Dieng menjadi sebuah dataran tinggi penuh pesona di Jawa Tengah yang dikenal sebagai negeri di atas awan. Pemandangan gunung yang menakjubkan, hamparan lembah hijau, kawah yang mengepul pelan, menciptakan panorama lukisan alam yang nyata. Udara dingin yang menyelimuti berpadu dengan kabut di sela-sela perbukitan. Di antara keindahan Dieng terdapat sebuah dusun kecil, Dusun Legetang. Dusun yang juga penuh keindahan dan dilimpahi kemakmuran.
Dahulu dusun Legetang dikenal subur dan makmur, tanahnya ditumbuhi ladang sayuran yang hijau dengan mata air jernih yang terus mengalir. Tanaman tumbuh subur dan membawa berkah bagi warganya, bahkan mereka menggantungkan kehidupannya pada perkebunan. Kesuburannya konon melebihi kesuburan tanah-tanah lain di kawasan sekitarnya, menimbulkan perasaan iri warga dusun lain. Penduduk Legetang menempati rumah-rumah yang berdiri kokoh dipenuhi ukiran kayu yang tampak mewah. Kehidupan mereka tampak sempurna. Nahasnya, keberuntungan tidak selalu berpihak bagi warga Legetang.
Semakin makmur kehidupan warga Dusun Legetang, perlahan tumbuh kesombongan dalam hati mereka. Mereka mulai merasa tak terkalahkan dan menganggap remeh yang lain. Petani dari dusun lain dicemooh dan diperlakukan rendah karena anggapan warga Dusun Legetang lebih tinggi daripada warga lain. Rasa syukur kepada Tuhan pun mulai luntur, seolah semua berkah datang hanya dari usaha mereka semata bukan dari kemurahan alam dan anugerah Tuhan. Adat dan nasihat tetua yang berisi nilai-nilai luhur dianggap kuno dan perlahan mulai luntur dari kehidupan mereka.
Warga Legetang mulai menjauh dari nilai-nilai kebaikan yang seharusnya menjadi pijakan mereka. Rasa syukur dan hormat pada alam mulai ditinggalkan. Tradisi syukuran panen yang seharusnya penuh doa berganti menjadi hiburan tak senonoh yang ditampilkan. Ketaatan pada aturan adat perlahan memudar dan suara tetua dianggap mengganggu kebebasan mereka. “Kami lebih tahu apa yang baik bagi kami,” begitu kata mereka ketika diminta untuk tetap menjaga adat leluhur.
Penyimpangan terus terjadi di dusun ini, yang paling mencolok adalah mereka menormalisasi sesuatu yang tabu. Lelaki mencintai lelaki secara bebas hingga tercipta kelompok yang merayakan kebebasan tersebut. Tak hanya tentang homoseksual, prostitusi dan perjudian juga menjadi hal yang marak dan kerap terjadi di Legetang, bak kaum sodom. Judi yang dilakukan bebas di manapun dan kapanpun, bahkan tempat suci seperti mushola.
Di dusun ini taka da lagi batasan antara benar dan salah, semua dianggap sah selama itu menyenangkan hati mereka. Mereka yang mencoba mengingatkan dan menentang justru dianggap kolot dan tidak mengikuti zaman. Legetang bukan lagi tempat makmur yang menjunjung akhlak dan tradisi. Banyak yang berkata bahwa Legetang telah kehilangan arah dan lupa pada Sang Pencipta. Perlahan dusun itu berubah menjadi panggung kebebasan tanpa arah.
Tradisi syukuran atas panen mereka berubah menjadi pesta pora. Sebuah pesta yang penuh dengan tarian erotis dan diakhiri dengan kegiatan seksual menyimpang di antara mereka. Hampir setiap malam mereka mengadakan pesta itu. Pesta yang penuh minuman keras dengan musik berdentum kencang hingga dini hari menemani tarian sensual sebagai hiburan utamanya. Warga Legetang tampak menikmati semua kebebasan tak bermoral ini.
Sebagian warga dari dusun lain mencoba mengingatkan bahwa tanah yang mereka pijak bukanlah milik mereka sepenuhnya. Bahwa bumi bisa marah jika terus dihina dengan perbuatan dosa, namun suara mereka ditenggelamkan oleh gelak tawa warga dalam pesta. Sikap angkuh warga Legetang semakin menjadi-jadi, seolah mereka menantang langit. Mereka berkata, “Tak ada azab yang akan datang. Kita hidup di tanah makmur yang penuh berkah.” Tak ada satupun peringatan yang diindahkan. Sebaliknya, warga justru terus merencanakan pesta lain yang lebih besar.
Tiba saatnya pesta besar-besaran yang mereka adakan. Masih dengan kegiatan yang sama, pesta yang penuh minuman keras, perjudian, dan hiburan seksual yang menyimpang. Musik dan tawa yang memenuhi pesta dan menggema di seluruh dusun. Tak ada doa pembuka, tak ada ucapan syukur, hanya perilaku maksiat yang tampak dalam pesta itu. Di balik tawa dan sorak-sorai, tak ada satu pun yang menyadari bahwa angin malam membawa hawa yang ganjil. Kabut yang biasanya bersahabat, malam itu begitu pekat dan menyesakkan
Kemarahan langit tampaknya tak lama muncul. Pukul sebelas malam, saat Legetang diguyur hujan lebat tiba-tiba terdengar gemuruh seperti benda besar jatuh. Suara ini terdengar sampai ke desa-desa sekitarnya. Nampaknya Legetang diterpa bencana. Tanah berguncang, awalnya terasa kecil seolah menggetarkan gelas-gelas di meja. Namun, tak lama kemudian guncangan menjadi besar dan mengerikan. Teriakan histeris menggantikan alunan musik pesta, dan warga berhamburan, mencari tempat aman. Namun tak ada lagi tempat yang aman. Tanah longsor benar-benar menelan rumah-rumah satu per satu. Tepat tengah malam, bencana longor itu datang tanpa ampun menimbun dusun Legetang hingga 2 meter tingginya. Dalam sekejap, Dusun Legetang hilang ditelan bumi. Semua warga, rumah, dan harta yang mereka sombongkan telah sirna. Hanya suara angin yang terdengar dari tempat mereka berpijak dulu.
Dentuman kencang malam itu tampaknya terdengar hingga ke desa sebelah. Bunyi keras yang menarik perhatian dusun lain meski hujan lebat dan gelap. Sayangnya tak ada yang berani mendekat dan melihat apa yang terjadi pada Legetang. Pagi harinya, warga desa tetangga yang hendak berkebun menemukan tanah yang menimbun dusun Legetang. Tak ada bangunan yang tersisa, mayat pun seolah disembunyikan alam sebab sulit sekali mencarinya di antara timbunan tanah longsor. Seolah seluruh dusun Legetang ditelan utuh oleh bumi.
Dukuh malang itu hilang seketika, rata dengan tanah, tertimbun tanah longsor yang diduga berasal dari Gunung Pengamun-amun di dekatnya. Gunung itu tertanggal seakan hilang sebagian. Menariknya, bahwa di antara kaki gunung sampai ke perbatasan kawasan pemukiman di Legetang, sama sekali tidak tertimbun longsoran, padahal jaraknya beberapa ratus meter. Permukaan dusun Legetang bukan saja tertimpa, tapi berubah menjadi sebuah bukit yang mengubur seluruh dukuh beserta warganya. Dukuh Legetang yang semula berupa lembah, kini tak ubahnya sebuah gundukan tanah yang menyerupai bukit.
Mereka yang dulu mencibir peringatan kini menjadi pelajaran bagi generasi setelahnya. Kejadian itu pun cepat menyebar dan menjadi legenda yang dituturkan dari mulut ke mulut. Sebagai satu-satunya penanda yang tersisa, pemerintah dan warga sekitar membangun sebuah tugu peringatan di tepi bekas lokasi Legetang. Tugu itu diukir dengan nama-nama korban yang tenggelam bersama dusun tersebut. Tugu ini menjadi pengingat tentang kesombongan dan maksiat yang membawa petaka. Setiap yang memandang tugu dan merenung, menyadari betapa salahnya hidup jika dijalani tanpa arah dan nilai. Tugu itu kini berdiri sebagai saksi bisu atas dosa yang dibayar dengan lenyapnya satu dusun.(*)
Oleh Reava Putri Mahardhika