Kisah Tragis Nyai Dasimah

Pada awal abad ke-20 di Batavia, di tengah suasana kolonial yang masih menancap kuat, hiduplah seorang perempuan muda bernama Dasimah. Ia adalah putri dari keluarga Betawi terhormat yang tinggal di Tanah Abang. Kecantikannya bukan hanya tampak dari wajahnya yang ayu, tetapi juga dari kelembutan sikap dan keluhuran budi. Dasimah tumbuh dalam lingkungan yang menjunjung tinggi adat dan agama, dan ia dikenal sebagai gadis yang santun serta cerdas.

Ketika Dasimah beranjak dewasa, banyak pemuda yang datang meminangnya. Dua di antaranya menaruh hati yang begitu dalam. Yang pertama adalah Sabeni, pemuda Betawi asli yang sederhana, setia, dan dikenal sebagai pendekar muda di kampungnya. Yang kedua adalah Tuan Edward, seorang pejabat Belanda yang tampan, kaya, dan memiliki kuasa.

Orang tua Dasimah lebih menyukai Sabeni, sebab ia satu suku, satu agama, dan memahami budaya mereka. Namun, Dasimah memiliki pandangan sendiri. Ia terkesima oleh perhatian dan janji manis Edward yang mengiming-iminginya dengan kehidupan modern dan kebebasan yang luas. Ia ingin keluar dari batasan-batasan tradisi yang selama ini membungkam ruang geraknya sebagai perempuan.

Pada suatu malam, saat makan malam keluarga, sang ayah bertanya, “Dasimah, engkau sudah dewasa. Kami ingin tahu siapa yang akan kaupilih sebagai calon suamimu.” 

Dasimah menatap meja sebentar, lalu berkata dengan suara tenang, “Aku memilih Tuan Edward, Ayah.” 

Ibunya terkejut. “Nak, kau sungguh-sungguh? Dia bukan dari kalangan kita. Bagaimana dengan Sabeni? Ia tulus mencintaimu.”

“Aku yakin, Bu,” sahut Dasimah pelan, “Edward memberiku ruang untuk berpikir, belajar, dan menjadi diriku sendiri. Aku ingin mencoba hidup yang berbeda.” 

Meskipun berat, orang tua Dasimah akhirnya mengalah. Maka dilangsungkanlah pernikahan Dasimah dan Tuan Edward secara mewah di kediaman kolonial di Weltevreden. Pada awalnya, Dasimah bahagia. Ia tinggal di rumah besar, dilayani para pembantu, dan mengenakan pakaian indah yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.

Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Perlahan, Edward mulai menunjukkan wajah aslinya. Ia mulai mengatur segalanya. Dasimah tak lagi bebas keluar rumah tanpa izin. Ia dilarang menjenguk keluarganya, apalagi ikut pengajian atau kegiatan adat Betawi.

“Aku ingin ke rumah Ibu,” ucap Dasimah suatu pagi sambil menata kerudungnya. 

Edward menatap tajam. “Kau tidak perlu ke mana-mana. Kau cukup di sini. Keluargamu bukan urusanmu lagi.”

“Tapi aku hanya ingin menengok mereka, Edward.”

“Cukup! Aku suamimu. Kau harus menurut.”

Dasimah merasa dadanya sesak. Rumah mewah itu kini seperti penjara. Hari-harinya dipenuhi kesunyian dan air mata. Ia hanya bisa mengadu kepada Mbok Nah, pembantu tua yang sudah seperti ibunya sendiri.

“Mbok, saya rindu rumah. Saya tak tahan dikekang seperti ini.” 

Mbok Nah memegang tangan Dasimah erat. “Kalau nyai sudah tak kuat, kabur saja. Keluarga nyai pasti masih menanti.” 

Dengan keberanian yang tersisa, Dasimah akhirnya melarikan diri pada suatu malam yang sepi. Ia kembali ke rumah orang tuanya di Tanah Abang, disambut tangis haru dan pelukan hangat.

Namun, pelariannya membuat Edward murka. Harga dirinya sebagai bangsawan Eropa seakan tercoreng. Ia tak terima istrinya kembali ke pelukan keluarga pribumi. Maka ia memerintahkan orang suruhannya untuk membawa Dasimah kembali, hidup atau mati.

Hari itu mendung. Langit seperti ikut bersedih. Dasimah sedang duduk di beranda rumah orang tuanya ketika dua pria bertubuh kekar tiba-tiba menyerangnya. Ia berteriak, namun terlambat. Sebilah pisau menghujam dadanya. Ia tumbang di pangkuan sang ibu, darah mengalir membasahi kebaya putih yang dikenakannya.

“Ibu, maafkan aku,” bisik Dasimah sebelum napas terakhirnya menghilang.

Ibunya memeluk jasad anak perempuannya sambil menjerit pilu. Tangis warga pun pecah. Mereka tahu, Dasimah adalah korban dari cinta yang dibungkus ambisi dan ketidaksetaraan.

Sejak saat itu, masyarakat Betawi menyimpan kisahnya dalam-dalam. Konon, arwah Nyai Dasimah masih sering terlihat di sekitar Tanah Abang. Bukan untuk menakuti, tetapi untuk mengingatkan: bahwa kebebasan perempuan adalah hak, dan bahwa cinta tanpa hormat hanya akan berujung luka.(*)

Oleh Qurrota Aini Wahyu Putri