layar laptopnya dengan cemas. Ia terkejut sekaligus lega karena abstrak yang sebelumnya mandek kini tampak rapi setelah dibantu sebuah sistem kecerdasan buatan. Di sisi lain, seorang dosen memeriksa tata bahasa artikel ilmiahnya dengan teknologi serupa, memastikan tulisannya lebih enak dibaca. Adegan ini kini lumrah di kampus-kampus, seolah AI hadir sebagai “asisten tak terlihat” dalam aktivitas akademik. Pertanyaannya, apakah semua ini sah dan etis jika dilakukan tanpa aturan yang jelas?

AI memang mempermudah pekerjaan menulis, tetapi ada konsekuensi yang harus dipikirkan lebih jauh. Bagi sebagian orang, teknologi ini menyelamatkan waktu, mengurangi stres, dan meningkatkan rasa percaya diri. Namun, di balik manfaat itu tersimpan risiko yang tidak bisa diremehkan, mulai dari akurasi, privasi, hingga integritas akademik. Inilah dilema yang menuntut kampus berpikir serius: teknologi boleh melaju kencang, tapi bagaimana dengan aturan mainnya?

Manfaat dan Tantangan AI di Kampus

Fenomena penggunaan AI generatif kini menyapu ruang-ruang kelas dan kantor dosen. Mahasiswa memanfaatkannya untuk meringkas bacaan, menyusun kerangka tulisan, atau sekadar memparafrasa teks agar lebih mudah dipahami. Dosen pun tidak ketinggalan, menggunakan AI untuk proofreading, memperbaiki struktur kalimat, hingga menyusun draft abstrak. Kehadiran AI membuat aktivitas akademik terasa lebih ringan dan efisien, terutama di tengah tuntutan publikasi yang semakin ketat.

Temuan penelitian kampus tahun 2025 juga menegaskan hal ini: AI telah masuk ke hampir semua lini kegiatan akademik. Dari penulisan tugas akhir hingga artikel jurnal, AI diposisikan sebagai mitra produktivitas. Tidak sedikit yang menganggapnya sebagai “revolusi kecil” dalam budaya menulis di perguruan tinggi. Gelombang baru ini membawa energi segar, namun sekaligus menimbulkan pertanyaan: sejauh mana penggunaan AI ini masih bisa dianggap wajar?

Generative AI, sistem yang mampu menghasilkan teks atau ide baru berdasarkan pola data, menghadirkan keunggulan praktis yang sulit ditolak. Mahasiswa merasa lebih percaya diri karena hambatan bahasa dapat diatasi dengan rekomendasi kalimat yang lebih natural. Dosen pun lebih tenang karena bisa menata naskah dengan lebih cepat dan rapi. Banyak yang mengaku, tanpa bantuan AI, proses menulis terasa lebih panjang dan melelahkan.

Namun, di balik manfaat itu ada bayangan yang tidak bisa diabaikan. Akurasi konten AI kerap menimbulkan masalah, karena sistem bisa saja menghasilkan referensi yang palsu atau data yang tidak valid. Privasi juga menjadi isu sensitif; data yang diunggah ke platform AI berpotensi bocor jika tidak dikelola dengan baik. Risiko ini menunjukkan bahwa tidak semua hasil AI bisa diterima mentah-mentah tanpa verifikasi.

Kekhawatiran etika juga mencuat. Apakah mahasiswa benar-benar memahami apa yang mereka tulis jika terlalu bergantung pada AI? Apakah dosen tetap menjaga orisinalitas jika terlalu sering meminta bantuan? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dibiarkan tanpa jawaban. Jika tidak hati-hati, AI justru bisa menurunkan kualitas berpikir kritis dan melemahkan budaya akademik yang sehat.

Pola penggunaan pun berbeda antara mahasiswa dan dosen. Mahasiswa cenderung pragmatis, menggunakannya untuk memparafrasa teks atau mencari jawaban cepat atas bacaan panjang. Dosen lebih selektif, menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti, sambil tetap waspada pada risiko plagiarisme dan kesalahan fakta. Perbedaan ini menegaskan pentingnya literasi AI kritis di kampus agar semua pihak paham batas sehat dalam pemanfaatannya.

Urgensi Kebijakan dan Praktik Baik

Penelitian di UNNES tahun 2025 menyoroti bahwa kebijakan penggunaan AI di publikasi akademik masih belum sepenuhnya jelas. Hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan, bahkan konflik etika, jika dibiarkan berlarut-larut. Padahal, semakin cepat AI digunakan, semakin mendesak pula kebutuhan akan pedoman tertulis yang bisa dijadikan acuan bersama. Tanpa aturan yang tegas, penyalahgunaan AI di perguruan tinggi akan sulit dikendalikan.

Kebijakan yang jelas harus mencakup batasan penggunaan, mekanisme transparansi, serta sanksi atas pelanggaran. Misalnya, mahasiswa yang menggunakan AI dalam penulisan skripsi harus mencantumkan acknowledgment. Dosen yang memanfaatkan AI dalam publikasi wajib melakukan verifikasi fakta. Dengan cara ini, kampus tidak menolak AI, melainkan mengatur agar manfaatnya tetap terasa tanpa mengorbankan integritas akademik.

Untuk membangun aturan yang ideal, lima pilar bisa dijadikan landasan. Pertama, transparansi: penulis wajib mengakui penggunaan AI dalam karya ilmiah. Kedua, verifikasi: semua informasi dari AI harus diperiksa ulang, terutama rujukan primer. Ketiga, etika dan privasi: mahasiswa dan dosen dilarang mengunggah data sensitif ke platform AI. Pilar keempat, asesmen dan anti-plagiarisme: tugas dan ujian harus dirancang agar tidak bisa sepenuhnya diselesaikan oleh AI.

Pilar kelima, literasi AI, sama pentingnya. Kampus perlu memberi pelatihan bagi dosen dan mahasiswa, bahkan mengintegrasikan modul literasi AI ke dalam kurikulum. Dengan lima pilar ini, AI bisa menjadi mitra sehat dalam ekosistem akademik. Teknologi memang membantu menata kalimat, tetapi integritaslah yang menjaga makna. Inilah keseimbangan yang harus diwujudkan oleh perguruan tinggi.

Sejumlah praktik baik mulai diterapkan. Ada dosen yang meminta mahasiswa melampirkan log jejak penggunaan AI saat mengerjakan tugas. Beberapa program studi menggelar klinik literasi AI untuk melatih mahasiswa memverifikasi informasi. LPPM bahkan menyusun template pernyataan penggunaan AI dalam publikasi ilmiah. Praktik-praktik ini sederhana, tetapi bisa menumbuhkan budaya transparansi dan tanggung jawab.

Ulasan ini merujuk pada temuan penelitian campuran (explanatory sequential) di lingkungan kampus. Kesimpulannya tegas: AI bukan tren sementara, melainkan realitas baru yang perlu direspons dengan kebijakan yang matang. Perguruan tinggi tidak boleh menutup mata; dosen, mahasiswa, dan pengelola harus berkolaborasi menyusun aturan yang adil dan visioner. Teknologi boleh melaju dengan cepat, tetapi integritas harus selalu menjadi penuntun arah.

Prof. Dr. Ngabiyanto, M. Si.

Dr. Asep Purwo Yudi Utomo, M. Pd.

Iwan Hardi Saputro, S.Pd., M. Si.

Rossi Galih Kesuma S.Pd., M.Pd.

Nur Riwayati, S.Pd.