Jejak Kenangan di Sendang Jodo

Di desa kecil bernama Purworejo, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, desa ini berada di lereng Gunung Muria. Di desa inilah mama saya dilahirkan dan dibesarkan dalam suasana rumah yang penuh suara keras dan sedikit tawa. Eyang Uti dan Eyang Kunglah yang menciptakan suasana ketegangan tersebut, tetapi percayalah, mereka melakukan semua itu demi kebaikan anak-anaknya.

Itulah cara mereka menunjukkan kasih sayang. Mama saya tumbuh menjadi wanita yang disiplin dan penuh tanggung jawab. Suasana rumah yang penuh ketegangan membuat mama saya lebih nyaman bersama Mbok Pah, yaitu nenek mama saya. Bersama Mbok Pah, mama saya mendapatkan banyak pengalaman berharga yang menjadi kenangan paling sering diceritakan kepada saya. Mama sering diajak ke Sendang Jodo untuk mencuci baju, mandi, atau sekadar berenang di sendang. 

Tidak hanya bersama Mbok Pah, mama saya juga memiliki banyak teman saat pergi ke Sendang Jodo. Hal inilah yang membuat mama saya sering menghabiskan waktu di sana untuk bermain.

“Nduk, ayo melu Mbok ning sendang, bar dolanan banyu!” (Nak, ayo ikut Mbok ke sendang, nanti main air!) kata Mbok Pah setiap pagi, membuat mama saya bersemangat berlari ke pintu.

Kata “sendang” mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Sendang adalah mata air alami yang biasanya berbentuk kolam kecil dan muncul dari dalam tanah. Sendang sering ditemukan di daerah perbukitan atau pegunungan, dan airnya biasanya sangat jernih serta digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci, atau sebagai sumber air minum oleh masyarakat sekitar. Dalam budaya Jawa, sendang juga sering dikaitkan dengan hal-hal mistis atau spiritual.

Banyak sendang yang dianggap keramat dan menjadi tempat ziarah atau semadi karena dipercaya memiliki kekuatan tertentu, seperti menyembuhkan penyakit atau mendatangkan jodoh. Namun, hal  mistis yang beredar di masyarakat tidak menghalangi warga sekitar untuk tetap beraktivitas di Sendang Jodo. Setiap akhir pekan, sendang ini selalu ramai oleh warga yang memanfaatkannya untuk mandi dan berendam.

“Ayo, ayo! Sapa sing keri, disiram banyu!” (Ayo, ayo! Siapa yang ketinggalan, disiram air!) ajak teman-teman kecil mama saya sambil berlari kecil di tepian sendang.

Kenangan yang tak pernah dilupakan oleh mama saya dan selalu diturunkan melalui cerita kepada saya adalah suatu pagi cerah ketika Mbok Pah hendak mencuci baju. Mama saya, yang saat itu baru bangun tidur dan hanya mengenakan baju dalam, berlari kencang menyusul Mbok Pah karena sangat ingin bermain di Sendang Jodo.

“Mbok Pah, enteni aku, aku arep melu!” (Mbok Pah, tunggu aku, aku mau ikut!) teriak mama saya sambil berlari kecil.

Usia mama saya saat itu masih sangat kecil. Setiap kali Mbok Pah hendak ke sendang, mama saya harus ikut karena ingin bermain dan bertemu teman-temannya. Mereka tidak hanya bermain air, tetapi juga bermain dengan bulus yang dipelihara oleh warga. Warga sekitar sengaja meletakkan bulus di dalam sendang untuk dipelihara. Sementara itu, Mbok Pah sibuk mencuci baju sambil bergosip dengan ibu-ibu lain di tepi sendang, sambil sesekali mengawasi anak-anak yang bermain dengan bulus.

Aja nyekel buluse kuwat-kuwat, Nduk.” (Jangan pegang bulusnya terlalu keras, Nak.) kata salah satu ibu kepada anak-anak kecil.

Bulus-bulus itu sering diberi makan oleh anak-anak, bahkan kadang disentuh perlahan dengan rasa ingin tahu yang besar, namun tetap berhati-hati. Warga meyakini bahwa bulus membawa keberkahan bagi sendang dan melindunginya dari energi negatif.

Sebagian warga menganggap Sendang Jodo sebagai tempat keramat yang diyakini dapat mendatangkan jodoh bagi mereka yang masih lajang, dan dipercaya memiliki penjaga gaib. Barang siapa yang melanggar etika dan tata krama di Sendang Jodo, para penjaga gaib tersebut diyakini akan menampakkan diri bahkan memberikan teguran. 

Sing sopan ya, Nduk. AjA rame-rame njerit neng sendang.” (Bersikap sopan ya, Nak. Jangan berteriak-teriak di sendang.) pesan orang tua. 

Namun, hal-hal mistis tersebut tidak berlaku untuk mama saya, yang di Sendang Jodo justru banyak mengukir kenangan indah bersama Mbok Pah dan teman-temannya. Bisa dibilang, mama saya menemukan tempat pelarian yang nyaman dari kondisi rumah yang penuh ketegangan dan sedikit tawa. Kini, kenangan tersebut menjadi kisah yang sering mama ceritakan, betapa bahagianya masa kecilnya saat bermain di Sendang Jodo. 

Sendang iku kaya swarga kanggo bocah cilik kaya aku wektu semana.” (Sendang itu seperti surga untuk anak kecil sepertiku waktu itu.) kata mama saya sambil tersenyum mengenang.

Setelah sekian lama, mama saya tumbuh dewasa di Desa Purworejo, tepatnya di lereng Gunung Muria. Di sana pula ia bertemu dengan papa saya dan membangun keluarga kecil yang penuh kehangatan. Mereka menciptakan suasana rumah yang berbeda dari rumah masa kecil mama saya. Rumah kami dipenuhi dengan canda, tawa, dan kasih sayang, tanpa suara keras dan ketegangan. Mama saya melahirkan kakak saya pada tahun 2003, lalu saya pada tahun 2007. Kami tumbuh dalam rumah yang nyaman dan penuh kasih sayang dari kedua orang tua kami.

Ketika mendengar cerita bahwa sebagian besar kenangan masa kecil mama saya ada di Sendang Jodo, saya menjadi sangat tertarik untuk mengunjungi tempat tersebut. Pengalaman saya di Sendang Jodo memang tidak sebanyak mama saya, namun kali pertama mengunjunginya, saya bisa merasakan keseruan mama saya saat bermain bersama teman-temannya: memberi makan bulus dan menyentuh bulus dengan hati-hati untuk mengobati rasa penasaran. 

Iki lho, Sendang Jodo, sing ndadekake kenangan manis jaman cilikku.” (Inilah Sendang Jodo, yang menjadi kenangan manis masa kecilku.) cerita mama saya sambil tersenyum melihat sendang.

Pada hari ke-8 Lebaran, tepatnya saat Lebaran Ketupat atau biasa disebut “Bada Kupat”, saya mengunjungi Sendang Jodo bersama keluarga. Pada momen Bada Kupat ini, Sendang Jodo dijadikan tempat untuk mengadakan pesta rakyat, seperti konser dangdut dan pasar malam dengan banyak pedagang kaki lima di sepanjang jalan kampung. Saat itulah saya mendapatkan kesempatan berkunjung ke Sendang Jodo bersama keluarga besar saya. Kondisi Sendang Jodo saat itu hampir persis seperti yang saya bayangkan dari cerita mama saya: sebuah kolam alami yang dikelilingi pohon-pohon tinggi, serta sebuah bangunan kecil yang tampaknya berfungsi untuk mandi atau bilas. Namun, ada satu perbedaan: bulus-bulus yang dulu hidup di sendang kini sudah tidak ada, karena memang sejak lama tidak lagi dikembangbiakkan.

Pada masa sekarang, Sendang Jodo sudah tidak seaktif dulu. Warga sudah tidak lagi memanfaatkan sendang untuk mencuci, mandi, atau aktivitas lainnya. Anak-anak kecil pun dilarang bermain di Sendang Jodo karena dianggap berbahaya, mengingat kondisi airnya yang cukup dalam dan minimnya aktivitas warga di sekitar sendang. Sendang Jodo kini benar-benar terasa seperti tempat keramat yang dipenuhi makhluk gaib, dan hanya ramai setahun sekali saat pesta rakyat Bada Kupat diselenggarakan. 

Bahkan, Eyang Uti sering berpesan, “Ati-ati ya, Nduk, nek liwat ngarepe sendang. Omah peteng, akeh demite.” (Hati-hati ya, Nak, kalau lewat depan sendang. Tempatnya gelap, banyak makhluk halusnya.) katanya, sambil membenarkan selendangnya sebelum melepas saya pergi.

Suasana di sekitar sendang memang gelap dan mencekam, namun keberadaan beberapa rumah warga di sekitarnya membuat perasaan takut sedikit berkurang. Ya, Eyang saya sudah banyak berubah sejak memiliki cucu. Beliau benar-benar mencurahkan kasih sayangnya sepenuh hati kepada kami cucu-cucunya, seakan-akan menebus masa lalu. Namun, saat saya berusia dua tahun, Eyang Kung telah berpulang ke hadirat Allah swt  sehingga saya tidak memiliki banyak kenangan bersama beliau.

Mendengar cerita mama saya perihal betapa berharganya kenangan masa kecil mama saya di Sendang Jodo membuat saya lebih menghargai setiap momen dalam hidup saya. Meskipun Sendang Jodo telah berubah suasananya tetapi cerita kenangan mama saya tetap sama dan dapat diwariskan ke anak bahkan cucunya nanti. 

Setiap tempat, baik yang indah maupun yang penuh misteri, menyimpan cerita dan nilai-nilai yang membentuk kita menjadi siapa kita hari ini. Kini, saya pun memegang kenangan tersebut, mengenang masa-masa yang pernah dihidupi oleh orang-orang yang saya sayangi, serta berusaha menjaga nilai-nilai kasih sayang, kedamaian, dan kebersamaan di dalam keluarga kami. Seperti halnya sendang yang selalu menjadi sumber air bagi kehidupan, kenangan-kenangan ini pun akan terus mengalir dan memberi kehidupan bagi hati kami.(*)

Oleh Bintang Nayla Putri