Notifikasi berdenting tanpa henti. Video singkat berkelebat, berita baru muncul setiap menit, dan pesan grup sekolah bercampur dengan iklan. Kita hidup di era tercepat dalam sejarah, ketika satu sentuhan layar bisa membuka seribu informasi sekaligus. Namun, di balik derasnya arus digital, ada paradoks yang tak bisa diabaikan: semakin cepat kita mengakses informasi, semakin sulit kita bertahan membaca teks panjang hingga tuntas. Pertanyaannya, berapa banyak berita yang kita baca hari ini, dan berapa banyak yang benar-benar kita pahami? Di sinilah jurang itu terbuka: kecepatan informasi ternyata tidak berbanding lurus dengan kecepatan membaca kita.
Jurang yang Tak Terlihat
Di kelas, guru sering mendapati siswa yang mampu menjawab soal berdasarkan judul berita, tetapi kebingungan ketika diminta menjelaskan isi lengkapnya. Di rumah, orang tua melihat anak asyik berselancar di gawai berjam-jam, tetapi kesulitan memahami bacaan sekolah. Fenomena ini memperlihatkan jurang tak terlihat antara akses cepat dengan pemahaman lambat. Membaca sekilas atau skimming memang memberi kesan “tahu banyak”, padahal pemahaman sering dangkal. Masalahnya bukan pada kurangnya informasi, melainkan pada cara kita berinteraksi dengan bacaan yang semakin jarang menuntut konsentrasi penuh.
Kebiasaan membaca pendek—status media sosial, ringkasan berita, atau teks singkat—membentuk generasi pembaca instan. Siswa terbiasa melompat dari satu paragraf ke paragraf lain tanpa benar-benar memahami isi. Akibatnya, kemampuan untuk bertahan membaca teks panjang makin berkurang. Laporan evaluasi internasional tentang membaca juga menunjukkan bahwa siswa Indonesia sering tertinggal dalam hal pemahaman bacaan. Ini menegaskan bahwa literasi bukan sekadar bisa mengeja, melainkan kemampuan memahami makna di balik kata-kata.
Salah satu penyebab utama jurang ini adalah atensi yang terpecah. Notifikasi media sosial, pesan instan, dan godaan video singkat membuat fokus sulit dipertahankan. Fenomena ini dikenal dengan istilah doomscrolling, kebiasaan menggulir tanpa henti yang memberi ilusi produktif, padahal justru mengikis konsentrasi. Skimming—membaca sepintas lalu—menjadi pola default, bukan lagi sekadar strategi. Padahal, skimming tanpa dilanjutkan dengan pemahaman mendalam hanya membuat otak kita penuh fragmen informasi yang tak utuh.
Kecenderungan fear of missing out atau FOMO memperparah keadaan. Takut ketinggalan informasi membuat banyak orang merasa harus membaca semua, tetapi akhirnya tak mendalami apa pun. Tiga kebiasaan buruk yang paling sering muncul adalah skimming tanpa pemahaman, multitasking saat membaca, dan melompati paragraf yang dianggap “terlalu panjang”. Padahal, literasi yang sehat justru membutuhkan deep reading—membaca perlahan untuk membangun pemahaman, menganalisis, dan mengkritisi. Tanpa itu, kita hanya sekadar pengumpul potongan-potongan data.
Saat Paham Tertinggal
Dampak dari jurang ini nyata dalam kehidupan sehari-hari. Siswa sering salah menafsirkan soal karena hanya membaca bagian awal. Keputusan diambil dengan terburu-buru karena informasi setengah matang dianggap cukup. Miskonsepsi pun bertebaran, dari salah mengutip berita hingga gagal memahami instruksi sederhana. Literasi yang lemah tidak hanya merugikan prestasi akademik, tetapi juga mengurangi kemampuan seseorang untuk berpikir kritis dan membuat keputusan tepat dalam kehidupan nyata.
Guru mencatat bahwa banyak siswa menyerahkan tugas dengan jawaban asal, sekadar menyalin dari internet tanpa benar-benar memahami. Orang tua pun merasakan bahwa anak-anak lebih sulit diajak berdiskusi panjang. Ketika pemahaman tertinggal, nalar kritis ikut melemah. Padahal, kemampuan membaca dengan pemahaman mendalam adalah dasar bagi keterampilan berpikir tingkat tinggi. Jika hal ini dibiarkan, generasi muda berisiko menjadi penonton informasi, bukan pengelola pengetahuan.
Kabar baiknya, kebiasaan membaca bisa dilatih. Tidak perlu langkah besar, cukup mulai dengan latihan sederhana. Misalnya, gunakan timer tiga menit: baca satu paragraf, lalu tuliskan tiga kata kunci dan satu kalimat ringkasan. Latihan ini melatih fokus sekaligus pemahaman. Teknik lain adalah tanya-ulang: setelah membaca, coba jelaskan inti bacaan seolah-olah kepada adik kelas. Latihan singkat seperti ini membuat otak terbiasa menyaring dan menyusun informasi, bukan sekadar menyerap mentah-mentah.
Membiasakan catatan aktif juga membantu. Alih-alih menyoroti teks tanpa makna, catatlah poin penting dengan bahasa sendiri. Strategi ini memperkuat ingatan sekaligus pemahaman. Untuk pembaca yang terbiasa dengan gawai, cobalah aplikasi catatan sederhana atau jurnal digital. Micro–CTA: ambil satu artikel hari ini, lalu coba ringkas dalam 60 detik. Jika berhasil, berarti Anda sudah melatih otak untuk tidak sekadar “membaca cepat” tetapi juga “membaca paham”. Ingatlah, kecepatan akses tidak pernah sama dengan kecepatan memahami.
Guru–Orang Tua–Sekolah
Membangun literasi bukan tugas individu semata, melainkan ekosistem. Guru dapat memberikan tugas ringkas satu paragraf, mengajak siswa berdiskusi tiga pertanyaan, dan meminta mereka menulis jurnal bacaan mingguan. Orang tua bisa menyiapkan 20 menit membaca bersama setiap malam, lengkap dengan zona bebas gawai sebelum tidur. Sekolah dapat menghidupkan pojok baca, menggelar klub ringkas-baca, atau lomba resensi 200 kata yang menekankan pemahaman, bukan panjangnya tulisan. Dengan langkah kecil dan konsisten, budaya membaca mendalam bisa tumbuh.
Pada akhirnya, masalah literasi di era digital bukan terletak pada derasnya informasi, melainkan pada cara kita membacanya. Kecepatan informasi tidak otomatis membuat kita lebih cerdas jika tidak diimbangi dengan kemampuan memahami. Kita perlu melatih diri, mengubah kebiasaan, dan membangun ekosistem yang mendukung membaca mendalam. Mulailah hari ini: pilih satu artikel, baca perlahan, catat tiga kata kunci, lalu ringkas dalam satu kalimat. Pelankan jempol, tajamkan nalar.
Dr. Asep Purwo Yudi Utomo, S.Pd., M.Pd.
Prof. Dr. Tommi Yuniawan, M.Hum.
Prof. Dr. Yusro Edy Nugroho, M.Hum.
Rio Anugrah Rizkiansyah, S.Pd., M.Pd.
Rossi Galih Kesuma, S.Pd., M.Pd.