Kisah Kelam Asal-usul Terbentuknya Bukit Sutamaya

Tes.. tes.. tes..

Tetesan air hujan sisa tadi malam meluncur perlahan dari ujung dedaunan, jatuh dengan lembut ke tanah yang masih lembap. Matahari, seperti seorang pemalu, mengintip dari balik jejeran pegunungan yang menjulang tinggi, memancarkan sinar keemasannya yang redup. Namun, suasana desa terlihat jauh lebih pendiam dari biasanya. Tidak terdengar hiruk-pikuk petani yang biasa bergegas menuju sawah mereka, dan burung-burung pun tampak enggan melantunkan lagu pagi mereka. Bukit di ujung desa itu terlihat muram terbungkus oleh awan pekat seperti selimut duka. Peristiwa yang terjadi semalam masih meninggalkan bayang-bayang kelam yang terasa menyesakkan setiap sudut desa itu.

***

Di sebuah desa kecil di antara barisan gunung dan bukit, kehidupan biasa yang penuh dengan denyut kegiatan yang dinamis. Langit biru di atas desa sering dihiasi oleh awan-awan yang bergerak perlahan, memberikan suasana yang penuh kedamaian. Di salah satu sudut desa itu, terdapat sebuah rumah kecil yang berdiri di pinggiran. Rumah itu sederhana, berdinding rotan dan beratapkan daun-daun kering yang tersusun rapi. Meski tampak kurang nyaman dan jauh dari mewah, rumah itu adalah istana bagi keluarga kecil yang tinggal di dalamnya. Sepasang suami istri itu dikaruniai seorang anak yang mereka beri nama Maya. Maya lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apapun, meski orang tua Maya hanyalah seorang buruh petani mereka tetap berusaha agar Maya selalu dihiasi dengan kasih dan sayang. Rumah itu telah penuh dengan kehangatan dari si kecil yang membawa kebahagiaan, mereka merasa bahwa Maya adalah sebuah anugerah dari Tuhan untuk keluarga mereka. Hari demi hari, si kecil Maya mulai tumbuh dengan sangat baik dan kuat, tak terasa kini si kecil itu beranjak dewasa, ia tumbuh menjadi gadis yang  sungguh menawan bagaikan kembang desa, cantik dan mempesona setiap mata yang memandangnya hingga terjadilah sebuah kejadian yang menjadi mimpi buruk bagi si ibu.

Siang itu, suara langkah para petani, seperti serdadu, bergerak serempak dalam langkah penuh semangat menuju rumah masing-masing seusai penat pekerjaan di ladang dan sawah. Begitu juga sepasang suami istri itu. Sesampainya di rumah sang ayah mengambil handuk dan bergegas mandi, sedangkan sang ibu mempersiapkan bahan-bahan yang akan ia masak, namun tak disangka bahan makanan di rumah sudah hampir habis “lepas makan, aku akan pergi ke pasar,” pikir sang ibu bersamaan dengan dilihatnya Maya yang sedang mengumpulkan ranting sebagai bahan bakar untuk memasak siang itu.

“Bu, Ibu mandi saja, Bapak sudah selesai. biar Maya yang melanjutkan masak,” ucap Maya.

“Baiklah. jangan lupa, nasinya kamu cek terus nanti kalau gosong,” jawab si Ibu.

“Baik, Bu,” jawab Maya yang disertai sebuah anggukan kecil.

Maya memasak dan menyiapkan meja makan dengan cekatan, ia terbiasa melakukan pekerjaan rumah saat ditinggal oleh ayah dan ibunya pergi ke sawah.

“Pak, Bu, makanan sudah siap,” teriak Maya dari belakang rumah.

Bapak dan Ibu Maya lalu menghampirinya dan menikmati makanan seperti biasanya.

“Nak, masakanmu selalu enak, ini luar biasa,” Ucap sang ayah meski yang mereka santap hanyalah sayur kangkung dan tempe goreng, pujian itu berhasil membuat bibir Maya tertarik keatas memperlihatkan gigi-gigi kecil yang tersusun rapi. Sang Ayah terbatuk kecil, ia tersadar bahwa anaknya -Maya sangatlah cantik dan membuat hatinya terpukau, pikiran keji itu terlintas dipikiran ayahnya namun disadarkan oleh tangan sang ibu yang menyodorkan gelas berisi air putih.

“Kalau makan itu pelan-pelan, Pak,” ujar si Ibu.

“Iya, Bu, hehe,” jawabnya sambil terkekeh kecil dan menerima gelas dari si Ibu.

“Oh iya Pak, habis ini, Ibu mau beli bahan makanan di pasar. Di dapur sudah pada habis” 

“Biar Bapak antar,” ucap Ayah kemudian.

“Tidak usah. Bapak di rumah saja sama Maya, Ibu hanya sebentar kok.”. Jawab ibu seraya mengambil tas belanjaan yang tergantung di paku yang tertancap di belakang pintu.

Maya melanjutkan membersihkan meja makan, serta mencuci piring dan gelas yang kotor. Sang Ayah pergi ke kamar hendak memejamkan mata, namun bayangan Maya tersenyum begitu cantik terus menghantui pikiran nya, 10 menit, 20 menit, 30 menit, hingga akhirnya setan sepenuhnya mempengaruhi pikirannya, Sang Ayah pun berjalan menghampiri kamar Maya.

Kreett…

Mendengar pintu kamarnya terbuka, Maya yang hendak terlelap pun terkejut seraya mendongak dan dilihatnya sang Ayah yang sudah masuk.

“Ada apa Pak?, Bapak butuh sesuatu?” ucap Maya.

Namun, seperti paham apa yang di maksud Ayahnya, Maya pun tersenyum nakal dan terjadilah sesuatu yang tidak di inginkan itu. Mereka penuh dengan nafsu dan dimabukkan oleh cinta hingga lupa bahwa yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan besar yang seharusnya tidak terjadi diantara Ayah dan seorang Anak.

Di sisi lain, sang Ibu yang sedang memilah-milah sayuran, perasaan tidak enak itu muncul di hati kecilnya, ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres dan ingin segera menyudahi acara belanjanya sore itu. Derap langkah kakinya bertempo cepat menuju rumah, perasaan itu kian menguat saat ia sampai di depan pintu rumahnya yang begitu sepi dan gelap mengingat saat itu hari sudah mulai petang. Desas-desus mulai menyebar di desa, satu dua warga desa menyusul empat lima menuju rumah di pinggiran desa itu. sang Ibu jatuh terpaku di depan pintu rumahnya, ia mendengar suara-suara menjijikan itu dan menangis tersedu-sedu, ia menggedor pintu yang terkunci itu bersamaan dengan para warga yang tiba di rumahnya, Maya dan sang Ayah di dalam kamar terkejut, mereka tersadar apa yang mereka lakukan dan bergegas memakai pakaian mereka masing-masing, Maya sangat gemetaran ia memakai pakaiannya dengan terbata.

“Dobrak saja ini pintunya,” ucap salah seorang warga dan disetujui oleh yang lainnya.

BRAAKK..

Belum selesai Maya dan Ayahnya memakai baju, pintu rumah mereka terbuka. Dengan cepat sang Ayah mencekal tangan Maya dan menariknya pergi lewat pintu belakang. Para warga masuk ke rumah mereka, Sang Ibu yang sangat terkejut itu ikut berlari dengan gemetar mencari pemilik suara yang ia dengar tadi. Tak ada seorang pun yang mereka temukan di seluruh sudut rumah itu, sang Ibu melihat pintu belakang terbuka dan menghampirinya diikuti oleh seluruh warga yang masuk ke rumahnya, dilihatnya Maya yang berjalan patah-patah dan Ayahnya yang memegangi tangannya menyebrangi sungai, para warga meneriaki anak dan ayahnya yang keji itu, tangisan sang Ibu mulai tak karuan melihatnya. Maya dan Ayahnya mendongak melihat sang Ibu yang terisak sebelum mereka berhasil di ujung sungai yang mereka sebrangi. Langit dan bumi ikut marah mengetahui itu,

CTAAARRR

Langit pun mengirimkan petir yang menyambar ke arah Maya dan Ayahnya. Dalam sekejap, membuat mereka terdiam membisu tidak bisa berbicara lagi saat hendak mengatakan sesuatu.

Bumi yang mereka pijak pun ikut bergetar membuat lubang besar di bawah kaki Maya dan ayahnya. Mereka terperosok masuk ke dalam lubang itu, namun tak ada yang bisa menolong mereka. Tanah itu terus bergetar hingga terbentuklah sebuah bukit di sana. Semua warga terdiam menyisakan suara sang Ibu yang berteriak sangat pilu berpadu dengan rintik hujan yang jatuh membasahi seluruh desa.

Bukit itu- adalah sebuah kuburan sang ayah dan anak sebagai hukuman atas perbuatan mereka yang tidak bermoral dan melanggar norma-norma kemanusiaan, sebuah simbol peringatan bagi masyarakat desa tentang pentingnya menjaga moral dan etika dalam kehidupan.

Hingga kini, Bukit itu tetap menjadi tempat yang penuh misteri. Masyarakat menyebutnya Bukit Sutamaya yang diambil dari nama Ayahnya (Suta) dan anaknya (Maya). Masyarakat percaya bahwa bukit tersebut membawa kutukan bagi siapa saja yang mencoba melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Cerita ini terus diwariskan dari generasi ke generasi sebagai pelajaran agar selalu menjaga kehormatan dan nilai-nilai keluarga.(*)

oleh Fina Afiyatul Fitriyah