Kasus TPPO di Indonesia Makin Tak Terkontrol

Menurut United Nations Develompent Program (UNDP), dalam Human Development Reports yang dibuat pada tahun 1994, ada tujuh dimensi keamanan manusia yang harus dipenuhi oleh masyarakat jika ingin dikatakan bahwa dirinya sudah mencapai rasa aman. Ketujuh dimensi itu adalah keamanan dari dimensi ekonomi, dimensi kesehatan, dimensi individu atau personal, dimensi makanan, dimensi lingkungan, dimensi komunitas, dan dimensi politik (United Nations Development Programme, 1994).

Jika salah satu dari dimensi itu belum tercapai, maka manusia belum bisa dinyatakan aman. Banyak sekali hal yang belum terpenuhi dari dimensi – dimensi Human Development Report bagi masyarakat Indonesia, sehingga banyak masyarakat yang harus terjerumus dalam dunia kejahatan transnasional, salah satunya adalah kejahatan perdagangan manusia atau bisa disebut dengan human trafficking.

Human Trafficking adalah suatu perdagangan manusia dengan cara melakukan perekrutan, pengiriman, penculikan secara paksa, dan penadahan massa sambil menggunakan sebuah intimidasi dengan tindakan paksaan demi tujuan untuk dapat mengeksploitasi korban dengan cara menjadikannya pelayan seks, kerja paksa, perbudakan, eksploitasi pelecehan seksual terhadap anak (pedofilia), pekerja migran, adopsi anak- anak, pekerja rumah tangga, dan praktik- praktik yang serupa dengan perbudakan yang hanya menguntungkan satu pihak saja baik secara legal maupun ilegal.

Hal ini saat ini menjadi masalah serius. Mengapa? karena pada zaman sekarang kita sudah banyak menemukan individu-individu di Indonesia ini yang memilih bekerja menjadi TKW atau tenaga kerja di luar negeri. Dengan alasan upah yang di berikan kepada mereka lebih banyak dan menguntungkan dibanding ketika bekerja di Indonesia. Nah, hal inilah yang menjadi pembuka tindak pidana yang melibatkan penjualan orang. Selain itu juga perkembangan teknologi juga sangat berperan besar dalam masalah ini.

Dengan hal ini pemerintah Indonesia harus bisa menangani kasus TPPO ini sebelum semakin memburuk. Karena sudah banyak para masyarakat Indonesia yang di perjual-belikan di lintas negara, khususnya di Kepulauan Riau yang sangat dekat dengan negara-negara tetangga yang bisa dibilang menjadi sarangnya perdagangan orang ini. Hal ini dikarenakan daerah Kepulauan Riau ini berbatasan langsung dengan negara seperti Singapura dan Malaysia. Pemerintah juga sudah melakukan untuk membuat berbagai peraturan-peraturan tentang perdagangan orang ini, namun kenyataannya tindakan ini masih banyak berkeliaran di Indonesia. Bahkan, dalam Laporan Tahunan Perdagangan Orang 2022 dinyatakan bahwa Pemerintah Indonesia belum memenuhi standar minimum pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). 

Data statistik dari Kementerian Luar Negeri mengungkapkan bahwa dalam periode 2020 hingga Maret 2024, setidaknya 3.703 Warga Negara Indonesia (WNI) menjadi korban kejahatan Online Scamming, di mana sekitar 40 persen dari jumlah tersebut teridentifikasi sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Sementara itu, berdasarkan data Bareskrim Mabes Polri, sepanjang tahun 2023, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah menangani 1.061 kasus TPPO dengan jumlah korban mencapai 3.363 orang.

Di dalam konstitusi kita, TPPO merupakan bentuk pelanggaran HAM, dan banyak pelanggaran HAM yang ditemui dalam kasus-kasus TPPO. Tidak boleh ada seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba, diperbudak, dan sebagainya, ada 40,3 juta setiap tahun orang diperbudak dan mengalami perdagangan orang, dengan 71% adalah perempuan, yang lain laki-laki dan anak, inilah mengapa TPPO menjadi salah satu atensi Komnas HAM.

Secara spesifik, kasus TPPO menyebabkan tujuh jenis hak yang dilanggar, yaitu hak untuk hidup, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak perempuan, serta hak anak. edangkan terdapat lima akar masalah TPPO, yaitu ketidakadilan sosial ekonomi, diskriminasi dalam rezim migrasi, tuntutan yang mendorong eksploitasi dan mengarah pada perdagangan manusia, situasi konflik dan darurat kemanusiaan, serta penggunaan teknologi digital dalam perdagangan manusia.

Kasus TPPO ini merupakan masalah yang serius dan tidak bisa kita anggap remeh. Maka dari itu perlu adanya Solusi dan cara untuk meredam kasus ini agar menjadi lebih menciut. Karena saat ini kasus TPPO semakin menyebar ke sudut negeri Indonesia. Disini perlu adanya campur tangan pemerintah untuk menegakkan hukum secara tegas terhadap pelaku pada kasus TPPO ini. Tidak hanya itu, juga perlu adanya kolaborasi karena kasus ini merupakan kasus yang besar. Dengan cara pemerintah daerah, pusat, dan seluruh stakeholder terkait perlu berkolaborasi dalam menangani masalah TPPO. Diharapkan pada masalah ini pemerintah dapat meredam kasus ini agar tidak memakan lebih banyak korban lagi kedepannya. Karena pemerintah lah yang mempunyai wewenang penuh akan kasus ini, sehingga jika pemerintah menjalankan Solusi di atas maka akan bisa untuk meredam adanya segala bentuk kasus TPPO tersebut.

Maka dari itu, kita sebagai warga yang berhadapan dengan kasus TPPO ini bisa lebih bijak dalam menggunakan internet, dengan cara mengecek kebenaran informasi yang kita baca, mewaspadai kontak asing dan link-link yang mencurigakan, jangan gampang memberikan informasi pribadi, dan jangan gampang tertipu dengan tawaran-tawaran yang diberikan di internet atau secara langsung melalui telepon. Agar kita bisa menurunkan angka kasus TPPO ini dan tidak terjadi dengan kita ataupun orang-orang terdekat kita. (*)

Oleh Muh. Rechta Seehan Malikya (Ilmu Hukum UNNES)