Pagi 3 Mei 2007 di bantaran Kali Cakung dimulai dengan suara alat berat yang menggelegar, memecah ketenangan pagi yang biasanya hanya diisi oleh kicau burung dan dering lonceng sepeda. Truk-truk biru Satpol PP berjejer seperti pasukan perang, sementara ratusan aparat berseragam hijau turun dengan langkah tegas, membawa pentungan, tameng, dan helm anti huru-hara. Di balik pagar bambu, warga Betawi berkumpul, beberapa memegang kayu rotan, bambu runcing, atau cangkul.
Di seberang kali, dari Rawa Terate, warga Madura juga sudah siaga, dengan besi bekas, parang, dan batu di tangan, mata mereka tajam seperti pisau, penuh ketakutan dan kemarahan. Ketegangan pecah ketika seorang petugas mencabut gembok salah satu rumah di tepi kali.
Seorang nenek tua Betawi menjerit, “Ini tanah leluhur kami!” sambil memeluk tiang rumahnya yang mulai goyah. Suaranya parau, penuh luka yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Seorang pemuda Betawi di belakangnya, mungkin cucunya atau keponakannya, melemparkan batu pertama, mengenai helm seorang petugas. Massa dari kedua kampung langsung bergejolak seperti air yang mendidih.
Hendra, yang berdiri di depan barisan warga Betawi, berlari maju ketika melihat seorang petugas menendang nenek itu hingga terjatuh. “Ini tanah leluhur kami!” teriaknya sambil mengacungkan kayu rotan, suaranya memecah kekacauan.
Tiba-tiba, sebuah pisau kecil berkilat di udara. Hendra merasa dadanya panas, lalu basah. Darah merembes dari luka tusukan di sela tulang rusuknya. Ia mencoba tetap berdiri, tangannya mencengkeram dadanya, tapi pandangan mulai gelap. Di tengah suara teriakan dan dentuman pentungan, ia masih bisa mendengar bisikan ayahnya seminggu sebelumnya: “Jangan biarkan mereka ambil tanah ini. Ini warisan buyutmu.” Tapi sekarang, tanah itu basah oleh darahnya sendiri. Di sekitarnya, tubuh-tubuh bergelimpangan, darah bercampur lumpur kali, sementara asap dari rumah yang terbakar membawa bau kayu hangus dan plastik meleleh.
Di sudut lain, Aminullah menyaksikan kakaknya, Mansur, terjatuh setelah dipukul pentungan oleh seorang pemuda Betawi. Aminullah berlari ke arah Mansur, tapi seseorang menarik kerah bajunya dari belakang.
“Kamu yang bakar rumah kami?!” bentak seorang pria dengan mata merah, wajahnya penuh debu dan keringat. Aminullah tak sempat menjawab. Pukulan bertubi-tubi mengenai wajah dan tubuhnya. Ia mencoba merangkak, tapi kaki kirinya tiba-tiba tak bisa digerakkan. Darah mengalir dari betisnya yang tergores parang. Dalam kaburnya pandangan, ia melihat Mansur mencoba bangkit, tapi kepala saudaranya sudah berdarah-darah, matanya tak fokus lagi, seperti orang yang melihat dunia dari balik kabut tebal. Di sekelilingnya, anak-anak menangis sambil memeluk ibu mereka, sementara para pemuda Madura saling berteriak, “Balas! Balas!” dengan suara serak.
Api mulai menyala di Rawa Terate ketika kelompok FBR (Forum Betawi Rempug) menyerbu dengan obor dan bensin. Rumah-rumah dari triplek terbakar dalam hitungan menit, mengeluarkan asap tebal yang membubung ke langit. Wanita-wanita Madura berlarian sambil membawa anak kecil di pangkuan, sementara pria muda saling dorong untuk menyelamatkan barang-barang. Seorang ibu muda bahkan meninggalkan panci bubur yang masih panas di tungku, berlari sambil memeluk bayi di dada. Di tengah kekacauan, seorang ibu Betawi bernama Tuti sedang berbelanja ke pasar. Ia tidak tahu apa-apa saat sekelompok pemuda Madura melemparkannya dengan batu, lalu seorang lelaki berparang menebas lehernya. Tuti roboh, tangannya masih memegang kantong plastik berisi beras dan minyak goreng. Daun bawang dan bawang merah yang tumpah bercampur dengan darahnya di tanah berlumpur. Balasan datang esok pagi. Massa dari Kalimalang, Bekasi Timur, dan Cipinang Baru turun ke jalan dengan senjata tajam. Mereka menyerbu pos Betawi di dekat Stadion Patriot, membacok siapa pun yang mencurigakan. Aminullah, yang masih terluka, melihat Mansur terjatuh dengan kepala berdarah. Ia mencoba menolong, tapi sebuah batu mengenai kepalanya. Pandangannya menghitam, sementara suara jeritan dan dentuman drum terus menggema. Di sudut lain, seorang pemuda Betawi bernama Udin berhasil melawan dua orang Madura dengan pentungan, tapi akhirnya roboh setelah terkena bacokan di punggung. Darahnya menggenang di selokan kecil, mengalir ke kali yang sudah hitam oleh abu dan serpihan kayu.
Di tengah kekacauan itu, polisi melepaskan tembakan gas air mata, tapi amuk massa tak bisa dihentikan. Anjing-anjing liar mulai mendekat, mengendus-endus mayat yang tak dikenali. Burung-burung gagak bertengger di atap yang masih utuh, mengeluarkan suara serak yang seperti ikut berduka. Lima hari kemudian, ketika asap sudah menghilang dan hanya menyisakan abu di atas reruntuhan, warga dari kedua kampung berkumpul di halaman Kantor Walikota Jakarta Timur. Prasasti sederhana didirikan dengan ukiran nama-nama korban: Hendra, Tuti, Mansur, Aminullah—dan kalimat yang terus dibaca berulang-ulang: “Di sini kita pernah berselisih. Di sini juga kita belajar bersatu.” Namun di bawah aspal dan beton, tersembunyi ingatan akan peristiwa yang pernah membuat kota ini berdarah-darah, di mana tanah yang seharusnya menjadi simbol harmoni malah menjadi medan perang, dan di mana Kali Cakung tetap mengalir, membawa ingatan akan darah yang pernah ditumpahkan di atas tanah Jakarta—tanah yang sekarang perlahan belajar untuk kembali damai.(*)
Catatan:
Cerita ini merupakan narasi fiktif yang terinspirasi oleh peristiwa nyata konflik sosial di Jakarta Timur pada tahun 2007. Detail karakter, dialog, dan peristiwa tambahan diciptakan untuk tujuan naratif agar pembaca lebih memahami dinamika di balik peristiwa tersebut. Konflik horizontal antar-masyarakat pendatang dan pribumi adalah isu kompleks yang terjadi di banyak wilayah perkotaan di Indonesia. Penyelesaian damai hanya mungkin terjadi melalui dialog, empati, dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Oleh Syafa’ Tarra Madani